“Kamu punya banyak adik, ya?” Abizar bertanya.
Mawar menganggukkan kepala, “iya, Tuan. Aku anak pertama, adikku ada empat. Yang paling bungsu Satria, Wulan anak keempat. Arya kelas 3 SMA, jadi wajar jika dia sibuk di sekolah bentar lagi tamat. Kalau Dimas masih kelas sepuluh, dia yang paling rajin bantu Bapak cari uang, sedangkan karena Arya pintar dan nilainya yang paling bagus di sekolah dia lebih fokus belajar, agar bisa mengincar beasiswa dan kuliah.”
Abizar manggut-manggut, dijatuhkannya pantat ke sebuah kursi rotan di ruang depan setelah mereka masuk ke dalam rumah.
“Ingin kubuatkan apa, Tuan?” Mawar bertanya, bersiap beranjak ke dapur.
“Apa saja yang dingin,” Abizar terlihat kepanasan. Matahari di luar benar-benar terik.
Baru saja Mawar hendak ke dapur, Wulan sudah menghamburkan diri ke pelukan kakaknya. “Kak Mawar!” Gadis kelas 2 SMP itu jingkrak-jingkrak. Memerhatikan setiap gerak
“Owalah!” Wanita tua tersebut terperanjat saat melewati teras dan masuk ke dalam rumah. Sayur-sayuran yang dibelinya terjatuh ke lantai dan berantakan. Langkah kecilnya mendekat, lalu bertanya kepada orang yang asing di matanya. “Kamu siapa, toh? Turis nyasar?”Abizar mengerjap, lalu tersenyum geli. Mungkin ini ibunya Mawar, yang habis pulang dari pasar.Mawar dengan cepat beranjak ke ruang tengah, menggantikan Abizar untuk menjelaskan. “Dia majikanku dari Semarang, Mak.”“Mawar!” Wanita tua tersebut terkejut melihat putri sulungnya yang sudah ada di rumah. Mengabaikan ‘turis yang nyasar di rumahnya’ tersebut, perempuan itu langsung memeluk erat anaknya. Tangis haru terdengar di antara mereka.“Akhirnya kamu pulang, Nak. Kukira kota Semarang membuatmu lupa kampung.” Kecupan bertubi ibunya layangkan ke pipi dan kening Mawar. Mawar tidak bisa menahan tangis, sedikit tidak enak saat dili
“Assalamualaikum!”Suara lelaki, Abizar waspada. Takut itu Rebi. Wajah yang sedikit mirip dengan Mawar muncul di ambang pintu, empat sahutan terdengar dari dalam. Dari Wulan, Nau, Mawar dan Satria secara kompak. Sedangkan Abizar hanya melirihkan jawaban, karena sempat waspada takut itu Rebi.Lelaki yang memakai seragam SMA tersebut mengerjap-ngerjap melihat Abizar, kakinya melangkah masuk lalu meletakkan tas sekolahnya ke atas meja rotan. “Anda siapa, ya?” Lelaki yang ditaksir berumur 17-18 tersebut bertanya sopan. Kharisma Abizar, entah dari wajah, tatapannya dan pakaiannya membuatnya segan. Abizar seperti cerdas dan dari kalangan atas.“Abizar Hafshan,” Abizar mengumbar senyum. Dia sudah mengambil hati Nau dan Satria, jangan sampai untuk keduakalinya membuat adik-adik Mawar ketakutan seperti Wulan karena tidak memperlihatkan keramahan. “Salam kenal.” Uluran tangan Abizar disambut oleh lelaki itu yang menelan sali
Meja makan sudah tertata-rapi. Tinggal menunggu Dimas dan ayahnya pulang, lima orang sudah menunggu di meja makan sederhana yang ada di sana. Ini hasil jerih-payah, Wulan, Nau dan Mawar. Abizar akan sangat menghargainya.Kegaduhan antara dua orang yang adu mulut terjadi di teras depan. “Bapak seharusnya tidak menghalangiku menghajar tiga orang brengsek itu! Lihat, salahsatu dari mereka tadi nyaris kubuat pecah kepalanya menggunakan batu! Kenapa Bapak malah menganggu?”“Dimas,” suara kebapakan terdengar menghela napas. “Kamu bisa dipenjara jika membunuh seseorang, Nak. Ikhlaskan saja yang terjadi, jangan emosian begini. Toh Mawar juga ada di kota Semarang, dia baik-baik saja di sana.”“Lah, mereka yang nyaris memerkosa seorang gadis baik-baik saja nggak dipenjara, apalagi aku! Seharusnya orang-orang tidak perlu memenjarakanku jika membunuh seorang brengsek yang menjadi terror baru untuk gadis-gadis di desa ini!”
“Setelah makan bersama kami, pulanglah Tuan.”Mawar memohon. Wajah memelas tersebut sedikit membuat Abizar luluh. “Kenapa begitu terburu-buru mengusirku, hem?”“Aku bukan mengusirmu,” Mawar menyangkal, kepalanya merunduk ke bawah.“Baiklah aku akan makan dan pulang setelah selesai,” Abizar terlihat patuh. Sedikit rona senang tercerminkan di wajah Mawar. Abizar merundukkan punggungnya, memberikan tangannya untuk Dimas agar disambut oleh bocah itu. Dibantu oleh Abizar, bocah itu bangkit berdiri. Abizar menggerakkan kepalanya ke dalam, begitu saja mereka menjadi akrab.Orang-orang sudah menunggu di meja makan. Mawar mengikuti punggung Abizar yang masuk bersamaan dengan Dimas. Abizar yang ‘beruang’ membuat Dimas percaya, melalui Abizar dia bisa membalaskan dendam tiga sekawan yang harta orang tua mereka menguasai desa ini.Suasana di meja makan cukup menyenangkan. Abizar mendadak lihai mengamb
“Kenapa kamu memberitahunya?” Mawar terdengar marah, mata wanita itu memerah. Dimas terlihat malas, tidak ditanggapinya sang Kakak dia sibuk memasukkan kripik ke dalam mulut. “Dimas!” Mawar membentak, satu tetes air mata membasahi ujung irisnya. Dimas menghela napas, sambil mengulum jari yang asin karena bumbu dia membalas, “katanya, uang hanya bisa dilawan dengan uang. Karena aku tidak memiliki uang, jadi aku serahkan saja kepada beliau—Tuan Abizar—yang beruang. Ini semua juga demi kamu, Kak. Mereka harus menerima ganjarannya.” “Bagaimana kalau Tuan Abizar membunuh mereka? Kamu mau majikanku dipidana, hah!” Suara Mawar meninggi. “Biarkan saja Hendrik, Bayu dan Samuel brengsek itu mati. Agar mereka juga merasakan bagaimana rasanya jadi kamu yang pernah berusaha bunuh diri karena nyaris diperkosa dan terus diteror oleh mereka. Kalau soal Tuan Abizar, aku yakin. Beliau memiliki lebih banyak uang untuk mengendalikan hukum agar tidak menahannya, kamu
“Permen sama es krimnya mana, Kak Mawar?” Satria merengek-rengek. “Ih, kalau bo’ong aku aduin ke Om Izar, loh. Biar nggak jadi nikahin Kak Mawar yang nggak nepatin janji!” Satria memeletkan lidahnya. Mawar yang tengah menyusun piring hanya tersenyum kecil, “tunggu sebentar, ya. Kakak beresin ini dulu. Setelah ini kita ke toko depan, sekalian Kak Mawar mau beli perlengkapan mandi, tubuh Kak Mawar bau soalnya.” Akhirnya Satria menunggu dengan sabar. Bocah lelaki bergelayut di kaki jenjang Mawar saat wanita itu masih menyusun piring. Tentu saja ulah Satria membuat Mawar kesusahan dan tidak bisa bergerak dengan leluasa. Setelah semua piring sudah tersusun dengan benar Satria mengulurkan tangannya ke udara, meminta untuk disambut oleh Mawar dan digendong. Mawar langsung mengangkat pinggang mungil bocah tersebut lalu membawanya ke dalam pelukan. Dalam dekapan Mawar ‘pun Satria tidak diam, seperti kebiasaannya yang sudah mendarah-daging bocah itu menggesek-gesekkan kepalanya ke dada dan
“Kumohon izinkan aku pergi ….”Mendengar permohonan Mawar, Samuel mengedikkan bahu ke Hendrik. Mereka melakukan isyarat mata, lalu Hendrik yang ada di belakang Mawar menyingkir dan memberikan ruang. Sebelum ke kasir, Mawar mencari Satria yang ternyata ada dalam gendongan Bayu. Bayu menyeringai saat wajah Mawar pias, Bayu memang baik pada Satria membuat Satria senang. Tanpa beban bocah itu naik ke gendongan Bayu sambil mengulum lollipop, kadang bibir manisnya menciumi pipi Bayu yang tidak keberatan.“Turunkan Satria,” mendengar permintaan Mawar, kedua alis Bayu terangkat. Bayu malah mengencangkan gendongan, Satria yang masih kecil belum menyadari ketakutan kakaknya.“Kumohon, turunkan adikku.”Bayu mengabaikan Mawar dan beralih ke Satria, “kamu jahat mau turun dari gendongan Kakak, Satria?”Satria yang polos menggeleng, “nggak, kok. Kak Bayu ‘kan baik.” Mendengar jawaban Satria
Lima tahun yang lalu, Mawar disekap mereka dan nyaris diperkosa karena Dimas yang berusia 11 tahun merengek kepada Mawar untuk mengambilkan seragamnya di tempat jahit yang cukup jauh. Hari sudah gelap, besok Dimas harus berangkat sekolah tapi siang sebelumnya tidak sempat mengambil seragamnya. Karena Dimas disibukkan dengan PR yang dia tumpuk selama liburan, Dimas memaksa kakaknya untuk mengambilkannya jauh-jauh ke sana. Menggunakan sepeda Mawar berangkat ke tempat jahit setelah Isya’. Sejam Dimas menunggu kakaknya tidak pulang, dia mengabaikan PR-nya lalu menyusul ke tempat jahit. Tapi di tengah jalan, Dimas hanya menemukan sepeda Mawar di tepi sawah dan plastik berisi seragamnya yang tergeletak sembarangan. Dimas langsung mencari-cari Mawar di sekitar sawah, menemukan kakaknya yang nyaris ditelanjangi di semak-semak. Tangis wanita itu teredam parau karena mulutnya diikat menggunakan blouse-nya. Mata Dimas memerah saat melihat kakaknya di