Alif mengalah, kalimat terakhirnya membuat Abizar tergelitik. “Jika Anda kena bala’, cuma satu permintaan saya, Tuan. Jika jadi hantu jangan gentayangi saya.” Lelaki itu melengos pergi begitu saja, meninggalkan Abizar yang tengah menyusun barang-barang.Abizar butuh sedikit persiapan. Jangan sampai dia ketinggalan rupiah agar bisa memberi Satria uang jajan. Selain uang, Abizar membawa sedikit pakaian, hanya beberapa lembar meskipun nanti menginapnya belum pasti.Abizar tidak akan menghubungi Mawar terlebih-dahulu, biarkan saja ini menjadi surprise tersendiri nantinya. Walaupun Abizar tidak yakin, respon Mawar nanti akan seperti apa.“Samuel James Pilli,” Abizar menggumamkan nama itu saat menuruni anak tangga. Tatapannya kosong, “apakah aku salah kelakuan ayahnya kubalas ke anaknya?” Abizar bertanya pada diri sendiri seiring langkah baru yang dia ambil.“Tidak, tidak. Aku tidak salah sama sekali,” Abizar menyeringai saat sampai di teras depan. “Karena ini bukan hanya tentang Melati den
“Tuan Abizar?” Mawar baru pulang dari pasar bersama Bu Nau. Di halaman rumahnya, mobil Abizar terparkir rapi sang pemilik tengah main kejar-kejaran dengan Satria di halaman bunga matahari. Abizar yang mengejar Satria menangkapnya lalu menjunjungnya tinggi-tinggi dalam gendongan. Abizar semringah saat menoleh, didapatinya Mawar yang membawa sekeranjang penuh sayur-sayuran dan buah-buahan. Menurunkan Satria dari gendongannya, Abizar meraih tangan Bu Nau dan menyalaminya. Sedangkan untuk Mawar, Abizar hanya melempar senyum sok manis. Yang di baliknya ada niat tersembunyi, semoga Mawar luluh dan tidak mengusir Abizar karena datang di waktu yang tidak tepat. “Woalah, baru tiga hari Nak Izar udah datang aja. Bukannya kata Mawar sampai lima hari, ya? Seharusnya lusa ‘kan?” Bu Nau bertanya bingung. Meskipun tidak rela Mawar dibawa pergi, tapi dia senang melihat kehadiran lelaki tampan dengan ciri khas timur tengah tersebut. Sebelum Abizar membuka mulut, Mawar langsung menyela. “Tuan, kita
Mawar menggiring lelaki itu, saat di ruang depan Mawar meminta Abizar duduk di kursi rotan terlebih dahulu. Mawar akan mencari kamar mana yang setidaknya cukup layak untuk Abizar tempati. Abizar menunggu dengan sabar, matanya terus mengintai Mawar yang bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Mawar berhenti di kamarnya sendiri, apa Abizar memakai kamar ini saja? Mawar tidur di kamar Wulan setidaknya sampai satu bulan ke depan, Wulan tidak akan keberatan. Tak ada kamar kosong di sini, Mawar tidak mungkin begitu tega mengusir kedua adiknya lelaki dari kamar mereka agar Abizar bisa menempatinya. Tak ada pilihan Mawar menongolkan kepalanya ke ruang depan, tersenyum meminta pengertian Abizar. “Tunggu sebentar, ya Tuan.” Kembali lagi ke kamarnya, Mawar memindahkan semua barang-barang dan pakaiannya ke kamar Wulan. Gorden dan seprai pink yang baru dia ganti kemaren, digantinya kembali dengan warna yang lebih jantan. Hitam. Setelah mengosongkan lemari, Mawar menyapu ulang kamarn
Ingin melihat sifat Abizar yang langkah? Bawa dia ke rumah calon mertua, maka sikapnya akan berubah drastis. Yang bahkan tak pernah Mawar lihat sebelumnya. Untuk Mawar sekalipun Abizar tidak pernah tersenyum seramah ini, atau berkata semanis yang dia dengar. Abizar yang Mawar kenal selalu berwajah datar, menatap sinis dan bermulut tajam. Seakan Abizar berevolusi, baik dari mulut, mata dan sikap Abizar benar-benar memanipulasi diri. Semudah itu, dia bisa mengambil hati Pak Ari, Bu Nau, Satria bahkan Arya dan Dimas. Hanya Wulan yang masih sedikit waspada padanya, karena kesan awal mereka bertemu masih melekat di benak Wulan. Sadar yang satu itu belum luluh, Abizar tidak kenal menyerah. Tangannya ringan untuk membuka dompet dan memberi jajan untuk Wulan setiap gadis itu berangkat sekolah, yang bahkan duapuluh kali lipat nominalnya lebih besar dari uang jajan Wulan yang diberikan oleh Bu Nau. Cepat atau lambat, Mawar ‘pun yakin Wulan pasti akan jatuh bertekuk dan menerima Abizar sebaga
Waktu SD, mereka memaksa Rose naik ke mobil yang menjemput mereka. Di perjalanan, rambut Mawar dijambak, gadis itu diusili, bungkus-bungkus makanan dilempar ke wajah dan tubuh Mawar. Setelah diturunkan, Mawar selalu berakhir menangis di depan rumahnya. Waktu SMP, sama halnya dengan SD. Mereka masih dijemput oleh suruhan keluarga Hendrik atau Samuel. Setelah dipaksa naik, di perjalanan Mawar diledek, isi botol mineral ditumpahkan ke tubuh dan wajahnya, jika mereka makan sesuatu kuah atau krimnya dioles ke wajah Mawar. Untung saat SMA, Mawar mendapat perlindungan dari Rebi. Sebelum dipaksa ikut bersama mereka yang sudah memiliki kendaraan masing-masing—kendaraan mewah yang tidak seharusnya ada di sekolah perdesaan—ada Rebi yang akan mengantar Mawar lebih dulu. Tapi saat kelas 3 SMA, setelah Rebi pergi dua bulan sebelum kelulusan—setelah lulus Mawar menghilang dua tahun ke daerah lain—berbeda dari saat SD dan SMP, Mawar mulai dipegang-pegang tapi tak separah saat di sawah. Samuel hanya
Setelah tenggelam, berenang ke atas, mengambil napas lalu terbatuk, Mawar mendelik kesal. Abizar seenaknya menyeretnya terjun ke sungai dan nyaris membuatnya mati tenggelam. Mawar melempar air ke wajah Abizar, tertawa saat semburan air yang dia berikan memerahkan mata Abizar dan masuk ke dalam lubang telinganya.“Mawar!” Abizar membentak kesal, Mawar kabur dari kejaran Abizar. Tak tertangkap, Mawar kembali menyiram wajah Abizar dengan air.Abizar mengusap wajah basahnya, matanya semakin memerah karena percikan air yang masuk ke dalam matanya. Awas kalau Mawar tertangkap, Abizar akan menenggelamkannya di dalam air.BYURR! Dimas meloncat di atas kepala Mawar dan menenggelamkan kepalanya. Melihat Mawar yang malang Abizar tertawa puas. “Dimas!” Mawar menjerit setelah berhasil naik kembali ke permukaan. Plak! Mawar menepuk keras punggung terbuka adiknya, Dimas meringis dan langsung kabur dengan tawa lepas. Mawar cekatan mengejar Dimas yang jelas berpihak ke lelaki beruang daripada kakaknya
“Sabar, Nak Hafshan.”Aland menyeringai.“Tenangkan dirimu dan beri kesempatan untuk kita berdua membicarakan ini. Agar kamu tidak hanya menyalahkan pihakku saja.”Mata Abizar memerah. Dari ujung irisnya sudah berair, lelaki itu mengeraskan rahang.Memilih menahan diri dan emosi, Abizar menurut saat dituntun Aland ke ruangan yang lebih pribadi. Sepanjang jalan Aland terus memamerkan senyumnya yang sebenarnya miris.Diikuti oleh Dimas dan Alif, Abizar sampai di sebuah ruangan yang sangat tertutup. Jarang ditemukan jendela dan ventilasi, hanya beberapa untuk jalur udara. Tidak seperti ruangan luar lainnya, yang dimana-mana full dengan kaca. Aland menepuk tangannya dari dalam, beberapa pelayannya datang. Dalam bahasa Inggris, Aland menyuruh mereka membawakan minuman dan makanan.Bagi Aland, Abizar adalah ‘tamu spesial’ yang patut ‘dimuliakan’.“Silahkan duduk, Nak Hafshan. Cari letak nyamanmu, agar lebih rileks dengan obrolan kita.”Saat Aland menjatuhkan pantat, Abizar ikut menjatuhkan
Tubuh Abizar sudah bangkit dan hendak menghajar Aland, tapi lagi-lagi kalimat Aland menyela tindakannya. Dia berkata seakan tak perlu Abizar yang menodai tangan, untuk sekarang Abizar dipersilahkan untuk hanya mendengarkan saja, agar Abizar bisa membentuk gambarannya di kepala. “Ibumu tidak meninggal di tempat, sama halnya dengan suaminya. Mereka dilarikan ke rumah sakit, ayahmu pingsan karena begitu shock. Ibumu tidak sadarkan diri lama sekali. Dua minggu kalau tidak salah, dokter bilang sangat sedikit kemungkinan ibumu akan sadar dan selamat. Tapi Omar begitu percaya, kalau ibumu akan baik-baik saja. Lelaki itu rela tidak pulang ke Saudi, mengabaikan pekerjaannya, demi menjaga ibumu dan menunggunya sadar. Di sebelah brankar ibumu, Omar selalu mendoakan Melati, menggenggam tangannya, menciuminya, seakan ibumu masih istrinya. Omar tidak perduli dengan perkataan dokter-dokter kalau ibumu tidak bisa diselamatkan, Omar hanya percaya pada Tuhan yang tidak mungkin sejahat itu padanya denga