“Permen sama es krimnya mana, Kak Mawar?” Satria merengek-rengek. “Ih, kalau bo’ong aku aduin ke Om Izar, loh. Biar nggak jadi nikahin Kak Mawar yang nggak nepatin janji!” Satria memeletkan lidahnya. Mawar yang tengah menyusun piring hanya tersenyum kecil, “tunggu sebentar, ya. Kakak beresin ini dulu. Setelah ini kita ke toko depan, sekalian Kak Mawar mau beli perlengkapan mandi, tubuh Kak Mawar bau soalnya.” Akhirnya Satria menunggu dengan sabar. Bocah lelaki bergelayut di kaki jenjang Mawar saat wanita itu masih menyusun piring. Tentu saja ulah Satria membuat Mawar kesusahan dan tidak bisa bergerak dengan leluasa. Setelah semua piring sudah tersusun dengan benar Satria mengulurkan tangannya ke udara, meminta untuk disambut oleh Mawar dan digendong. Mawar langsung mengangkat pinggang mungil bocah tersebut lalu membawanya ke dalam pelukan. Dalam dekapan Mawar ‘pun Satria tidak diam, seperti kebiasaannya yang sudah mendarah-daging bocah itu menggesek-gesekkan kepalanya ke dada dan
“Kumohon izinkan aku pergi ….”Mendengar permohonan Mawar, Samuel mengedikkan bahu ke Hendrik. Mereka melakukan isyarat mata, lalu Hendrik yang ada di belakang Mawar menyingkir dan memberikan ruang. Sebelum ke kasir, Mawar mencari Satria yang ternyata ada dalam gendongan Bayu. Bayu menyeringai saat wajah Mawar pias, Bayu memang baik pada Satria membuat Satria senang. Tanpa beban bocah itu naik ke gendongan Bayu sambil mengulum lollipop, kadang bibir manisnya menciumi pipi Bayu yang tidak keberatan.“Turunkan Satria,” mendengar permintaan Mawar, kedua alis Bayu terangkat. Bayu malah mengencangkan gendongan, Satria yang masih kecil belum menyadari ketakutan kakaknya.“Kumohon, turunkan adikku.”Bayu mengabaikan Mawar dan beralih ke Satria, “kamu jahat mau turun dari gendongan Kakak, Satria?”Satria yang polos menggeleng, “nggak, kok. Kak Bayu ‘kan baik.” Mendengar jawaban Satria
Lima tahun yang lalu, Mawar disekap mereka dan nyaris diperkosa karena Dimas yang berusia 11 tahun merengek kepada Mawar untuk mengambilkan seragamnya di tempat jahit yang cukup jauh. Hari sudah gelap, besok Dimas harus berangkat sekolah tapi siang sebelumnya tidak sempat mengambil seragamnya. Karena Dimas disibukkan dengan PR yang dia tumpuk selama liburan, Dimas memaksa kakaknya untuk mengambilkannya jauh-jauh ke sana. Menggunakan sepeda Mawar berangkat ke tempat jahit setelah Isya’. Sejam Dimas menunggu kakaknya tidak pulang, dia mengabaikan PR-nya lalu menyusul ke tempat jahit. Tapi di tengah jalan, Dimas hanya menemukan sepeda Mawar di tepi sawah dan plastik berisi seragamnya yang tergeletak sembarangan. Dimas langsung mencari-cari Mawar di sekitar sawah, menemukan kakaknya yang nyaris ditelanjangi di semak-semak. Tangis wanita itu teredam parau karena mulutnya diikat menggunakan blouse-nya. Mata Dimas memerah saat melihat kakaknya di
Tiga hari tak ada Mawar, tiga hari Abizar tidak makan.Bukan tidak lapar, sekalipun perutnya melilit Abizar tidak ada selera.Dia selalu memesan makanan, Alif yang menemaninya di rumah selalu membuatkannya makanan, tapi setelah satu suapan saat semuanya terasa hambar, Abizar berdecak dan segera menjauhkan makanannya.Melihat Mawar yang lahap selama ini selalu membangkitkan nafsu makan Abizar, kata lain tak ada Mawar tak ada alasan Abizar untuk makan.“Wajahmu pucat, Tuan. Tiga hari ini Anda hanya makan beberapa suap dan minum air putih, Anda bisa jatuh sakit.” Alif terlihat khawatir, dengan nada rendah berusaha dibujuknya sang tuan yang selama tiga hari hanya fokus bekerja dan bekerja, hanya menyela waktu untuk beribadah lima waktu. Bahkan tanpa makan, lelaki itu masih meremas otaknya untuk berpikir keras. Seharusnya apa yang Abizar peroleh dalam keadaan seperti ini, resikonya tidak optimal.Abizar terlihat tidak perduli, tangannya masih menari-nari di atas keyboard. Tatapannya fokus
Alif mengalah, kalimat terakhirnya membuat Abizar tergelitik. “Jika Anda kena bala’, cuma satu permintaan saya, Tuan. Jika jadi hantu jangan gentayangi saya.” Lelaki itu melengos pergi begitu saja, meninggalkan Abizar yang tengah menyusun barang-barang.Abizar butuh sedikit persiapan. Jangan sampai dia ketinggalan rupiah agar bisa memberi Satria uang jajan. Selain uang, Abizar membawa sedikit pakaian, hanya beberapa lembar meskipun nanti menginapnya belum pasti.Abizar tidak akan menghubungi Mawar terlebih-dahulu, biarkan saja ini menjadi surprise tersendiri nantinya. Walaupun Abizar tidak yakin, respon Mawar nanti akan seperti apa.“Samuel James Pilli,” Abizar menggumamkan nama itu saat menuruni anak tangga. Tatapannya kosong, “apakah aku salah kelakuan ayahnya kubalas ke anaknya?” Abizar bertanya pada diri sendiri seiring langkah baru yang dia ambil.“Tidak, tidak. Aku tidak salah sama sekali,” Abizar menyeringai saat sampai di teras depan. “Karena ini bukan hanya tentang Melati den
“Tuan Abizar?” Mawar baru pulang dari pasar bersama Bu Nau. Di halaman rumahnya, mobil Abizar terparkir rapi sang pemilik tengah main kejar-kejaran dengan Satria di halaman bunga matahari. Abizar yang mengejar Satria menangkapnya lalu menjunjungnya tinggi-tinggi dalam gendongan. Abizar semringah saat menoleh, didapatinya Mawar yang membawa sekeranjang penuh sayur-sayuran dan buah-buahan. Menurunkan Satria dari gendongannya, Abizar meraih tangan Bu Nau dan menyalaminya. Sedangkan untuk Mawar, Abizar hanya melempar senyum sok manis. Yang di baliknya ada niat tersembunyi, semoga Mawar luluh dan tidak mengusir Abizar karena datang di waktu yang tidak tepat. “Woalah, baru tiga hari Nak Izar udah datang aja. Bukannya kata Mawar sampai lima hari, ya? Seharusnya lusa ‘kan?” Bu Nau bertanya bingung. Meskipun tidak rela Mawar dibawa pergi, tapi dia senang melihat kehadiran lelaki tampan dengan ciri khas timur tengah tersebut. Sebelum Abizar membuka mulut, Mawar langsung menyela. “Tuan, kita
Mawar menggiring lelaki itu, saat di ruang depan Mawar meminta Abizar duduk di kursi rotan terlebih dahulu. Mawar akan mencari kamar mana yang setidaknya cukup layak untuk Abizar tempati. Abizar menunggu dengan sabar, matanya terus mengintai Mawar yang bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Mawar berhenti di kamarnya sendiri, apa Abizar memakai kamar ini saja? Mawar tidur di kamar Wulan setidaknya sampai satu bulan ke depan, Wulan tidak akan keberatan. Tak ada kamar kosong di sini, Mawar tidak mungkin begitu tega mengusir kedua adiknya lelaki dari kamar mereka agar Abizar bisa menempatinya. Tak ada pilihan Mawar menongolkan kepalanya ke ruang depan, tersenyum meminta pengertian Abizar. “Tunggu sebentar, ya Tuan.” Kembali lagi ke kamarnya, Mawar memindahkan semua barang-barang dan pakaiannya ke kamar Wulan. Gorden dan seprai pink yang baru dia ganti kemaren, digantinya kembali dengan warna yang lebih jantan. Hitam. Setelah mengosongkan lemari, Mawar menyapu ulang kamarn
Ingin melihat sifat Abizar yang langkah? Bawa dia ke rumah calon mertua, maka sikapnya akan berubah drastis. Yang bahkan tak pernah Mawar lihat sebelumnya. Untuk Mawar sekalipun Abizar tidak pernah tersenyum seramah ini, atau berkata semanis yang dia dengar. Abizar yang Mawar kenal selalu berwajah datar, menatap sinis dan bermulut tajam. Seakan Abizar berevolusi, baik dari mulut, mata dan sikap Abizar benar-benar memanipulasi diri. Semudah itu, dia bisa mengambil hati Pak Ari, Bu Nau, Satria bahkan Arya dan Dimas. Hanya Wulan yang masih sedikit waspada padanya, karena kesan awal mereka bertemu masih melekat di benak Wulan. Sadar yang satu itu belum luluh, Abizar tidak kenal menyerah. Tangannya ringan untuk membuka dompet dan memberi jajan untuk Wulan setiap gadis itu berangkat sekolah, yang bahkan duapuluh kali lipat nominalnya lebih besar dari uang jajan Wulan yang diberikan oleh Bu Nau. Cepat atau lambat, Mawar ‘pun yakin Wulan pasti akan jatuh bertekuk dan menerima Abizar sebaga