Malam harinya Tamara berkendara seorang diri, mengingat ide nya untuk makan malam ditolak mentah-mentah oleh Jason. Mobil yang ia kendarai lalu berhenti di depan sebuah rumah kayu yang terlihat rapuh dan hampir roboh.“Kerja bagus Robi, sepertinya kau akan singgah di sini cukup lama. Jadi belilah perlengkapan untuk singgah, dan nikmati hari-harimu bersama wanita tua itu. Aku sarankan untuk berhati-hati, aku takut kau jatuh cinta,”“Di luar sana masih banyak wanita-wanita cantik sepertimu Nona, mengapa aku harus memilih wanita tua dan ringkih seperti dia,” ungkap Robi.“Menyingkirlah, aku akan mengambil videonya,” titah Tamara. Wanita itu mengeluarkan handphone nya dan mulai merekam kondisi wanita tua yang cukup memprihatinkan itu.“Hai nyonya tua, coba sapa putramu. Mungkin ingin menitipkan kalimat terakhir? Siapa yang tahu, malam ini kau akan pergi menemui ajalmu,” ujar Tamara disertai kekehan.“Roland, jangan khawatirkan Ibu. Uruslah dirimu sendiri dan hidup dengan baik Nak, apa pun
Pagi-pagi sekali Nila sudah bangun dan berkutat dengan taman barunya. Memang, rumah baru yang ia pergi mencakup sebuah taman kecil yang sudah tumbuh beberapa bunga indah seperti mawar dan melati. Nila tengah duduk di teras ditemani tumpukan kertas lamaran pekerjaan dan secangkir kopi. Sedangkan Mala tengah mempersiapkan Haiden untuk pergi ke sekolah. Di dalam kamar terlihat Mala yang menggendong Haiden yang terbalut handuk setelah mandi. Keduanya lalu bercanda kecil. “Tuan Muda, bagaimana jika Anda memanggil saya Ibu? Terdengar menggemaskan bukan? Memiliki dua Ibu,” ujar Mala di luar nalar. “Bolehkah aku memanggil begitu? Memang, sekarang suster lebih terlihat seperti Ibuku dari pada Mama kandungku sendiri. Suster, maksudku Ibu yang mengurus segalanya tentangku. Mama selalu sibuk mengurusi Om Jason tanpa mengurusi aku. Kata Ibu, Mama sering di kamar bersama Om Roland. Entah kenapa Mamaku suka sekali berganti pria, aku malu mengakuinya Ibu,” ujar Haiden. “Sekarang ayo pakai seragam
“Jadi? Kamu menemukan dia?” tanya Jason yang ke sekian kalinya sejak empat tahun terakhir.“Ya, aku menemukan dia. Perempuan dua puluh lima tahun, dia seorang pelacur yang memang biasa berada di bar. Malam itu dia sedang diputuskan pacarnya, lalu memutuskan untuk mabuk-mabukan,” ujar Roland.“Mana mungkin ada seorang jalang yang masih perawan, kau pasti salah orang. Sudah empat tahun dan kau masih belum menemukan dia? Parah sekali kau ini,” tukas Jason.“Kau mengingat wajahnya?” tanya Roland memastikan.“Meski sudah memudar, aku yakin ingatan tentang wajahnya akan kembali saat aku melihatnya,” balas Jason.“Kalau begitu lihat foto-foto ini.” Roland menyodorkan foto-foto porno Nila yang nyatanya adalah foto hasil editan.“Dia orangnya! Bawa aku menemui dia!” “Kenapa Anda membuang waktu menemui seorang jalang, Pak?” tanya Roland jengah.“Kau ini tuli atau bagaimana? Dia masih perawan, mana mungkin ada jalang perawan bodoh!” “Malam itu hari pertamanya, aku bahkan memiliki nomor muncika
Nila yang baru saja turun dari taksi dikejutkan dengan pria yang duduk di teras rumahnya. Netranya memicing, memastikan siapa pria itu.“Danu?” panggil Nila ragu.Pria yang semula memperhatikan tanaman itu mendongak lalu berdiri. “Hai, rindu aku?”“Astaga, ke mana saja kamu?” balas Nila.“Aku sedang berobat-maksudku Ayahku, aku mengantarnya berobat di Singapura,” ujar Danu.“Aku tahu itu, maksudku kamu menghilang ke mana? Kamu tidak bisa dihubungi, seakan-akan kamu yang berobat saja,” tukas Nila diakhiri kekehan.“Ya, begitulah. Oh ya, Haiden apa kabar?” tanya Danu.“Aku lengah Dan, aku membiarkan seseorang mengotori otak bersihnya. Dia sudah mengetahui banyak kosa kata buruk di usianya yang sedini ini, seharusnya aku menjaganya,” balas Nila lesu.“Apa yang terjadi?” tanya Danu prihatin.“Pernah, dia pulang dengan wajah penuh memar. Saat aku menanyainya, justru jawaban yang aku dengar sangat menyeramkan.” Nila kembali mengingat kata-kata kasar yang dilontarkan Haiden hari itu.“Haiden
Hari ini Nila mulai bekerja, dan pagi-pagi sekali Danu sudah nangkring di depan rumah. Nila segera masuk ke mobil, di mana Danu sudah berdiri untuk membukakan pintu.“Sudah siap bekerja?” tanya Danu.“Tentu saja, siap melayani apa pun masalahmu!” balas Nila menggebu.Keduanya lalu menaiki mobil dan memulai perjalanan menuju kantor. Di perjalanan Danu menyodorkan beberapa dokumen kepada Nila.“Tolong cek tanggal pertemuan, kalau ada yang bentrok nanti kamu atur ulang jadwalnya,” titah Danu.“Baiklah Dan.” Nila mulai sibuk berkutat dengan berkas-berkas di tangannya.“Andai aku bisa memilikimu La, sayangnya itu mustahil,” batin Danu.Cit— Nila menutup mata dan telinganya saat mendengar ban mobil kontainer yang berdecit. Tangannya seketika gemetar, bayangan kejadian hari itu muncul kembali di kepalanya.Melihat Nila yang tidak baik-baik saja, Danu meminggirkan mobil lalu menangkup wajah Nila. “Ada apa? Apa kamu mengalami sesuatu?”“S-suara itu, aku teringat saat aku ditabrak oleh kontain
“Intinya wanita itu tidak ada habisnya membuat masalah. Rasanya ingin aku pecat saat itu juga,” tukas Nila kesal.“Lalu kenapa tidak melakukannya? Lagi pula kamu berhak penuh atas bekerja atau tidaknya dia,” balas Danu tak mengerti.“Andai aku bisa, Haiden benar-benar seperti orang lain. Tapi, aku ingat betul hanya melahirkan satu bayi. Tetapi sifatnya sangat berbanding terbalik dengan Haiden yang aku kenal,” ungkap Nila tidak habis pikir.Akhir-akhir ini Nila berpikir, alasan perubahan sikap Haiden yang sangat aneh. Ia merasa itu juga sebagian kesalahannya, andai ia tidak lengah dan membiarkan Haiden mendapat pengaruh buruk dari luar.“Sejujurnya aku merasa gagal menjadi Ibu, putraku harus memiliki sifat yang buruk dan pengetahuan orang dewasa di usianya yang masih balita,” ujar Nila.Danu lalu mengelus pundak Nila untuk menguatkan, “Yakinlah, semua akan baik-baik saja. Dia masih putramu, yang kamu lahirkan dengan nyawa sebagai taruhan, yang kamu perjuangkan dengan keringat sebagai p
Di dalam mobil terdapat dua anak manusia yang sama-sama sedang merasa bahagia. Keduanya tersenyum lega setelah mendapatkan sebuah proyek besar yang akan membawa perubahan untuk perusahaan mereka.“Saya sangat lega, Pak. Dengan begini, perusahaan kita akan semakin maju dan dikenal banyak orang,” ujar Nila.“Aku juga senang. Bicaramu Nila, ini di luar jam kerja,” timpal Danu.“Iya-iya!” “Mau makan untuk merayakan ini?” tawar Danu.“Oh ayolah, kamu lupa kita habis rapat di mana? Uang tiga puluh juta habis hanya dalam sekali makan.” Nila memutar bola mata malas, mengingat Danu yang tergolong cukup boros.“Tiga puluh juta, jika dibandingkan dengan banyaknya uang hasil proyek itu tidak ada apa-apanya La. Itu, bisa disebut investasi yang menjanjikan,” papar Danu.“Alah, tetap saja boros namanya. Memang tidak bisa, makan di tempat yang biasa-biasa saja?” tanya Nila sewot.“Nanti saat kamu menjadi wanitaku, semua uang itu milikmu La.”Setelah ucapan Danu, suasana di mobil mendadak hening seir
Nila membuka lemari pakaian Haiden, dan ternyata kosong tanpa sisa. Beberapa mainan kesayangan yang tidak bisa ia tinggalkan juga tidak ada. Nila lalu menelisik seluruh ruangan, dan menyadari bahwa pakaian Mala juga tidak ada.“Tidak mungkin, putraku pasti ada di sekitar sini. Haiden?” Netranya menangkap sebuah kertas berwarna merah yang terselip di tumpukan buku meja belajarnya. Wanita itu lalu menarik kertas itu kasar.“Maaf nyonya, rupanya putra Anda lebih menyukai saya sebagai Ibunya dari pada Anda Ibu kandungnya sendiri. Memang, putra mana yang mau diasuh oleh seorang jalang murahan. Selamat menikmati hari-hari penuh penyesalan. Karena sekeras apa pun usahamu, akan berakhir sia-sia. Aku berada di tempat yang tidak pernah kamu duga. Wanita angkuh sepertimu pantas hidup sendiri, alih-alih ditemani putra yang tampan, manis, dan berperilaku baik seperti Haiden.”Air mata Nila lolos ketika membacanya, rasa sedih bercampur dengan emosi. Tangannya bergerak meremas kertas sialan tersebu