Bak pakaian kotor Mawar sudah diletakkan di tengah ruangan. Iqbal sendiri yang menggeledahnya, wajahnya begitu serius sekalipun pakaian dalam Mawar juga berbaur di antara pakaian-pakaian kotor lain. Beberapa lembar pakaian Mawar awalnya tak ada yang mencurigakan di sana. Iqbal nyaris menyesal karena terlalu berlebihan, tapi di pakaian terakhir Mawar, yang Mawar pakai semalam saat tidur di kamar Ashya, di sakunya ada beberapa perhiasan Ashya yang tersisa. Tatapan tajam Iqbal mengarah ke Mawar yang menggeleng-geleng. Tidak, itu bukan salahnya … Mawar tidak tahu, kenapa bisa ada di tas dan saku pakaian yang dia pakai semalam.
“Bukan aku yang mencurinya … bukan aku ….” Malu ditatap tajam oleh ratusan pasang mata, Mawar bersembunyi di balik punggung Malik. Malik berusaha menghadang setiap mata yang menghunus Mawar karena kasihan dengan wanita itu.
&nbs
PLAK! Satu tamparan yang amat memekakkan telinga. Sebelah pipi Iqbal merah, lelaki itu diam. PLAK! Abizar menamparnya sekali lagi, membuat Iqbal menyeringai sinis.Abizar menggulung lengan kemejanya, “jika ingin memotong tangan Mawar, potong saja tanganku. Karena aku yang bertanggung jawab atasnya. Jika dia melakukan sesuatu, lemparkan semua hukumannya padaku! Akan kuterima.”“Tak ada hukum Islam, perbuatan pelayan ditanggung oleh majikan. Jika pelayanmu yang mencuri, tangannya yang harus dipotong, bukan kamu.” Dengan santai Iqbal mengatakannya.Abizar geram, diliriknya Mawar yang ditenangkan oleh Malik. Mawar takut saat Abizar sebelumnya menggulung kemeja lengannya sendiri. Saat Mawar menanyakan kepada Malik apa yang terjadi, Malik enggan mengartikannya.“Pelayan mana yang bilang tadi siang Mawar masuk kamar Ashya!?” Abizar berteriak.Awalnya sunyi, hingga seorang perempuan dipaksa berdiri oleh teman-temannya. &
“Rumah ini tidak aman untukmu, Mawar.” Tatapan Abizar sendu.“Dimanapun tidak aman untukku jika Tuan tidak ada.”“Jangan menggodaku,” Abizar mengambil kemoceng yang tergeletak di atas meja sebelah pinggangnya dan menimpuknya ke kepala Mawar.“Besok kita pulang ke Indonesia. Di sana lebih aman untukmu.”“Tuan ikut?”“Apa tadi kubilang, ‘kita’ ‘kan?”Senyum Mawar semringah, kepalanya mengangguk kuat.***“Tidurlah, Mawar. Besok kita akan kembali ke Indonesia.”Bibir Mawar membentuk segaris senyum saat kalimat Abizar sebelum lelaki itu menutup pintu kembali terngiang di telinganya.Malam ini, sekalipun Abizar menyuruhnya tidur Mawar tidak bisa tidur. Entah kenapa Mawar sangat bahagia malam ini, meskipun beberapa jam sebelumnya dia sempat ketakutan karena dituduh satu rumah mencuri. Mawar tidak bisa mem
Mawar yang awalnya hidup sejahtera karena makanan di dapur melimpah, harus sering menahan lapar. Mawar tidak berani melanggar sekalipun banyak makanan cadangan. Abizar itu mengerikan. Semenjak peraturan baru, Mawar selalu menanti Abizar pulang. Sering menangis kalau Abizar tidak makan-makan. Hidup Mawar mulai bergantungan dengan Abizar.Awalnya Abizar tidak perduli, kalau Abizar ingin makan, ya dia makan. Kalau dia tidak makan, ya tidak makan. Tanpa mengingat Mawar yang hanya makan makanan sisanya. Tapi setelah memergoki Mawar menangis karena Abizar tidak makan tiga hari hanya minum air putih, Abizar mulai merasa bersalah.Abizar pikir, jika dia tidak makan, Mawar akan makan diam-diam, tapi ternyata pembantunya lebih setia daripada dugaannya. Sejak itu, Abizar mulai memiliki alasan untuk makan. Karena ada Mawar yang selalu menunggu. Abizar sengaja memesan makanan kesukaan Mawar, makan sedikit lalu sisanya yang enak-enak diberikan untuk wanita itu.Abizar mulai s
Saat itu, dua tahun yang lalu, Mawar yang mulai ketakutan memilih kabur dari rumah Abizar malam itu juga. Untung cepat diketahui oleh Abizar. Abizar langsung mengejar Mawar dan menangkap tubuh wanita itu. Abizar tidak mau wanita ini meninggalkannya, Abizar tidak mau kehilangan wanita ini, sehingga itulah Abizar menahannya, membawanya kembali, sekalipun wanita itu memberontak dan menangis ketakutan. “Biarkan saya pergi, Tuan! Saya mohon … Tuan!” “Tidak boleh ….” Abizar menggelengkan kepalanya, matanya merah dan basah. Abizar sudah menangis sekalipun tidak separah Mawar yang menangis ketakutan. “Kamu tidak boleh pergi, kamu tidak boleh meninggalkanku, Mawar … tidak boleh. Kamu hanya boleh meninggalkan rumah ini jika kamu mati, sekarat atau akan menikah. Selain itu, kamu tidak boleh meninggalkanku, sampai kapanpun. Aku akan menghalangimu ….”Abizar membawa tubuh Mawar yang dia tang
