“Semua akan baik-baik saja La, tidak akan ada hal buruk menimpamu selagi aku hidup.” “Aku nggak mau bergantung sama kalimat itu. Karena aku nggak pernah tahu sampai kapan kita bersama,” balas Nila. “Aku tidak suka arah pembahasanmu, apa maksudnya tidak tahu sampai kapan kita akan bersama? Cih! Aku tidak akan pernah melepaskanmu barang sedetik!” “Mari kita lihat, apakah kamu benar-benar tidak akan pernah mengkhianati ucapanmu Mas,” balas Nila. “Kemarilah, aku sangat merindukanmu La.” Jason merentangkan tangannya, membuat Nila mengernyit tidak mengerti. “Apa maksudnya?” tanya Nila. Jason berdecak malas sebelum akhirnya menarik Nila ke dalam dekapannya, “Ini maksudnya, sayang.” Jantung Nila berdesir setelah mendengar ucapan Jason. Perutnya seolah dipenuhi kupu-kupu, ia tak kuasa menahan bibirnya membentuk lengkungan. Nila menyembunyikan wajahnya di dada bidang Jason karena malu. “Apa kamu sedang malu sayang?” goda Jason semakin menjadi-jadi. “Berhentilah memanggilku begitu Mas!”
Di dalam sebuah mobil yang melaju membelah jalanan ibu kota, terlihat Jason yang didampingi oleh Roland. “Pak, apa sudah berpamitan dengan Nona Nila?” tanya Roland. “Aku sempat mengirim pesan semalam, sepertinya dia akan baik-baik saja,” balas Jason. “Akan berapa lama Anda ke luar negeri kali ini Pak? Saya harap tidak terlalu lama, mengingat akhir-akhir ini kantor jarang Anda datangi,” ujar Roland. “Aku bahkan berharap tidak pernah pergi Roland, sejujurnya aku malas berurusan dengan ini. Aku akan kembali secepatnya, lagi pula aku tidak menginginkan liburan ini. Dari pada liburan, ini lebih terkesan seperti aku menjadi tawanan yang harus mengikuti ke mana mereka pergi,” papar Jason. Setelah mobil sampai di depan rumah Tamara, terlihat Tamara dan keluarganya sudah menunggu di sana. Mereka tampak membawa banyak koper, sedangkan Jason tidak membawa satu pun. “Kenapa tidak membawa koper Jason? Bukankah kamu memerlukan pakaian ganti dan keperluan lain?” tanya Tamara. “Tidak perlu, aku
Pagi ini seperti biasa Nila mengantar Haiden sekolah dengan menggunakan taksi. Setelah memastikan putranya benar-benar masuk ke sekolah, Nila bergegas kembali pulang.Pelajaran di sekolah Haiden pun di mulai, cukup banyak Ibu-ibu yang menunggu anaknya di sekolah. Mengingat waktu sekolahnya hanya empat jam.Seorang wanita yang wajahnya tampak asing oleh ibu-ibu di sana mendekat. Hal tersebut sontak mengundang tanya di benak pada ibu-ibu.“Permisi, boleh saya bergabung? Saya sedang menunggu keponakan saya, kebetulan ibunya sedang ada urusan,” ujar wanita tersebut.“Oh begitu, silakan. Mari-mari Bu, kita semua sesama wali murid harus bersatu,” timpal salah seorang ibu-ibu.“Eh, lagi ada berita panas loh!”“Wah, apa lagi kali ini Bu Sri?”“Mama Vano, nikah lagi sama duda anak tiga! Umurnya sudah hampir setengah abad!”“Wah? Benaran? Masa sih Bu, orang Mama Vano cantik gitu, badannya juga bagus.”“Benaran Bu! Coba aja cek media sosialnya, yang soal dia keluar sama anak-anak suaminya. Bahka
Saat ini Nila tengah terbaring di kasurnya setelah kepalanya merasa berkunang-kunang beberapa waktu lalu. Bibirnya terlihat pucat, entah apa penyebabnya.“Astaga! Aku harus menjemput Haiden!” Nila bangkit dari tidur, mengabaikan rasa sakit yang bersarang di kepalanya.Ia bergegas mencuci muka dan memoles wajahnya agar tidak terlalu pucat. Tak lupa, ia juga memesan sebuah taksi online. Setelah taksi itu sampai, sesegera mungkin Nila naik.“Haiden pasti menunggu, kenapa kepalaku begitu sakit?” gumam Nila sembari memegangi kepalanya.“Pak, tolong lebih cepat,” titah Nila yang langsung diangguki oleh sang sopir.“Aku yakin, Haiden pasti marah karena menunggu lama. Jam pulang sekolahnya sudah lewat sejak tadi.”Saat tiba di sekolah, sesuai dugaan sekolah sangat sepi. Tersisa Haiden yang duduk di depan gerbang seorang diri.“Haiden, maafkan Mama nak! Tadi kepala Mama sakit? Apa yang terjadi dengan wajahmu?!” teriak Nila syok setelah melihat memar di wajah anaknya.Alih-alih menjawab, Haiden
Setelah turun dari menara Eiffel, Jason dan Tamara berniat mencari makanan. Keduanya lalu singgah di salah satu restoran untuk sekedar makan.“Jason, kenapa kamu memilih menjadi pengusaha. Memang tidak memiliki cita-cita lain?” tanya Tamara membuka obrolan.“Awalnya aku berencana masuk militer, hanya saja ayahku tiba-tiba tewas. Jadilah aku harus mengurus perusahaannya, karena jika tidak, perusahaan yang di rintis ayahku sejak muda akan hancur. Mengesampingkan cita-citaku adalah pertimbangan besar waktu itu.”“Memang, hidup dengan masa depan tertata tidak mudah, tapi banyak sekali orang-orang yang menginginkannya. Jadi, nikmati saja,” balas Tamara.Beberapa detik, hingga menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Jason membalas kalimatnya. Tamara lalu menoleh dan mendapati ia sedang bertukar pesan dengan Nila.“Wanita itu bahkan menggangguku saat wujudnya berada di Indonesia sedangkan aku berada di Prancis.”“Bagaimana caranya membuat Jason tidak bertukar kabar dengan Nila, tanpa membuat ak
Sikap Haiden yang kian menjadi membuat Nila frustrasi sendiri. Ia bingung bagaimana cara menangani anak laki-laki. Wanita itu merasa keberuntungan berada di pihaknya ketika ia bertemu Roland yang rupanya baru tiba di kantor.“Nona Nila? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Roland.“Tentang Jason dan Tamara, kapan mereka akan pulang?” “Mereka mengurus liburan selama satu Minggu Nona, masih ada dua sampai tiga hari hingga keduanya tiba di Indonesia,” jelas Roland.“Baiklah, katakan pada Jason bahwa aku sedang dalam masalah dan memerlukan bantuannya,” ujar Nila.“Baik Nona, tapi sejak hari ke dua di sana Pak Jason tidak bisa dihubungi. Namun, saya sempat mendengar kabar dari orang tua Nona Tamara bahwa Nona Tamara mengalami kejadian buruk yang menyebabkan trauma mendalam. Sehingga Pak Jason benar-benar harus memperhatikan Nona Tamara.”“Begitukah? Intinya sampaikan ini kepada Jason, aku benar-benar muak Roland.”“Memang apa masalahnya Nona? Kenapa Anda terlihat sangat frustrasi?” “Lupakan
Nila melampiaskan semua rasa kesalnya kepada wanita tersebut dengan berdiam diri di dalam taksi yang berjalan di jalanan ibu kota, matanya terpejam, bibirnya terkunci rapat.“Pak, maaf karena memaksa naik. Perasaan saya sedang buruk Pak, jadi saya ingin segera pulang,” ujar Nila.“Tidak masalah Bu, saya sebenarnya tadi juga sedang bingung. Karena putri saya terbaring di rumah sakit dan harus di operasi beberapa Minggu lagi, tapi saya tidak memiliki dana,” jelas sang sopir.“Innanilah, sakit apa kalau boleh tahu Pak?” tanya Nila.“Gagal ginjal Bu, saya perlu uang besar segera. Tetapi, saya tidak memiliki alternatif apa pun selain menjadi sopir taksi. Entah bagaimana caranya, saya harus mencari uang tersebut. Istri dan anak memang tidak memaksa Bu, tetapi saya tidak rela putri saya terbaring di rumah sakit dalam waktu yang lebih lama, selain itu saya juga menjunjung tinggi tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga Bu.”“Anda hebat Pak, saya yakin Tuhan akan memberi jalan. Saya tidak b
Setelah tabrakan hebat yang terjadi di depannya, kini Roland harus menghadapi macet total karena jalan dihadang oleh kontainer tersebut.Ia menatap orang-orang yang mulai mendekati taksi yang ditabrak oleh kontainer. Ia harus menghadiri rapat tiga puluh menit lagi, namun justru dihadapkan situasi menyebalkan seperti ini.Netranya menyipit saat melihat wanita yang digendong oleh pria bertubuh gempal. “Itu ... Nona Nila?”Matanya terbelalak ketika wajah korban kecelakaan tersebut menoleh ke arahnya. Itu benar-benar Nona Nila yang ia pikirkan, calon suami bos nya. Roland membanting pintu mobil sebelum berlari secepat kilat. Pria itu mendekati kerumunan ibu-ibu yang mengerumuni Nila, “Permisi Bu, dia Nona saya.”“Beberapa hari ini Pak Jason sulit di hubungi, haruskah aku nekat menghubungi Nona Tamara? Persetan dengan kemungkinan terburuk!”Dengan segera Roland menghubungi nomor Tamara. Beberapa detik berdering, akhirnya panggilan terhubung.“Maaf Nona, bisakah saya berbicara dengan Pak J
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid