Nila membuka lemari pakaian Haiden, dan ternyata kosong tanpa sisa. Beberapa mainan kesayangan yang tidak bisa ia tinggalkan juga tidak ada. Nila lalu menelisik seluruh ruangan, dan menyadari bahwa pakaian Mala juga tidak ada.“Tidak mungkin, putraku pasti ada di sekitar sini. Haiden?” Netranya menangkap sebuah kertas berwarna merah yang terselip di tumpukan buku meja belajarnya. Wanita itu lalu menarik kertas itu kasar.“Maaf nyonya, rupanya putra Anda lebih menyukai saya sebagai Ibunya dari pada Anda Ibu kandungnya sendiri. Memang, putra mana yang mau diasuh oleh seorang jalang murahan. Selamat menikmati hari-hari penuh penyesalan. Karena sekeras apa pun usahamu, akan berakhir sia-sia. Aku berada di tempat yang tidak pernah kamu duga. Wanita angkuh sepertimu pantas hidup sendiri, alih-alih ditemani putra yang tampan, manis, dan berperilaku baik seperti Haiden.”Air mata Nila lolos ketika membacanya, rasa sedih bercampur dengan emosi. Tangannya bergerak meremas kertas sialan tersebu
“Memang, yang mengontrak adalah asisten pribadi teman saya. Itu juga, karena sebelumnya saya bertemu dengan Mala yang mengatakan memiliki dua anak, tapi baru saja kehilangan pekerjaan karena majikan lamanya pindah. Saat itu saya mengalami kecelakaan, dan asisten pribadi teman saya menghubungi Mala yang sebelumnya sudah menghubungi saya lebih dulu,” cetus Nila.“Sebenarnya, semua yang dikatakan beliau sepenuhnya bohong.” “Faktanya, beliau hanya memiliki satu anak hasil berhubungan gelap dengan suami orang lain. Anaknya tewas karena di bunuh orang suruhan istri sah orang tersebut. Tentang majikan sebelum Anda, beliau mengakhiri kontrak karena Mala mengambil alih semua pekerjaan rumah. Seakan-akan, Mala adalah Ibu dari anak tersebut, sekaligus istri rumah tersebut. Itu alasan, mengapa klien sebelumnya mengakhiri kontrak,” ungkap Bu Tiwi. Nila cukup tercengang, ia lalu mengingat-ingat tingkah laku Mala saat bekerja di rumahnya. Wanita itu memang kerap kali memosisikan diri sebagai Ibu d
Nila berkalang gontai ke arah mobil setelah keluar dari perusahaan. Alih-alih benang merah, mereka justru menemui gang buntu. Tidak ada yang bisa membantu dari data diri Mala yang tertera di perusahaan ini.Danu lalu mengelus pundak Nila di tengah langkahnya. Pria itu menatap netra Nila lekat sembari tersenyum, “Semua pasti akan baik-baik saja.”Nila menghela nafas sebelum akhirnya memaksakan senyum. Keduanya lalu masuk ke dalam mobil dan pergi ke tempat selanjutnya. Tempat yang menurut mereka cukup berisiko.“Apa kamu yakin akan ke sana La?” tanya Danu untuk ke sekian kalinya.“Jadikan itu pertanyaan terakhirmu Dan, jangankan rumah istri sah, rumah duka pun akan kudatangi jika itu berhubungan dengan putraku,” tukas Nila.“Aku benar-benar bisa gila jika tidak segera mendapatkan putraku,” imbuhnya.Keduanya memang berencana mendatangi rumah pria yang sempat menjadikan Mala sebagai simpanan. Mereka ingin tahu, apa ada sesuatu di sana.“Aku harap, kendalikan dirimu di sana La. Kita tidak
“Memang benar semua yang dikatakan oleh pimpinan perusahaan tersebut. Kecuali, di poin putranya terbunuh oleh orang suruhan saya,” cetus Gina dengan wajah tenangnya. Wanita itu memfokuskan pandangan pada kukku-kukku palsu yang mempercantik jari-jarinya.“Maksud Anda? Lalu siapa yang memerintahkan orang untuk membunuh putra suster tersebut?”Wanita itu tersenyum penuh misteri sebelum akhirnya mengatakan, “Entah Anda mau percaya atau tidak, tapi ini adalah faktanya.”“Pelaku yang menyuruh orang untuk membunuh putra dari jalang itu adalah Mas Alam. Ya, suamiku sendiri yang melakukannya tanpa perintahku. Wanita itu terlalu naif hingga berharap putranya akan mewarisi harta suamiku. Apa pun yang terjadi, suamiku sangat menyayangi Arthur putra kami. Dia juga sangat memanjakan Artha putri kesayangannya. Bahkan sejak keduanya lahir, aku tidak diberikan sedikit pun warisan. Semua hartanya di bagi dua untuk putra putri kami. Lalu dengan percaya dirinya, jalang itu bertanya kepada suamiku perihal
Tiga hari terakhir Danu tinggal di rumah Nila, namun selama itu mereka sangat jarang berada di rumah. Danu mengikuti ke mana pun Nila ingin mencari keberadaan Haiden. Kondisi wanita itu sudah seperti mayat hidup karena kehilangan putranya.Danu sudah kehabisan cara untuk memaksa Nila agar mau makan. Wanita itu bahkan makan sehari hanya satu kali itu pun sekedar roti atau makanan ringan lainnya. Danu lalu menuntun Nila memasuki rumah megah bernuansa Eropa. Nila hanya menuruti ke mana Danu membawanya, ia sudah kehabisan tenaga dan air mata.“Astaga, ada apa dengannya Dan?” tanya seorang wanita paruh baya yang langsung merangkul Nila.“Dia yang aku ceritakan Ma, aku bingung harus apa lagi,” papar Danu.“Kamu ke atas saja, biar Mama yang mengurus Nila. Nanti pergilah dengan diantar oleh Dio,” titah Maya.Danu menurut, pria itu membiarkan Mamanya membawa Nila ke arah taman. Ia lalu mendudukkan Nila di gazebo taman.“Perkenalkan, nama Tante Maya, panggil Mama saja ya?” “Iya, Ma. Maaf, say
Tamara dan Mala memutuskan membawa Haiden berjalan-jalan agar bocah empat tahun itu tidak merasa disekap. Keduanya membawa Haiden ke salah satu pusat perbelanjaan untuk bermain di arena permainan.“Tante, kenapa tidak bersama Om Jason?” tanya Haiden. Rupanya bocah empat tahun itu diam-diam merindukan pria yang pernah ia minta menjadi Ayahnya.“Haiden merindukan Om Jason?” tanya Tamara sembari menyejajarkan tingginya dengan Haiden.“T-tidak kok Tante,” balas Haiden gugup.“Tidak masalah sayang, sekarang kan kamu sudah tidak dengan Mama Nila lagi. Mau mengatur waktu untuk bertemu Om Jason?” tawar Tamara.“Apa boleh Tante?” tanya Haiden berbinar.“Tentu saja sayang! Tante tidak pernah memiliki masalah dengan kamu, Tante hanya sedikit kesal karena Mama kamu membuat Om Jason menjauhi Tante. Tapi, karena sekarang kondisinya sudah membaik, kamu bisa bertemu dengan Om Jason.”“Wah! Terima kasih Tante!” Haiden berhambur memeluk Tamara, wanita itu juga balik memeluk Haiden.“Sudah peluk-pelukan
“Akh!” Nila terbangun dengan wajah penuh keringat, diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari.“Syukurlah, itu semua hanya mimpi,” gumam Nila.Wanita itu lalu bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi berniat buang air kecil sekaligus mencuci muka, setelah itu ia kembali naik ke atas kasur dan tidur dengan posisi membelakangi Danu yang entah sejak kapan berada di sana.Alih-alih tidur dengan tenang, Nila terus bergerak ke sana kemari hingga mengusik Danu yang tengah tidur di sebelahnya. Pria itu kemudian bertanya, “Ada apa denganmu La?” “Aku gelisah dan tidak bisa tidur setelah mengalami mimpi buruk Dan,” balas Nila.“Mimpi ... buruk?” tanya Danu tak paham.“Iya, aku semalam bermimpi Haiden dan Mala tewas. Mengerikan sekali bukan? Aku jadi ke pikiran dan susah tidur,” ungkap Nila.“Se andainya kamu tahu itu bukan mimpi La. Itu kenyataannya, bahkan rumah sakit memiliki data kematian Haiden hari ini,” batin Danu sembari menatap Nila iba.“Tidurlah, besok akan jadi har
Dio terbangun karena terusik dengan dering handphone nya yang sangat nyaring. Pria itu lalu merampas handphone miliknya yang semula berada di meja nakas.“Katakan, apa maumu?” tanya Dio dengan suara serak khas bangun tidur.“Maaf jika saya mengganggu, Pak. Nona Nila memaksa ingin di antar pergi, awalnya beliau tidak mengatakan ingin di antar ke mana. Sebelumnya beliau sangat lemah lembut, tapi tadi beliau meneriaki kami, jadi saya memutuskan untuk mengantar beliau. Di tengah perjalanan rupanya beliau minta di antar ke makam Tuan Muda.” Mata Dio sontak terbuka sempurna, kesadarannya kembali secara instan, netranya menelisik sekitar, berkas-berkas miliknya yang tercecer di mana-mana sudah cukup menjelaskan. “Jaga Nona Nila dulu, aku akan segera tiba paling lama tiga puluh menit.” Dio lalu memutuskan sambungan telepon, dihembuskan nafas gusar sebelum akhirnya berdiri. Pria itu lalu melangkah ke kamar Tuan nya. Tanpa mengetuk, pria itu langsung masuk dan mengguncang tubuh Danu agar ter