“Izinkan saya masuk,” Mawar memelas ke arah satpam di depan gerbang. Pak tua tersebut menatap Mawar lalu menggeleng tegas, “maaf, Nona. Jika tidak ada keperluan dengan Tuan Besar jangan menginjakkan kaki kemari.”“Saya mohon ….” suara parau Mawar meminta iba. Kedua tangan mungil tersebut mencekram jeruji gerbang.“Maaf, Nona.” Melihat wajah lesu Mawar, sebenarnya lelaki tua tersebut kasihan. Tapi ini perintah, sembarang orang juga tidak bisa masuk.Tak ada pilihan, Mawar terpaksa menjadi wanita tidak tahu malu yang mengaku-ngaku. “Calon suamiku ada di dalam ‘kan? Tuan Abizar Hafshan, aku calon istrinya. Izinkan aku masuk dan bertemu kekasihku.”Mendengar pengakuan Mawar, Pak tua tersebut terlihat ragu.“Kumohon,” wajah Mawar semakin memelas, sekalipun di dalam itu berbahaya. Ada Samuel, sama saja memasukkan diri ke dalam kadang singa. Tapi Mawar berani karena ada Abizar yang akan melindunginya. “Apa salahnya bertemu calon suamiku sendiri? Aku dihubungi kemari karena calon suamiku memb
“Tuan?” Mawar di balik punggung Abizar. Abizar tidak menyahut, dia sibuk mengayuh sepeda tua Pak Ari, sambil menggonceng Mawar yang entah kenapa beban tubuhnya sangat berat.“Tuan,” Mawar memanggil gemas. Abizar seakan menulikan telinga. Mawar mengetuk-ngetuk punggung Abizar yang lemas, decakan Abizar akhirnya terdengar. “Jangan sentuh-sentuh, Mawar. Sebentar lagi sampai rumah, aku selalu ingat jendela kamar Wulan selalu dibuka tiap malam.” Mendengar ancaman lelaki itu, Mawar terkekeh. Wanita itu semakin berpegangan ke besi berkarat sepeda saat Abizar mempercepat laju kayuhan. Alif dan Dimas tertinggal jauh di belakang, mereka berjalan kaki sambil menikmati langit malam.“Tadi kenapa Anda menangis, Tuan?” Mawar masih cekatan karena penasaran.“Sudah kubilang jangan kepo,” Abizar berdesis. Rautnya keruh saat teringat wajah menyedihkannya yang dilihat oleh Mawar.“Saya mengkhawatirkanmu, Tuan … makanya kepo.”“Aku tahu kamu mengkhawatirkanku, tapi seharusnya kamu juga tahu aku tidak suk
“TUAN AWAS!” Karena jeritan Mawar Abizar kehilangan keseimbangan, ban sepeda tua Pak Ari menabrak batu dan akhirnya mereka jatuh ke tanah. Sebelum tubuh Mawar menabrak tanah dengan sigap Abizar menangkup punggung kepala wanita itu, menyelamatkan kepalanya agar tidak terbentur sekalipun anggota tubuhnya yang lain kelu. Mereka terkapar di rumput, Mawar meringis karena kakinya keram, sedangkan Abizar pasrah saat merasakan punggungnya remuk. Karena ditimpa oleh dua tubuh mereka, kebun bunga matahari di halaman rumah Pak Ari nampak mengenaskan. Bunga-bunga yang awalnya menjulang tinggi, tangkainya patah dan kelopak-kelopak bunganya berhamburan. Abizar menghembuskan napas, wajahnya menatap langit. Diliriknya wajah Mawar yang kusut terbaring di sebelahnya, “mau tidur di halaman saja malam ini, Mawar?” Lelaki itu terkekeh. Dilonggarkannya sarung yang menggantung di pinggangnya, bersisakan celana di bawah lutut. Abizar menggunakan sarung tersebut untuk menyelimuti mereka. “Apaan, sih Tuan?
Pukul empat pagi, Abizar melirik spion belakang. Mawar sudah terlelap nyenyak, dengkurannya begitu halus. Dengan suara pelan Abizar memerintah Alif untuk membelok arah ke suatu tempat. Abizar menurunkan diri di makam ibunya, Alif yang awalnya ragu akhirnya mengikuti tuannya. Meninggalkan Mawar seorang diri, yang sebelum Abizar turun sudah diselimuti oleh lelaki itu. Sebelum ke Saudi membawa Mawar dan entah kapan pulang, Abizar ingin berpamitan ke makam ibunya terlebih dahulu. Langkah Abizar berhenti saat menemukan seseorang duduk bersimpuh di sebelah makam, lelaki yang menjadi tujuan kenapa Abizar ingin berangkat ke Saudi. “Abi?” Omar menoleh kaget, kitab di tangannya langsung ditutup, bait ayat yang dia baca sambil berlinang air mata sudah berhenti. “Abizar?” “Abi kenapa di sini? Di Semarang? Di makam Ibu?” Langkah Abizar sedikit mengentak, didekatinya sang Ayah yang tersenyum miris. “Abi hanya ingin berziarah, entah kenapa Abi mendadak merindukan ibumu ….” Mata merah Omar mengal
Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in
Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu