Tamara mengepalkan tangan dan rahangnya gemeretak mendengarkan laporan dari orang kepercayaannya. Dadanya dipenuhi dengan amarah yang meluap-luap. Amarah yang bercampur dengan perasaan cemburu dan juga kebencian terhadap perempuan bernama Nila."Tuan Jason sudah lama mencari perempuan itu.""Kurang ajar!" maki Tamara geram. Jadi selama empat tahun ini hubungannya dengan Jason begitu dingin, karena Jason telah jatuh cinta dengan perempuan itu. Perempuan yang ditidurinya dalam percintaan semalam. Tamara berusaha menenangkan diri dari amarah yang berkecamuk dalam dada. Dia tidak bisa membiarkan ini. Dia tidak akan pernah membiarkan Jason bersama Nila. ***Jason tersenyum-senyum sendiri sambil mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah restauran di mana dia akan mengajak Nila makan malam. Di sampingnya, Nila terdiam dengan rasa canggung yang luar biasa. "Apa Haiden akan baik-baik saja dititipkan pada teman kamu?" tanya Jason memecah kesunyian diantara mereka. "Saya sudah biasa menitipkan H
Nila duduk di ruang tamu rumahnya, menikmati keheningan malam. Dia sedang terpaku pada pikirannya tentang masa lalu yang kelam dengan Jason, mantan tunangannya. Hubungan mereka berakhir dengan banyak luka dan sakit hati. Nila berusaha keras melupakan semuanya, tetapi takdir sepertinya tidak ingin membiarkan dia begitu saja.Pintu rumahnya tiba-tiba digedor dengan kasar. Nila terkejut dan bergegas membukanya. Di depannya, tampak Tamara, mantan pacar Jason yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan Nila.Tanpa kata-kata sapaan, Tamara langsung menyerang Nila dengan serangan kata-kata yang menyakitkan. Dia memaki-maki Nila, menghina dan merendahkan dirinya. Tangis Nila mulai mengalir, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang dan mencari tahu alasan Tamara datang ke sana."Kamu perempuan tak tahu diri! Kamu sudah menghancurkan hubunganku dengan Jason. Dasar perempuan rendahan, perempuan murahan!"Tamara menatap Nila dengan pandangan penuh penasaran. "Kamu pikir kamu bisa merampas Jason dariku d
Nila benar-benar resign dari perusahaan. Namun, Jason benar-benar memaksa memberikan modal padanya untuk memulai usaha. Meskipun dia menolak, tapi Jason tidak suka penolakan. Nila akhirnya pasrah. Niat hati ingin menghindari pria itu untuk keselamatan Haiden, Jason justru semakin gencar mengejarnya. "Kamu mau usaha apa, sebutkan saja." "Mas, nggak usah.""Nila, pokoknya aku tidak suka kamu nolak pemberianku, okay. Tugasmu hanya menerima apa yang aku berikan padamu." Jason mengatakannya dengan nada tegas. Nila menghela napas dalam-dalam. Tak ada gunanya dia berdebat dengan Jason, karena dia pasti akan kalah. "Aku mau buka butik. Sebenarnya aku suka mendesain pakaian.""Bagus sekali, Nila." Jason mengambil ponsel di saku kemejanya. "Ya, Rolland, cari perumahan toko yang cukup besar. Ya, terserah kamu nego harganya. Kalau sudah dapat segera mengabariku." Nila melongo. Orang kaya memang serba mudah. Semua yang diinginkan bisa terlaksana detik itu juga. "Okay, semua sudah beres. Kalau
