Berhari-hari mengurusi urusan rumah sakit Tamara, tanpa sadar Jason mulai mengesampingkan Nila. Rasa bersalah yang menguasainya membuat ia lebih mengutamakan Tamara ketimbang Nila. Beberapa hari terakhir Jason juga sudah jarang mengantar jemput Haiden sekolah. Nila cukup kewalahan memberikan penjelasan kepada Jason. Sekarang ini, Nila tengah duduk di sofa ruang tamu dengan Haiden yang ada di dalam pangkuannya. Ia memeluk putranya, sembari sesekali mengecup kepalanya. Haiden sedang demam karena merindukan Jason. Nila tidak terlalu terkejut, karena ia tahu betul putranya. Haiden akan demam saat dia menginginkan sesuatu tapi tak kunjung terpenuhi. Nila bersyukur karena Haiden sangat pengertian, ia hanya akan meminta hal-hal sederhana yang masih bisa Nila penuhi. “Ma, kenapa sekarang Om Jason jarang mendatangi aku ya? Apakah aku melakukan kesalahan?” tanya Haiden. “Om Jason sedang sibuk sayang,” jawab Nila sembari mengelus surai putranya. “Memangnya Om Jason sibuk apa? Bukankah Om J
Pagi ini Nila merasa ada yang berbeda dari Haiden. Tidak biasanya Haiden menjadi pendiam seperti sekarang ini. “Sayang, kamu mau sarapan apa?” Tanya Nila. “Nggak mau apa-apa, beli di kantin aja,” balas Haiden, yang terkesan ketus. “Tumben, biasanya selalu minta masak in Mama?” balas Nila sembari menatap lekat putranya. “Udah ayo Mah, keburu aku terlambat!” seru Haiden. “Haiden! Bukan begitu cara bicara dengan orang tua, harus yang sopan,” tukas Nila. Haiden hanya diam, Nila lalu menghela nafas malas. Ia lalu segera mengambil tas dan segera pergi mengantar Haiden. Baru sempat mengunci pintu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Nila melihat itu adalah Danu. Anehnya, kali ini pria itu bersama sopir. Ia lalu turun dan menghampiri Nila. “Aku sekarang mau ke Bandara La mau ke luar negeri menemani Ayah terapi kanker,” pamit Danu. “Kok mendadak Dan? Ya sudah, hati-hati ya, aku nggak bisa mengantar. Harus antar Haiden sekolah,” papar Nila. “Iya, Ayah barusan saja disarankan melaku
“Kondisi fisik Nona Tamara sudah benar-benar pulih. Jadi, hari ini sudah boleh pulang. Tetapi, tetap harus rutin terapi agar psikisnya segera membaik.” Jason hanya diam tanpa berniat menanggapi ucapan dokter yang menangani Tamara. Setelah dokter itu keluar Tamara di bantu Ibunya untuk bersiap pulang. Pria itu benar-benar merasa keberadaannya di sini tidak berguna. Ia hanya dijadikan patung agar Tamara merasa tenang. Tapi, di sisi lain Jason juga senang sangat senang. Karena setelah Tamara pulang dari rumah sakit, dia hanya perlu menemani Tamara terapi ke psikiater satu bulan sekali. Setidaknya ia tidak harus terus-menerus menemani Tamara. Kini ia berada duduk di sebelah Ayah Tamara yang tengah mengendarai mobil menuju rumahnya. Tamara dan Ibunya duduk di belakang, awalnya Jason berniat mengikuti dari belakang bersama Roland. Hanya saja Tamara bersikeras agar Jason ikut di mobil mereka. Karena malas berdebat akhirnya Jason mau satu mobil dengan Tamara. “Sayang sekali hubungan kalian
“Semua akan baik-baik saja La, tidak akan ada hal buruk menimpamu selagi aku hidup.” “Aku nggak mau bergantung sama kalimat itu. Karena aku nggak pernah tahu sampai kapan kita bersama,” balas Nila. “Aku tidak suka arah pembahasanmu, apa maksudnya tidak tahu sampai kapan kita akan bersama? Cih! Aku tidak akan pernah melepaskanmu barang sedetik!” “Mari kita lihat, apakah kamu benar-benar tidak akan pernah mengkhianati ucapanmu Mas,” balas Nila. “Kemarilah, aku sangat merindukanmu La.” Jason merentangkan tangannya, membuat Nila mengernyit tidak mengerti. “Apa maksudnya?” tanya Nila. Jason berdecak malas sebelum akhirnya menarik Nila ke dalam dekapannya, “Ini maksudnya, sayang.” Jantung Nila berdesir setelah mendengar ucapan Jason. Perutnya seolah dipenuhi kupu-kupu, ia tak kuasa menahan bibirnya membentuk lengkungan. Nila menyembunyikan wajahnya di dada bidang Jason karena malu. “Apa kamu sedang malu sayang?” goda Jason semakin menjadi-jadi. “Berhentilah memanggilku begitu Mas!”
Di dalam sebuah mobil yang melaju membelah jalanan ibu kota, terlihat Jason yang didampingi oleh Roland. “Pak, apa sudah berpamitan dengan Nona Nila?” tanya Roland. “Aku sempat mengirim pesan semalam, sepertinya dia akan baik-baik saja,” balas Jason. “Akan berapa lama Anda ke luar negeri kali ini Pak? Saya harap tidak terlalu lama, mengingat akhir-akhir ini kantor jarang Anda datangi,” ujar Roland. “Aku bahkan berharap tidak pernah pergi Roland, sejujurnya aku malas berurusan dengan ini. Aku akan kembali secepatnya, lagi pula aku tidak menginginkan liburan ini. Dari pada liburan, ini lebih terkesan seperti aku menjadi tawanan yang harus mengikuti ke mana mereka pergi,” papar Jason. Setelah mobil sampai di depan rumah Tamara, terlihat Tamara dan keluarganya sudah menunggu di sana. Mereka tampak membawa banyak koper, sedangkan Jason tidak membawa satu pun. “Kenapa tidak membawa koper Jason? Bukankah kamu memerlukan pakaian ganti dan keperluan lain?” tanya Tamara. “Tidak perlu, aku
Pagi ini seperti biasa Nila mengantar Haiden sekolah dengan menggunakan taksi. Setelah memastikan putranya benar-benar masuk ke sekolah, Nila bergegas kembali pulang.Pelajaran di sekolah Haiden pun di mulai, cukup banyak Ibu-ibu yang menunggu anaknya di sekolah. Mengingat waktu sekolahnya hanya empat jam.Seorang wanita yang wajahnya tampak asing oleh ibu-ibu di sana mendekat. Hal tersebut sontak mengundang tanya di benak pada ibu-ibu.“Permisi, boleh saya bergabung? Saya sedang menunggu keponakan saya, kebetulan ibunya sedang ada urusan,” ujar wanita tersebut.“Oh begitu, silakan. Mari-mari Bu, kita semua sesama wali murid harus bersatu,” timpal salah seorang ibu-ibu.“Eh, lagi ada berita panas loh!”“Wah, apa lagi kali ini Bu Sri?”“Mama Vano, nikah lagi sama duda anak tiga! Umurnya sudah hampir setengah abad!”“Wah? Benaran? Masa sih Bu, orang Mama Vano cantik gitu, badannya juga bagus.”“Benaran Bu! Coba aja cek media sosialnya, yang soal dia keluar sama anak-anak suaminya. Bahka
Saat ini Nila tengah terbaring di kasurnya setelah kepalanya merasa berkunang-kunang beberapa waktu lalu. Bibirnya terlihat pucat, entah apa penyebabnya.“Astaga! Aku harus menjemput Haiden!” Nila bangkit dari tidur, mengabaikan rasa sakit yang bersarang di kepalanya.Ia bergegas mencuci muka dan memoles wajahnya agar tidak terlalu pucat. Tak lupa, ia juga memesan sebuah taksi online. Setelah taksi itu sampai, sesegera mungkin Nila naik.“Haiden pasti menunggu, kenapa kepalaku begitu sakit?” gumam Nila sembari memegangi kepalanya.“Pak, tolong lebih cepat,” titah Nila yang langsung diangguki oleh sang sopir.“Aku yakin, Haiden pasti marah karena menunggu lama. Jam pulang sekolahnya sudah lewat sejak tadi.”Saat tiba di sekolah, sesuai dugaan sekolah sangat sepi. Tersisa Haiden yang duduk di depan gerbang seorang diri.“Haiden, maafkan Mama nak! Tadi kepala Mama sakit? Apa yang terjadi dengan wajahmu?!” teriak Nila syok setelah melihat memar di wajah anaknya.Alih-alih menjawab, Haiden
Setelah turun dari menara Eiffel, Jason dan Tamara berniat mencari makanan. Keduanya lalu singgah di salah satu restoran untuk sekedar makan.“Jason, kenapa kamu memilih menjadi pengusaha. Memang tidak memiliki cita-cita lain?” tanya Tamara membuka obrolan.“Awalnya aku berencana masuk militer, hanya saja ayahku tiba-tiba tewas. Jadilah aku harus mengurus perusahaannya, karena jika tidak, perusahaan yang di rintis ayahku sejak muda akan hancur. Mengesampingkan cita-citaku adalah pertimbangan besar waktu itu.”“Memang, hidup dengan masa depan tertata tidak mudah, tapi banyak sekali orang-orang yang menginginkannya. Jadi, nikmati saja,” balas Tamara.Beberapa detik, hingga menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Jason membalas kalimatnya. Tamara lalu menoleh dan mendapati ia sedang bertukar pesan dengan Nila.“Wanita itu bahkan menggangguku saat wujudnya berada di Indonesia sedangkan aku berada di Prancis.”“Bagaimana caranya membuat Jason tidak bertukar kabar dengan Nila, tanpa membuat ak