“Tuan Abizar?” Mawar baru pulang dari pasar bersama Bu Nau. Di halaman rumahnya, mobil Abizar terparkir rapi sang pemilik tengah main kejar-kejaran dengan Satria di halaman bunga matahari. Abizar yang mengejar Satria menangkapnya lalu menjunjungnya tinggi-tinggi dalam gendongan. Abizar semringah saat menoleh, didapatinya Mawar yang membawa sekeranjang penuh sayur-sayuran dan buah-buahan. Menurunkan Satria dari gendongannya, Abizar meraih tangan Bu Nau dan menyalaminya. Sedangkan untuk Mawar, Abizar hanya melempar senyum sok manis. Yang di baliknya ada niat tersembunyi, semoga Mawar luluh dan tidak mengusir Abizar karena datang di waktu yang tidak tepat. “Woalah, baru tiga hari Nak Izar udah datang aja. Bukannya kata Mawar sampai lima hari, ya? Seharusnya lusa ‘kan?” Bu Nau bertanya bingung. Meskipun tidak rela Mawar dibawa pergi, tapi dia senang melihat kehadiran lelaki tampan dengan ciri khas timur tengah tersebut. Sebelum Abizar membuka mulut, Mawar langsung menyela. “Tuan, kita
Mawar menggiring lelaki itu, saat di ruang depan Mawar meminta Abizar duduk di kursi rotan terlebih dahulu. Mawar akan mencari kamar mana yang setidaknya cukup layak untuk Abizar tempati. Abizar menunggu dengan sabar, matanya terus mengintai Mawar yang bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Mawar berhenti di kamarnya sendiri, apa Abizar memakai kamar ini saja? Mawar tidur di kamar Wulan setidaknya sampai satu bulan ke depan, Wulan tidak akan keberatan. Tak ada kamar kosong di sini, Mawar tidak mungkin begitu tega mengusir kedua adiknya lelaki dari kamar mereka agar Abizar bisa menempatinya. Tak ada pilihan Mawar menongolkan kepalanya ke ruang depan, tersenyum meminta pengertian Abizar. “Tunggu sebentar, ya Tuan.” Kembali lagi ke kamarnya, Mawar memindahkan semua barang-barang dan pakaiannya ke kamar Wulan. Gorden dan seprai pink yang baru dia ganti kemaren, digantinya kembali dengan warna yang lebih jantan. Hitam. Setelah mengosongkan lemari, Mawar menyapu ulang kamarn
Ingin melihat sifat Abizar yang langkah? Bawa dia ke rumah calon mertua, maka sikapnya akan berubah drastis. Yang bahkan tak pernah Mawar lihat sebelumnya. Untuk Mawar sekalipun Abizar tidak pernah tersenyum seramah ini, atau berkata semanis yang dia dengar. Abizar yang Mawar kenal selalu berwajah datar, menatap sinis dan bermulut tajam. Seakan Abizar berevolusi, baik dari mulut, mata dan sikap Abizar benar-benar memanipulasi diri. Semudah itu, dia bisa mengambil hati Pak Ari, Bu Nau, Satria bahkan Arya dan Dimas. Hanya Wulan yang masih sedikit waspada padanya, karena kesan awal mereka bertemu masih melekat di benak Wulan. Sadar yang satu itu belum luluh, Abizar tidak kenal menyerah. Tangannya ringan untuk membuka dompet dan memberi jajan untuk Wulan setiap gadis itu berangkat sekolah, yang bahkan duapuluh kali lipat nominalnya lebih besar dari uang jajan Wulan yang diberikan oleh Bu Nau. Cepat atau lambat, Mawar ‘pun yakin Wulan pasti akan jatuh bertekuk dan menerima Abizar sebaga
Waktu SD, mereka memaksa Rose naik ke mobil yang menjemput mereka. Di perjalanan, rambut Mawar dijambak, gadis itu diusili, bungkus-bungkus makanan dilempar ke wajah dan tubuh Mawar. Setelah diturunkan, Mawar selalu berakhir menangis di depan rumahnya. Waktu SMP, sama halnya dengan SD. Mereka masih dijemput oleh suruhan keluarga Hendrik atau Samuel. Setelah dipaksa naik, di perjalanan Mawar diledek, isi botol mineral ditumpahkan ke tubuh dan wajahnya, jika mereka makan sesuatu kuah atau krimnya dioles ke wajah Mawar. Untung saat SMA, Mawar mendapat perlindungan dari Rebi. Sebelum dipaksa ikut bersama mereka yang sudah memiliki kendaraan masing-masing—kendaraan mewah yang tidak seharusnya ada di sekolah perdesaan—ada Rebi yang akan mengantar Mawar lebih dulu. Tapi saat kelas 3 SMA, setelah Rebi pergi dua bulan sebelum kelulusan—setelah lulus Mawar menghilang dua tahun ke daerah lain—berbeda dari saat SD dan SMP, Mawar mulai dipegang-pegang tapi tak separah saat di sawah. Samuel hanya
