“Memang, yang mengontrak adalah asisten pribadi teman saya. Itu juga, karena sebelumnya saya bertemu dengan Mala yang mengatakan memiliki dua anak, tapi baru saja kehilangan pekerjaan karena majikan lamanya pindah. Saat itu saya mengalami kecelakaan, dan asisten pribadi teman saya menghubungi Mala yang sebelumnya sudah menghubungi saya lebih dulu,” cetus Nila.“Sebenarnya, semua yang dikatakan beliau sepenuhnya bohong.” “Faktanya, beliau hanya memiliki satu anak hasil berhubungan gelap dengan suami orang lain. Anaknya tewas karena di bunuh orang suruhan istri sah orang tersebut. Tentang majikan sebelum Anda, beliau mengakhiri kontrak karena Mala mengambil alih semua pekerjaan rumah. Seakan-akan, Mala adalah Ibu dari anak tersebut, sekaligus istri rumah tersebut. Itu alasan, mengapa klien sebelumnya mengakhiri kontrak,” ungkap Bu Tiwi. Nila cukup tercengang, ia lalu mengingat-ingat tingkah laku Mala saat bekerja di rumahnya. Wanita itu memang kerap kali memosisikan diri sebagai Ibu d
Nila berkalang gontai ke arah mobil setelah keluar dari perusahaan. Alih-alih benang merah, mereka justru menemui gang buntu. Tidak ada yang bisa membantu dari data diri Mala yang tertera di perusahaan ini.Danu lalu mengelus pundak Nila di tengah langkahnya. Pria itu menatap netra Nila lekat sembari tersenyum, “Semua pasti akan baik-baik saja.”Nila menghela nafas sebelum akhirnya memaksakan senyum. Keduanya lalu masuk ke dalam mobil dan pergi ke tempat selanjutnya. Tempat yang menurut mereka cukup berisiko.“Apa kamu yakin akan ke sana La?” tanya Danu untuk ke sekian kalinya.“Jadikan itu pertanyaan terakhirmu Dan, jangankan rumah istri sah, rumah duka pun akan kudatangi jika itu berhubungan dengan putraku,” tukas Nila.“Aku benar-benar bisa gila jika tidak segera mendapatkan putraku,” imbuhnya.Keduanya memang berencana mendatangi rumah pria yang sempat menjadikan Mala sebagai simpanan. Mereka ingin tahu, apa ada sesuatu di sana.“Aku harap, kendalikan dirimu di sana La. Kita tidak
“Memang benar semua yang dikatakan oleh pimpinan perusahaan tersebut. Kecuali, di poin putranya terbunuh oleh orang suruhan saya,” cetus Gina dengan wajah tenangnya. Wanita itu memfokuskan pandangan pada kukku-kukku palsu yang mempercantik jari-jarinya.“Maksud Anda? Lalu siapa yang memerintahkan orang untuk membunuh putra suster tersebut?”Wanita itu tersenyum penuh misteri sebelum akhirnya mengatakan, “Entah Anda mau percaya atau tidak, tapi ini adalah faktanya.”“Pelaku yang menyuruh orang untuk membunuh putra dari jalang itu adalah Mas Alam. Ya, suamiku sendiri yang melakukannya tanpa perintahku. Wanita itu terlalu naif hingga berharap putranya akan mewarisi harta suamiku. Apa pun yang terjadi, suamiku sangat menyayangi Arthur putra kami. Dia juga sangat memanjakan Artha putri kesayangannya. Bahkan sejak keduanya lahir, aku tidak diberikan sedikit pun warisan. Semua hartanya di bagi dua untuk putra putri kami. Lalu dengan percaya dirinya, jalang itu bertanya kepada suamiku perihal
Tiga hari terakhir Danu tinggal di rumah Nila, namun selama itu mereka sangat jarang berada di rumah. Danu mengikuti ke mana pun Nila ingin mencari keberadaan Haiden. Kondisi wanita itu sudah seperti mayat hidup karena kehilangan putranya.Danu sudah kehabisan cara untuk memaksa Nila agar mau makan. Wanita itu bahkan makan sehari hanya satu kali itu pun sekedar roti atau makanan ringan lainnya. Danu lalu menuntun Nila memasuki rumah megah bernuansa Eropa. Nila hanya menuruti ke mana Danu membawanya, ia sudah kehabisan tenaga dan air mata.“Astaga, ada apa dengannya Dan?” tanya seorang wanita paruh baya yang langsung merangkul Nila.“Dia yang aku ceritakan Ma, aku bingung harus apa lagi,” papar Danu.“Kamu ke atas saja, biar Mama yang mengurus Nila. Nanti pergilah dengan diantar oleh Dio,” titah Maya.Danu menurut, pria itu membiarkan Mamanya membawa Nila ke arah taman. Ia lalu mendudukkan Nila di gazebo taman.“Perkenalkan, nama Tante Maya, panggil Mama saja ya?” “Iya, Ma. Maaf, say
Tamara dan Mala memutuskan membawa Haiden berjalan-jalan agar bocah empat tahun itu tidak merasa disekap. Keduanya membawa Haiden ke salah satu pusat perbelanjaan untuk bermain di arena permainan.“Tante, kenapa tidak bersama Om Jason?” tanya Haiden. Rupanya bocah empat tahun itu diam-diam merindukan pria yang pernah ia minta menjadi Ayahnya.“Haiden merindukan Om Jason?” tanya Tamara sembari menyejajarkan tingginya dengan Haiden.“T-tidak kok Tante,” balas Haiden gugup.“Tidak masalah sayang, sekarang kan kamu sudah tidak dengan Mama Nila lagi. Mau mengatur waktu untuk bertemu Om Jason?” tawar Tamara.“Apa boleh Tante?” tanya Haiden berbinar.“Tentu saja sayang! Tante tidak pernah memiliki masalah dengan kamu, Tante hanya sedikit kesal karena Mama kamu membuat Om Jason menjauhi Tante. Tapi, karena sekarang kondisinya sudah membaik, kamu bisa bertemu dengan Om Jason.”“Wah! Terima kasih Tante!” Haiden berhambur memeluk Tamara, wanita itu juga balik memeluk Haiden.“Sudah peluk-pelukan
“Akh!” Nila terbangun dengan wajah penuh keringat, diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari.“Syukurlah, itu semua hanya mimpi,” gumam Nila.Wanita itu lalu bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi berniat buang air kecil sekaligus mencuci muka, setelah itu ia kembali naik ke atas kasur dan tidur dengan posisi membelakangi Danu yang entah sejak kapan berada di sana.Alih-alih tidur dengan tenang, Nila terus bergerak ke sana kemari hingga mengusik Danu yang tengah tidur di sebelahnya. Pria itu kemudian bertanya, “Ada apa denganmu La?” “Aku gelisah dan tidak bisa tidur setelah mengalami mimpi buruk Dan,” balas Nila.“Mimpi ... buruk?” tanya Danu tak paham.“Iya, aku semalam bermimpi Haiden dan Mala tewas. Mengerikan sekali bukan? Aku jadi ke pikiran dan susah tidur,” ungkap Nila.“Se andainya kamu tahu itu bukan mimpi La. Itu kenyataannya, bahkan rumah sakit memiliki data kematian Haiden hari ini,” batin Danu sembari menatap Nila iba.“Tidurlah, besok akan jadi har
Dio terbangun karena terusik dengan dering handphone nya yang sangat nyaring. Pria itu lalu merampas handphone miliknya yang semula berada di meja nakas.“Katakan, apa maumu?” tanya Dio dengan suara serak khas bangun tidur.“Maaf jika saya mengganggu, Pak. Nona Nila memaksa ingin di antar pergi, awalnya beliau tidak mengatakan ingin di antar ke mana. Sebelumnya beliau sangat lemah lembut, tapi tadi beliau meneriaki kami, jadi saya memutuskan untuk mengantar beliau. Di tengah perjalanan rupanya beliau minta di antar ke makam Tuan Muda.” Mata Dio sontak terbuka sempurna, kesadarannya kembali secara instan, netranya menelisik sekitar, berkas-berkas miliknya yang tercecer di mana-mana sudah cukup menjelaskan. “Jaga Nona Nila dulu, aku akan segera tiba paling lama tiga puluh menit.” Dio lalu memutuskan sambungan telepon, dihembuskan nafas gusar sebelum akhirnya berdiri. Pria itu lalu melangkah ke kamar Tuan nya. Tanpa mengetuk, pria itu langsung masuk dan mengguncang tubuh Danu agar ter
Sudah lebih dari satu bulan terakhir kondisi Nila benar-benar seperti mayat hidup. Danu dan keluarganya sangat telaten dalam mengurus Nila yang notabene bukan siapa-siapa mereka. Seperti saat ini, Nila sedang duduk termenung di gazebo taman. Danu dengan telaten menyisir rambut Nila lalu menyatukannya dengan jepit rambut. Pria itu lalu duduk di sebelah Nila, membawa tangan wanita itu ke pangkuannya.“Kamu pasti bisa,” ujarnya dengan senyuman sembari menatap netra Nila. Wanita itu membalas dengan seulas senyum yang terbit dari bibir pucatnya. Akhir-akhir ini kondisi wanita itu sudah mulai membaik, hatinya sudah mulai lapang dan menerima kenyataan bahwa Haiden sudah bahagia di atas sana.“Terima kasih, dan maaf sudah banyak merepotkanmu juga keluargamu Dan,” cetus Nila.“Aku sudah menganggapmu adik, dan orang tuaku sudah menganggapmu putri rumah ini,” balas Danu sembari membelai surai Nila halus.“Aku beruntung memiliki kakak sepertimu, jika tidak ada kamu dan Mama, mungkin aku sudah .
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid