Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, terlihat dua orang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh di lobi rumah sakit dengan diikuti oleh banyak pria dengan setelan hitam.Tatapannya berubah nyalang setelah melihat sepuluh pengawal yang ia tugaskan terikat menjadi satu dengan kondisi babak belur. Wanita yang berusia lebih dari setengah abad menendang pintu ruang rawat dengan kuat.Membangunkan seorang pria yang terlelap di sofa. Beberapa pengawal langsung memegangi tangan pria tersebut, mengabaikan berontaknya.“Sialan! Lepaskan saya!”“Apa yang akan Anda lakukan Madam?!” teriaknya.Wanita yang dipanggil Madam itu segera menarik paksa wanita yang tertidur di atas bangkar putranya. Setelah wanita itu terduduk dengan mata setengah terpejam, tanpa basa-basi Madam Santi menjatuhkan tamparan di pipi wanita tersebut.Plak!“Akh!” erang sang wanita yang merupakan Nila Anggraini.“Jalang sialan! Berani-beraninya kau datang kemari? Ingin menjemput ajalmu sendiri?!” teriak Santi.Beberapa pengawal
Tamara terlelap di kursi sebelah bangkar tempat Jason terlelap. Wanita itu mengabaikan tukang bersih-bersih yang tengah membersihkan kekacauan sisa semalam. Tak dapat dipungkiri uang adalah segalanya, tidak ada protes dari pihak rumah sakit terkait semua yang terjadi.Jari-jari Jason bergerak seiring dengan matanya yang terbuka perlahan. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Tamara yang terlelap dengan menindih tangan kirinya.Tangan kanan Jason terulur mengelus surai Tamara, sehingga sang pemilik terusik. Tamara membuka matanya, ia sangat terkejut melihat pelaku yang mengelus kepalanya.“Jason? K-kamu sudah sadar?” tanya Tamara dengan mata berkaca-kaca.Jason mengangguk lemah tangannya terulur membersihkan air mata Tamara. “Aku baik-baik saja, jangan menangis seperti ini Tamara.”“Baik-baik saja apanya, kamu terbaring lemah lebih dari satu Minggu Jason. Setiap hari terasa menyeramkan dengan bayang-bayang kehilanganmu.” Tangisan Tamara pecah saat itu juga.Jason menarik Tamara untu
Pagi ini Jason tiba di kantor dengan ditemani Tamara selaku sekretaris sekaligus tunangannya. Keduanya tampak serasi dengan setelan jas senada berwarna coklat muda. “Apa agendaku hari ini Tamara?” tanya Jason sembari memperhatikan jam tangannya.“Nanti jam delapan ada tanda tangan kontrak dengan investor baru asal Kanada, penerjemah akan tiba pukul setengah delapan untuk berunding. Jam sepuluh ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani terkait pembangunan beberapa proyek. Dilanjut makan siang dengan klien sekaligus membahas proyek pembangunan sekolah dasar swasta. Jam dua siang menghadiri rapat bersama para pemegang saham untuk memantau progres saham satu bulan terakhir, juga membahas pengembangan kinerja perusahaan. Seharusnya jam empat sore kosong, tetapi baru beberapa menit yang lalu seseorang membuat janji,” papar Tamara.“Siapa?” tanya Jason, seingatnya ia tidak pernah menerima janji dadakan, kecuali jika orang itu sangat penting.“Klien yang berencana menggunakan jasa perus
Malam harinya Tamara berkendara seorang diri, mengingat ide nya untuk makan malam ditolak mentah-mentah oleh Jason. Mobil yang ia kendarai lalu berhenti di depan sebuah rumah kayu yang terlihat rapuh dan hampir roboh.“Kerja bagus Robi, sepertinya kau akan singgah di sini cukup lama. Jadi belilah perlengkapan untuk singgah, dan nikmati hari-harimu bersama wanita tua itu. Aku sarankan untuk berhati-hati, aku takut kau jatuh cinta,”“Di luar sana masih banyak wanita-wanita cantik sepertimu Nona, mengapa aku harus memilih wanita tua dan ringkih seperti dia,” ungkap Robi.“Menyingkirlah, aku akan mengambil videonya,” titah Tamara. Wanita itu mengeluarkan handphone nya dan mulai merekam kondisi wanita tua yang cukup memprihatinkan itu.“Hai nyonya tua, coba sapa putramu. Mungkin ingin menitipkan kalimat terakhir? Siapa yang tahu, malam ini kau akan pergi menemui ajalmu,” ujar Tamara disertai kekehan.“Roland, jangan khawatirkan Ibu. Uruslah dirimu sendiri dan hidup dengan baik Nak, apa pun
Pagi-pagi sekali Nila sudah bangun dan berkutat dengan taman barunya. Memang, rumah baru yang ia pergi mencakup sebuah taman kecil yang sudah tumbuh beberapa bunga indah seperti mawar dan melati. Nila tengah duduk di teras ditemani tumpukan kertas lamaran pekerjaan dan secangkir kopi. Sedangkan Mala tengah mempersiapkan Haiden untuk pergi ke sekolah. Di dalam kamar terlihat Mala yang menggendong Haiden yang terbalut handuk setelah mandi. Keduanya lalu bercanda kecil. “Tuan Muda, bagaimana jika Anda memanggil saya Ibu? Terdengar menggemaskan bukan? Memiliki dua Ibu,” ujar Mala di luar nalar. “Bolehkah aku memanggil begitu? Memang, sekarang suster lebih terlihat seperti Ibuku dari pada Mama kandungku sendiri. Suster, maksudku Ibu yang mengurus segalanya tentangku. Mama selalu sibuk mengurusi Om Jason tanpa mengurusi aku. Kata Ibu, Mama sering di kamar bersama Om Roland. Entah kenapa Mamaku suka sekali berganti pria, aku malu mengakuinya Ibu,” ujar Haiden. “Sekarang ayo pakai seragam
“Jadi? Kamu menemukan dia?” tanya Jason yang ke sekian kalinya sejak empat tahun terakhir.“Ya, aku menemukan dia. Perempuan dua puluh lima tahun, dia seorang pelacur yang memang biasa berada di bar. Malam itu dia sedang diputuskan pacarnya, lalu memutuskan untuk mabuk-mabukan,” ujar Roland.“Mana mungkin ada seorang jalang yang masih perawan, kau pasti salah orang. Sudah empat tahun dan kau masih belum menemukan dia? Parah sekali kau ini,” tukas Jason.“Kau mengingat wajahnya?” tanya Roland memastikan.“Meski sudah memudar, aku yakin ingatan tentang wajahnya akan kembali saat aku melihatnya,” balas Jason.“Kalau begitu lihat foto-foto ini.” Roland menyodorkan foto-foto porno Nila yang nyatanya adalah foto hasil editan.“Dia orangnya! Bawa aku menemui dia!” “Kenapa Anda membuang waktu menemui seorang jalang, Pak?” tanya Roland jengah.“Kau ini tuli atau bagaimana? Dia masih perawan, mana mungkin ada jalang perawan bodoh!” “Malam itu hari pertamanya, aku bahkan memiliki nomor muncika
Nila yang baru saja turun dari taksi dikejutkan dengan pria yang duduk di teras rumahnya. Netranya memicing, memastikan siapa pria itu.“Danu?” panggil Nila ragu.Pria yang semula memperhatikan tanaman itu mendongak lalu berdiri. “Hai, rindu aku?”“Astaga, ke mana saja kamu?” balas Nila.“Aku sedang berobat-maksudku Ayahku, aku mengantarnya berobat di Singapura,” ujar Danu.“Aku tahu itu, maksudku kamu menghilang ke mana? Kamu tidak bisa dihubungi, seakan-akan kamu yang berobat saja,” tukas Nila diakhiri kekehan.“Ya, begitulah. Oh ya, Haiden apa kabar?” tanya Danu.“Aku lengah Dan, aku membiarkan seseorang mengotori otak bersihnya. Dia sudah mengetahui banyak kosa kata buruk di usianya yang sedini ini, seharusnya aku menjaganya,” balas Nila lesu.“Apa yang terjadi?” tanya Danu prihatin.“Pernah, dia pulang dengan wajah penuh memar. Saat aku menanyainya, justru jawaban yang aku dengar sangat menyeramkan.” Nila kembali mengingat kata-kata kasar yang dilontarkan Haiden hari itu.“Haiden
Hari ini Nila mulai bekerja, dan pagi-pagi sekali Danu sudah nangkring di depan rumah. Nila segera masuk ke mobil, di mana Danu sudah berdiri untuk membukakan pintu.“Sudah siap bekerja?” tanya Danu.“Tentu saja, siap melayani apa pun masalahmu!” balas Nila menggebu.Keduanya lalu menaiki mobil dan memulai perjalanan menuju kantor. Di perjalanan Danu menyodorkan beberapa dokumen kepada Nila.“Tolong cek tanggal pertemuan, kalau ada yang bentrok nanti kamu atur ulang jadwalnya,” titah Danu.“Baiklah Dan.” Nila mulai sibuk berkutat dengan berkas-berkas di tangannya.“Andai aku bisa memilikimu La, sayangnya itu mustahil,” batin Danu.Cit— Nila menutup mata dan telinganya saat mendengar ban mobil kontainer yang berdecit. Tangannya seketika gemetar, bayangan kejadian hari itu muncul kembali di kepalanya.Melihat Nila yang tidak baik-baik saja, Danu meminggirkan mobil lalu menangkup wajah Nila. “Ada apa? Apa kamu mengalami sesuatu?”“S-suara itu, aku teringat saat aku ditabrak oleh kontain
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid