PLAK! Satu tamparan yang amat memekakkan telinga. Sebelah pipi Iqbal merah, lelaki itu diam. PLAK! Abizar menamparnya sekali lagi, membuat Iqbal menyeringai sinis.
Abizar menggulung lengan kemejanya, “jika ingin memotong tangan Mawar, potong saja tanganku. Karena aku yang bertanggung jawab atasnya. Jika dia melakukan sesuatu, lemparkan semua hukumannya padaku! Akan kuterima.”
“Tak ada hukum Islam, perbuatan pelayan ditanggung oleh majikan. Jika pelayanmu yang mencuri, tangannya yang harus dipotong, bukan kamu.” Dengan santai Iqbal mengatakannya.
Abizar geram, diliriknya Mawar yang ditenangkan oleh Malik. Mawar takut saat Abizar sebelumnya menggulung kemeja lengannya sendiri. Saat Mawar menanyakan kepada Malik apa yang terjadi, Malik enggan mengartikannya.
“Pelayan mana yang bilang tadi siang Mawar masuk kamar Ashya!?” Abizar berteriak.
Awalnya sunyi, hingga seorang perempuan dipaksa berdiri oleh teman-temannya. &
“Rumah ini tidak aman untukmu, Mawar.” Tatapan Abizar sendu.“Dimanapun tidak aman untukku jika Tuan tidak ada.”“Jangan menggodaku,” Abizar mengambil kemoceng yang tergeletak di atas meja sebelah pinggangnya dan menimpuknya ke kepala Mawar.“Besok kita pulang ke Indonesia. Di sana lebih aman untukmu.”“Tuan ikut?”“Apa tadi kubilang, ‘kita’ ‘kan?”Senyum Mawar semringah, kepalanya mengangguk kuat.***“Tidurlah, Mawar. Besok kita akan kembali ke Indonesia.”Bibir Mawar membentuk segaris senyum saat kalimat Abizar sebelum lelaki itu menutup pintu kembali terngiang di telinganya.Malam ini, sekalipun Abizar menyuruhnya tidur Mawar tidak bisa tidur. Entah kenapa Mawar sangat bahagia malam ini, meskipun beberapa jam sebelumnya dia sempat ketakutan karena dituduh satu rumah mencuri. Mawar tidak bisa mem
Mawar yang awalnya hidup sejahtera karena makanan di dapur melimpah, harus sering menahan lapar. Mawar tidak berani melanggar sekalipun banyak makanan cadangan. Abizar itu mengerikan. Semenjak peraturan baru, Mawar selalu menanti Abizar pulang. Sering menangis kalau Abizar tidak makan-makan. Hidup Mawar mulai bergantungan dengan Abizar.Awalnya Abizar tidak perduli, kalau Abizar ingin makan, ya dia makan. Kalau dia tidak makan, ya tidak makan. Tanpa mengingat Mawar yang hanya makan makanan sisanya. Tapi setelah memergoki Mawar menangis karena Abizar tidak makan tiga hari hanya minum air putih, Abizar mulai merasa bersalah.Abizar pikir, jika dia tidak makan, Mawar akan makan diam-diam, tapi ternyata pembantunya lebih setia daripada dugaannya. Sejak itu, Abizar mulai memiliki alasan untuk makan. Karena ada Mawar yang selalu menunggu. Abizar sengaja memesan makanan kesukaan Mawar, makan sedikit lalu sisanya yang enak-enak diberikan untuk wanita itu.Abizar mulai s
Saat itu, dua tahun yang lalu, Mawar yang mulai ketakutan memilih kabur dari rumah Abizar malam itu juga. Untung cepat diketahui oleh Abizar. Abizar langsung mengejar Mawar dan menangkap tubuh wanita itu. Abizar tidak mau wanita ini meninggalkannya, Abizar tidak mau kehilangan wanita ini, sehingga itulah Abizar menahannya, membawanya kembali, sekalipun wanita itu memberontak dan menangis ketakutan. “Biarkan saya pergi, Tuan! Saya mohon … Tuan!” “Tidak boleh ….” Abizar menggelengkan kepalanya, matanya merah dan basah. Abizar sudah menangis sekalipun tidak separah Mawar yang menangis ketakutan. “Kamu tidak boleh pergi, kamu tidak boleh meninggalkanku, Mawar … tidak boleh. Kamu hanya boleh meninggalkan rumah ini jika kamu mati, sekarat atau akan menikah. Selain itu, kamu tidak boleh meninggalkanku, sampai kapanpun. Aku akan menghalangimu ….”Abizar membawa tubuh Mawar yang dia tang
“Kamu, tunggu dulu.”Panggilan Omar menahan langkah Mawar yang baru saja hendak menyusul Abizar di halaman depan. Di bawah matahari redup di pagi hari, Mawar menoleh dengan sopan. Wanita itu mendekati Omar dan membungkukkan badan termasuk pandangan. “Ada apa, Tuan?” Karena Omar memanggilnya menggunakan bahasa Indonesia, Mawar menjawab dengan bahasa yang sama.Omar diam beberapa saat lalu berdeham, “kutitip Abizar. Jaga dia baik-baik.”Mawar refleks mendongak, mata wanita itu melebar. Setelah senyumnya terbit akhirnya Mawar mengangguk. “Tentu saja, Tuan.”“Mawar!” Panggilan Abizar sontak membuat Mawar berbalik. “Cepat ke sini atau kutinggalkan kamu!” Dengan gesit Mawar berlari mendekati tuannya setelah melempar salam untuk Omar, yang menjawabnya lirih nyaris tidak kedengaran.Sebelum ke bandara, masih ada waktu satu jam untuk keduanya mampir ke rumah sakit. Menjenguk Ashya yang
“Kalau jendela pesawat ini bisa dibuka pasti seru, ya Tuan!” Mawar menepuk-nepuk kaca pesawat yang ukurannya tidak terlalu besar.“Hush, nanti kamu melayang! Tubuh kerempeng begini diterbangkan angin langsung jadi layang-layang!” Abizar tersenyum mengejek, mengabaikan delikan gemas Mawar yang sebal.Saat pesawat tersebut semakin melambung, memperlihatkan padatnya kota di bawahnya Mawar tidak bisa menahan senyum. Kelakuan Mawar tiapkali naik pesawat bersama Abizar selalu sama, riang seperti anak kecil. Padahal sudah puluhan bahkan ratusan kali Mawar terbang bersama kapal udara ini. Selama tiga tahun, jika liburan atau urusan bisnis ke luar negeri atau luar kota, Abizar sering mengajak Mawar ikut bersamanya. Sehingga itulah Abizar memaksa Mawar belajar bahasa Inggris, setidaknya tidak kesusahan saat Abizar membawanya ke luar negeri.“Kalau misalnya pesawat ini mendadak terjun bebas, apa nasib kita, ya Tuan?”“
“Tak ada yang ketinggalan Mawar?”Seharian di atas pesawat, lalu menetap sehari di kota Semarang, besoknya tepatnya hari ini sesuai rencana Mawar akan berangkat pulang kampung, diantar oleh Abizar.Pertanyaan Abizar terdengar berulang, Mawar mengecek kembali barang-barangnya. Kepalanya mengangguk, diacunginya jempol. “Semuanya sudah lengkap, Tuan.”“Oke, kalau begitu masuk ke mobil. Aku akan mengantarmu, butuh satu sampai dua jam kita bisa sampai ke kampung halamanmu ‘kan?” Abizar mengambil alih barang bawaan Mawar, diletakkannya ke kursi belakang, Mawar akan duduk di bangku sebelahnya.“Mawar, sebelum berangkat. Ambilkan dulu minuman dingin untukku di kulkas, sekalian untukmu juga. Hari ini terik, aku yang menyetir kepanasan.” Abizar pura-pura mengibasi wajah dan bahunya dengan telapak tangan, Mawar mengangguk. Melakukan apa yang Abizar suruh. Setelah memastikan Mawar masuk ke dalam rumah dan tidak ak
“Mawar, Mawar.”Abizar berusaha membangunkan gadis itu. Di bangkunya Mawar bergumam dan menggeliat, padahal mobil yang dikendarai Abizar sudah sampai di kampung halamannya. Hanya saja, Abizar butuh arahan Mawar karena meskipun tahu nama kampung halamannya Mawar Abizar tidak tahu letak rumah gadis itu.Mawar ternyata susah bangun, membuat Abizar berdesis. Tangan Abizar tarik-ulur ragu, ingin menepuk pipi Mawar atau mengguncang tubuhnya membangunkan wanita itu. Menggunakan suara saja, sepertinya tidak akan berefek. “Ayolah bangun Mawar, Mawar. Mawar!” Abizar menghela napas, tak ada respon dari Mawar yang tidur seperti mati.Napas panas Abizar meniup-niup pipi Mawar, berusaha membangunkannya. Beralih ke mata, tapi ternyata tak ada efek sama sekali. Abizar yang lama-kelamaan kesal—mereka sudah terlalu lama berhenti di tepi jalan tanpa tujuan jika Mawar tidak memberi arahan, Abizar menarik kunci mobil dari lubangnya lalu diayunkannya ke
“Kamu punya banyak adik, ya?” Abizar bertanya.Mawar menganggukkan kepala, “iya, Tuan. Aku anak pertama, adikku ada empat. Yang paling bungsu Satria, Wulan anak keempat. Arya kelas 3 SMA, jadi wajar jika dia sibuk di sekolah bentar lagi tamat. Kalau Dimas masih kelas sepuluh, dia yang paling rajin bantu Bapak cari uang, sedangkan karena Arya pintar dan nilainya yang paling bagus di sekolah dia lebih fokus belajar, agar bisa mengincar beasiswa dan kuliah.”Abizar manggut-manggut, dijatuhkannya pantat ke sebuah kursi rotan di ruang depan setelah mereka masuk ke dalam rumah.“Ingin kubuatkan apa, Tuan?” Mawar bertanya, bersiap beranjak ke dapur.“Apa saja yang dingin,” Abizar terlihat kepanasan. Matahari di luar benar-benar terik.Baru saja Mawar hendak ke dapur, Wulan sudah menghamburkan diri ke pelukan kakaknya. “Kak Mawar!” Gadis kelas 2 SMP itu jingkrak-jingkrak. Memerhatikan setiap gerak
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng
“Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu
Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in
Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S