“Tak ada yang ketinggalan Mawar?”
Seharian di atas pesawat, lalu menetap sehari di kota Semarang, besoknya tepatnya hari ini sesuai rencana Mawar akan berangkat pulang kampung, diantar oleh Abizar.
Pertanyaan Abizar terdengar berulang, Mawar mengecek kembali barang-barangnya. Kepalanya mengangguk, diacunginya jempol. “Semuanya sudah lengkap, Tuan.”
“Oke, kalau begitu masuk ke mobil. Aku akan mengantarmu, butuh satu sampai dua jam kita bisa sampai ke kampung halamanmu ‘kan?” Abizar mengambil alih barang bawaan Mawar, diletakkannya ke kursi belakang, Mawar akan duduk di bangku sebelahnya.
“Mawar, sebelum berangkat. Ambilkan dulu minuman dingin untukku di kulkas, sekalian untukmu juga. Hari ini terik, aku yang menyetir kepanasan.” Abizar pura-pura mengibasi wajah dan bahunya dengan telapak tangan, Mawar mengangguk. Melakukan apa yang Abizar suruh. Setelah memastikan Mawar masuk ke dalam rumah dan tidak ak
“Mawar, Mawar.”Abizar berusaha membangunkan gadis itu. Di bangkunya Mawar bergumam dan menggeliat, padahal mobil yang dikendarai Abizar sudah sampai di kampung halamannya. Hanya saja, Abizar butuh arahan Mawar karena meskipun tahu nama kampung halamannya Mawar Abizar tidak tahu letak rumah gadis itu.Mawar ternyata susah bangun, membuat Abizar berdesis. Tangan Abizar tarik-ulur ragu, ingin menepuk pipi Mawar atau mengguncang tubuhnya membangunkan wanita itu. Menggunakan suara saja, sepertinya tidak akan berefek. “Ayolah bangun Mawar, Mawar. Mawar!” Abizar menghela napas, tak ada respon dari Mawar yang tidur seperti mati.Napas panas Abizar meniup-niup pipi Mawar, berusaha membangunkannya. Beralih ke mata, tapi ternyata tak ada efek sama sekali. Abizar yang lama-kelamaan kesal—mereka sudah terlalu lama berhenti di tepi jalan tanpa tujuan jika Mawar tidak memberi arahan, Abizar menarik kunci mobil dari lubangnya lalu diayunkannya ke
“Kamu punya banyak adik, ya?” Abizar bertanya.Mawar menganggukkan kepala, “iya, Tuan. Aku anak pertama, adikku ada empat. Yang paling bungsu Satria, Wulan anak keempat. Arya kelas 3 SMA, jadi wajar jika dia sibuk di sekolah bentar lagi tamat. Kalau Dimas masih kelas sepuluh, dia yang paling rajin bantu Bapak cari uang, sedangkan karena Arya pintar dan nilainya yang paling bagus di sekolah dia lebih fokus belajar, agar bisa mengincar beasiswa dan kuliah.”Abizar manggut-manggut, dijatuhkannya pantat ke sebuah kursi rotan di ruang depan setelah mereka masuk ke dalam rumah.“Ingin kubuatkan apa, Tuan?” Mawar bertanya, bersiap beranjak ke dapur.“Apa saja yang dingin,” Abizar terlihat kepanasan. Matahari di luar benar-benar terik.Baru saja Mawar hendak ke dapur, Wulan sudah menghamburkan diri ke pelukan kakaknya. “Kak Mawar!” Gadis kelas 2 SMP itu jingkrak-jingkrak. Memerhatikan setiap gerak
“Owalah!” Wanita tua tersebut terperanjat saat melewati teras dan masuk ke dalam rumah. Sayur-sayuran yang dibelinya terjatuh ke lantai dan berantakan. Langkah kecilnya mendekat, lalu bertanya kepada orang yang asing di matanya. “Kamu siapa, toh? Turis nyasar?”Abizar mengerjap, lalu tersenyum geli. Mungkin ini ibunya Mawar, yang habis pulang dari pasar.Mawar dengan cepat beranjak ke ruang tengah, menggantikan Abizar untuk menjelaskan. “Dia majikanku dari Semarang, Mak.”“Mawar!” Wanita tua tersebut terkejut melihat putri sulungnya yang sudah ada di rumah. Mengabaikan ‘turis yang nyasar di rumahnya’ tersebut, perempuan itu langsung memeluk erat anaknya. Tangis haru terdengar di antara mereka.“Akhirnya kamu pulang, Nak. Kukira kota Semarang membuatmu lupa kampung.” Kecupan bertubi ibunya layangkan ke pipi dan kening Mawar. Mawar tidak bisa menahan tangis, sedikit tidak enak saat dili
“Assalamualaikum!”Suara lelaki, Abizar waspada. Takut itu Rebi. Wajah yang sedikit mirip dengan Mawar muncul di ambang pintu, empat sahutan terdengar dari dalam. Dari Wulan, Nau, Mawar dan Satria secara kompak. Sedangkan Abizar hanya melirihkan jawaban, karena sempat waspada takut itu Rebi.Lelaki yang memakai seragam SMA tersebut mengerjap-ngerjap melihat Abizar, kakinya melangkah masuk lalu meletakkan tas sekolahnya ke atas meja rotan. “Anda siapa, ya?” Lelaki yang ditaksir berumur 17-18 tersebut bertanya sopan. Kharisma Abizar, entah dari wajah, tatapannya dan pakaiannya membuatnya segan. Abizar seperti cerdas dan dari kalangan atas.“Abizar Hafshan,” Abizar mengumbar senyum. Dia sudah mengambil hati Nau dan Satria, jangan sampai untuk keduakalinya membuat adik-adik Mawar ketakutan seperti Wulan karena tidak memperlihatkan keramahan. “Salam kenal.” Uluran tangan Abizar disambut oleh lelaki itu yang menelan sali
Meja makan sudah tertata-rapi. Tinggal menunggu Dimas dan ayahnya pulang, lima orang sudah menunggu di meja makan sederhana yang ada di sana. Ini hasil jerih-payah, Wulan, Nau dan Mawar. Abizar akan sangat menghargainya.Kegaduhan antara dua orang yang adu mulut terjadi di teras depan. “Bapak seharusnya tidak menghalangiku menghajar tiga orang brengsek itu! Lihat, salahsatu dari mereka tadi nyaris kubuat pecah kepalanya menggunakan batu! Kenapa Bapak malah menganggu?”“Dimas,” suara kebapakan terdengar menghela napas. “Kamu bisa dipenjara jika membunuh seseorang, Nak. Ikhlaskan saja yang terjadi, jangan emosian begini. Toh Mawar juga ada di kota Semarang, dia baik-baik saja di sana.”“Lah, mereka yang nyaris memerkosa seorang gadis baik-baik saja nggak dipenjara, apalagi aku! Seharusnya orang-orang tidak perlu memenjarakanku jika membunuh seorang brengsek yang menjadi terror baru untuk gadis-gadis di desa ini!”
“Setelah makan bersama kami, pulanglah Tuan.”Mawar memohon. Wajah memelas tersebut sedikit membuat Abizar luluh. “Kenapa begitu terburu-buru mengusirku, hem?”“Aku bukan mengusirmu,” Mawar menyangkal, kepalanya merunduk ke bawah.“Baiklah aku akan makan dan pulang setelah selesai,” Abizar terlihat patuh. Sedikit rona senang tercerminkan di wajah Mawar. Abizar merundukkan punggungnya, memberikan tangannya untuk Dimas agar disambut oleh bocah itu. Dibantu oleh Abizar, bocah itu bangkit berdiri. Abizar menggerakkan kepalanya ke dalam, begitu saja mereka menjadi akrab.Orang-orang sudah menunggu di meja makan. Mawar mengikuti punggung Abizar yang masuk bersamaan dengan Dimas. Abizar yang ‘beruang’ membuat Dimas percaya, melalui Abizar dia bisa membalaskan dendam tiga sekawan yang harta orang tua mereka menguasai desa ini.Suasana di meja makan cukup menyenangkan. Abizar mendadak lihai mengamb
“Kenapa kamu memberitahunya?” Mawar terdengar marah, mata wanita itu memerah. Dimas terlihat malas, tidak ditanggapinya sang Kakak dia sibuk memasukkan kripik ke dalam mulut. “Dimas!” Mawar membentak, satu tetes air mata membasahi ujung irisnya. Dimas menghela napas, sambil mengulum jari yang asin karena bumbu dia membalas, “katanya, uang hanya bisa dilawan dengan uang. Karena aku tidak memiliki uang, jadi aku serahkan saja kepada beliau—Tuan Abizar—yang beruang. Ini semua juga demi kamu, Kak. Mereka harus menerima ganjarannya.” “Bagaimana kalau Tuan Abizar membunuh mereka? Kamu mau majikanku dipidana, hah!” Suara Mawar meninggi. “Biarkan saja Hendrik, Bayu dan Samuel brengsek itu mati. Agar mereka juga merasakan bagaimana rasanya jadi kamu yang pernah berusaha bunuh diri karena nyaris diperkosa dan terus diteror oleh mereka. Kalau soal Tuan Abizar, aku yakin. Beliau memiliki lebih banyak uang untuk mengendalikan hukum agar tidak menahannya, kamu
“Permen sama es krimnya mana, Kak Mawar?” Satria merengek-rengek. “Ih, kalau bo’ong aku aduin ke Om Izar, loh. Biar nggak jadi nikahin Kak Mawar yang nggak nepatin janji!” Satria memeletkan lidahnya. Mawar yang tengah menyusun piring hanya tersenyum kecil, “tunggu sebentar, ya. Kakak beresin ini dulu. Setelah ini kita ke toko depan, sekalian Kak Mawar mau beli perlengkapan mandi, tubuh Kak Mawar bau soalnya.” Akhirnya Satria menunggu dengan sabar. Bocah lelaki bergelayut di kaki jenjang Mawar saat wanita itu masih menyusun piring. Tentu saja ulah Satria membuat Mawar kesusahan dan tidak bisa bergerak dengan leluasa. Setelah semua piring sudah tersusun dengan benar Satria mengulurkan tangannya ke udara, meminta untuk disambut oleh Mawar dan digendong. Mawar langsung mengangkat pinggang mungil bocah tersebut lalu membawanya ke dalam pelukan. Dalam dekapan Mawar ‘pun Satria tidak diam, seperti kebiasaannya yang sudah mendarah-daging bocah itu menggesek-gesekkan kepalanya ke dada dan