Setelah tenggelam, berenang ke atas, mengambil napas lalu terbatuk, Mawar mendelik kesal. Abizar seenaknya menyeretnya terjun ke sungai dan nyaris membuatnya mati tenggelam. Mawar melempar air ke wajah Abizar, tertawa saat semburan air yang dia berikan memerahkan mata Abizar dan masuk ke dalam lubang telinganya.“Mawar!” Abizar membentak kesal, Mawar kabur dari kejaran Abizar. Tak tertangkap, Mawar kembali menyiram wajah Abizar dengan air.Abizar mengusap wajah basahnya, matanya semakin memerah karena percikan air yang masuk ke dalam matanya. Awas kalau Mawar tertangkap, Abizar akan menenggelamkannya di dalam air.BYURR! Dimas meloncat di atas kepala Mawar dan menenggelamkan kepalanya. Melihat Mawar yang malang Abizar tertawa puas. “Dimas!” Mawar menjerit setelah berhasil naik kembali ke permukaan. Plak! Mawar menepuk keras punggung terbuka adiknya, Dimas meringis dan langsung kabur dengan tawa lepas. Mawar cekatan mengejar Dimas yang jelas berpihak ke lelaki beruang daripada kakaknya
“Sabar, Nak Hafshan.”Aland menyeringai.“Tenangkan dirimu dan beri kesempatan untuk kita berdua membicarakan ini. Agar kamu tidak hanya menyalahkan pihakku saja.”Mata Abizar memerah. Dari ujung irisnya sudah berair, lelaki itu mengeraskan rahang.Memilih menahan diri dan emosi, Abizar menurut saat dituntun Aland ke ruangan yang lebih pribadi. Sepanjang jalan Aland terus memamerkan senyumnya yang sebenarnya miris.Diikuti oleh Dimas dan Alif, Abizar sampai di sebuah ruangan yang sangat tertutup. Jarang ditemukan jendela dan ventilasi, hanya beberapa untuk jalur udara. Tidak seperti ruangan luar lainnya, yang dimana-mana full dengan kaca. Aland menepuk tangannya dari dalam, beberapa pelayannya datang. Dalam bahasa Inggris, Aland menyuruh mereka membawakan minuman dan makanan.Bagi Aland, Abizar adalah ‘tamu spesial’ yang patut ‘dimuliakan’.“Silahkan duduk, Nak Hafshan. Cari letak nyamanmu, agar lebih rileks dengan obrolan kita.”Saat Aland menjatuhkan pantat, Abizar ikut menjatuhkan
Tubuh Abizar sudah bangkit dan hendak menghajar Aland, tapi lagi-lagi kalimat Aland menyela tindakannya. Dia berkata seakan tak perlu Abizar yang menodai tangan, untuk sekarang Abizar dipersilahkan untuk hanya mendengarkan saja, agar Abizar bisa membentuk gambarannya di kepala. “Ibumu tidak meninggal di tempat, sama halnya dengan suaminya. Mereka dilarikan ke rumah sakit, ayahmu pingsan karena begitu shock. Ibumu tidak sadarkan diri lama sekali. Dua minggu kalau tidak salah, dokter bilang sangat sedikit kemungkinan ibumu akan sadar dan selamat. Tapi Omar begitu percaya, kalau ibumu akan baik-baik saja. Lelaki itu rela tidak pulang ke Saudi, mengabaikan pekerjaannya, demi menjaga ibumu dan menunggunya sadar. Di sebelah brankar ibumu, Omar selalu mendoakan Melati, menggenggam tangannya, menciuminya, seakan ibumu masih istrinya. Omar tidak perduli dengan perkataan dokter-dokter kalau ibumu tidak bisa diselamatkan, Omar hanya percaya pada Tuhan yang tidak mungkin sejahat itu padanya denga
“Izinkan saya masuk,” Mawar memelas ke arah satpam di depan gerbang. Pak tua tersebut menatap Mawar lalu menggeleng tegas, “maaf, Nona. Jika tidak ada keperluan dengan Tuan Besar jangan menginjakkan kaki kemari.”“Saya mohon ….” suara parau Mawar meminta iba. Kedua tangan mungil tersebut mencekram jeruji gerbang.“Maaf, Nona.” Melihat wajah lesu Mawar, sebenarnya lelaki tua tersebut kasihan. Tapi ini perintah, sembarang orang juga tidak bisa masuk.Tak ada pilihan, Mawar terpaksa menjadi wanita tidak tahu malu yang mengaku-ngaku. “Calon suamiku ada di dalam ‘kan? Tuan Abizar Hafshan, aku calon istrinya. Izinkan aku masuk dan bertemu kekasihku.”Mendengar pengakuan Mawar, Pak tua tersebut terlihat ragu.“Kumohon,” wajah Mawar semakin memelas, sekalipun di dalam itu berbahaya. Ada Samuel, sama saja memasukkan diri ke dalam kadang singa. Tapi Mawar berani karena ada Abizar yang akan melindunginya. “Apa salahnya bertemu calon suamiku sendiri? Aku dihubungi kemari karena calon suamiku memb
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng
“Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu
Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in
Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S