“Kamu, tunggu dulu.”Panggilan Omar menahan langkah Mawar yang baru saja hendak menyusul Abizar di halaman depan. Di bawah matahari redup di pagi hari, Mawar menoleh dengan sopan. Wanita itu mendekati Omar dan membungkukkan badan termasuk pandangan. “Ada apa, Tuan?” Karena Omar memanggilnya menggunakan bahasa Indonesia, Mawar menjawab dengan bahasa yang sama.Omar diam beberapa saat lalu berdeham, “kutitip Abizar. Jaga dia baik-baik.”Mawar refleks mendongak, mata wanita itu melebar. Setelah senyumnya terbit akhirnya Mawar mengangguk. “Tentu saja, Tuan.”“Mawar!” Panggilan Abizar sontak membuat Mawar berbalik. “Cepat ke sini atau kutinggalkan kamu!” Dengan gesit Mawar berlari mendekati tuannya setelah melempar salam untuk Omar, yang menjawabnya lirih nyaris tidak kedengaran.Sebelum ke bandara, masih ada waktu satu jam untuk keduanya mampir ke rumah sakit. Menjenguk Ashya yang
“Kalau jendela pesawat ini bisa dibuka pasti seru, ya Tuan!” Mawar menepuk-nepuk kaca pesawat yang ukurannya tidak terlalu besar.“Hush, nanti kamu melayang! Tubuh kerempeng begini diterbangkan angin langsung jadi layang-layang!” Abizar tersenyum mengejek, mengabaikan delikan gemas Mawar yang sebal.Saat pesawat tersebut semakin melambung, memperlihatkan padatnya kota di bawahnya Mawar tidak bisa menahan senyum. Kelakuan Mawar tiapkali naik pesawat bersama Abizar selalu sama, riang seperti anak kecil. Padahal sudah puluhan bahkan ratusan kali Mawar terbang bersama kapal udara ini. Selama tiga tahun, jika liburan atau urusan bisnis ke luar negeri atau luar kota, Abizar sering mengajak Mawar ikut bersamanya. Sehingga itulah Abizar memaksa Mawar belajar bahasa Inggris, setidaknya tidak kesusahan saat Abizar membawanya ke luar negeri.“Kalau misalnya pesawat ini mendadak terjun bebas, apa nasib kita, ya Tuan?”“
“Tak ada yang ketinggalan Mawar?”Seharian di atas pesawat, lalu menetap sehari di kota Semarang, besoknya tepatnya hari ini sesuai rencana Mawar akan berangkat pulang kampung, diantar oleh Abizar.Pertanyaan Abizar terdengar berulang, Mawar mengecek kembali barang-barangnya. Kepalanya mengangguk, diacunginya jempol. “Semuanya sudah lengkap, Tuan.”“Oke, kalau begitu masuk ke mobil. Aku akan mengantarmu, butuh satu sampai dua jam kita bisa sampai ke kampung halamanmu ‘kan?” Abizar mengambil alih barang bawaan Mawar, diletakkannya ke kursi belakang, Mawar akan duduk di bangku sebelahnya.“Mawar, sebelum berangkat. Ambilkan dulu minuman dingin untukku di kulkas, sekalian untukmu juga. Hari ini terik, aku yang menyetir kepanasan.” Abizar pura-pura mengibasi wajah dan bahunya dengan telapak tangan, Mawar mengangguk. Melakukan apa yang Abizar suruh. Setelah memastikan Mawar masuk ke dalam rumah dan tidak ak
“Mawar, Mawar.”Abizar berusaha membangunkan gadis itu. Di bangkunya Mawar bergumam dan menggeliat, padahal mobil yang dikendarai Abizar sudah sampai di kampung halamannya. Hanya saja, Abizar butuh arahan Mawar karena meskipun tahu nama kampung halamannya Mawar Abizar tidak tahu letak rumah gadis itu.Mawar ternyata susah bangun, membuat Abizar berdesis. Tangan Abizar tarik-ulur ragu, ingin menepuk pipi Mawar atau mengguncang tubuhnya membangunkan wanita itu. Menggunakan suara saja, sepertinya tidak akan berefek. “Ayolah bangun Mawar, Mawar. Mawar!” Abizar menghela napas, tak ada respon dari Mawar yang tidur seperti mati.Napas panas Abizar meniup-niup pipi Mawar, berusaha membangunkannya. Beralih ke mata, tapi ternyata tak ada efek sama sekali. Abizar yang lama-kelamaan kesal—mereka sudah terlalu lama berhenti di tepi jalan tanpa tujuan jika Mawar tidak memberi arahan, Abizar menarik kunci mobil dari lubangnya lalu diayunkannya ke