Jason baru saja mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Nila, saat Santi meneleponnya dan memberitahukan kabar yang sangat mengejutkannya. Dengan tangan gemetar, Jason berucap, "Mama jangan mengada-ada.""Mama mengatakan yang sebenarnya, Tamara sekarang kritis di rumah sakit." Jason merasa detak jantungnya hampir berhenti. "Kenapa dia melakukan itu, Ma.""Sebaiknya kamu ke rumah sakit sekarang dan cek keadaan Tamara." Jason menutup telepon dan menghela napas dalam-dalam. Dia tidak menyangka Tamara akan nekat melakukan hal seperti itu. Meskipun dirinya yakin Tamara ingin membuatnya merasa bersalah karena telah memutuskan pertunangan mereka, tapi Jason tetap merasa bertanggung jawab atas tindakan Tamara. Saat tiba di rumah sakit, Jason berlari ke pintu masuk gawat darurat, mencari tahu informasi tentang Tamara. Dia diarahkan ke ruang tunggu, di mana detak jam dinding terasa seperti pukulan di dadanya.Akhirnya, seorang perawat keluar dan memanggil nama Jason. Dia menghela na
Berhari-hari mengurusi urusan rumah sakit Tamara, tanpa sadar Jason mulai mengesampingkan Nila. Rasa bersalah yang menguasainya membuat ia lebih mengutamakan Tamara ketimbang Nila. Beberapa hari terakhir Jason juga sudah jarang mengantar jemput Haiden sekolah. Nila cukup kewalahan memberikan penjelasan kepada Jason. Sekarang ini, Nila tengah duduk di sofa ruang tamu dengan Haiden yang ada di dalam pangkuannya. Ia memeluk putranya, sembari sesekali mengecup kepalanya. Haiden sedang demam karena merindukan Jason. Nila tidak terlalu terkejut, karena ia tahu betul putranya. Haiden akan demam saat dia menginginkan sesuatu tapi tak kunjung terpenuhi. Nila bersyukur karena Haiden sangat pengertian, ia hanya akan meminta hal-hal sederhana yang masih bisa Nila penuhi. “Ma, kenapa sekarang Om Jason jarang mendatangi aku ya? Apakah aku melakukan kesalahan?” tanya Haiden. “Om Jason sedang sibuk sayang,” jawab Nila sembari mengelus surai putranya. “Memangnya Om Jason sibuk apa? Bukankah Om J
Pagi ini Nila merasa ada yang berbeda dari Haiden. Tidak biasanya Haiden menjadi pendiam seperti sekarang ini. “Sayang, kamu mau sarapan apa?” Tanya Nila. “Nggak mau apa-apa, beli di kantin aja,” balas Haiden, yang terkesan ketus. “Tumben, biasanya selalu minta masak in Mama?” balas Nila sembari menatap lekat putranya. “Udah ayo Mah, keburu aku terlambat!” seru Haiden. “Haiden! Bukan begitu cara bicara dengan orang tua, harus yang sopan,” tukas Nila. Haiden hanya diam, Nila lalu menghela nafas malas. Ia lalu segera mengambil tas dan segera pergi mengantar Haiden. Baru sempat mengunci pintu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Nila melihat itu adalah Danu. Anehnya, kali ini pria itu bersama sopir. Ia lalu turun dan menghampiri Nila. “Aku sekarang mau ke Bandara La mau ke luar negeri menemani Ayah terapi kanker,” pamit Danu. “Kok mendadak Dan? Ya sudah, hati-hati ya, aku nggak bisa mengantar. Harus antar Haiden sekolah,” papar Nila. “Iya, Ayah barusan saja disarankan melaku
“Kondisi fisik Nona Tamara sudah benar-benar pulih. Jadi, hari ini sudah boleh pulang. Tetapi, tetap harus rutin terapi agar psikisnya segera membaik.” Jason hanya diam tanpa berniat menanggapi ucapan dokter yang menangani Tamara. Setelah dokter itu keluar Tamara di bantu Ibunya untuk bersiap pulang. Pria itu benar-benar merasa keberadaannya di sini tidak berguna. Ia hanya dijadikan patung agar Tamara merasa tenang. Tapi, di sisi lain Jason juga senang sangat senang. Karena setelah Tamara pulang dari rumah sakit, dia hanya perlu menemani Tamara terapi ke psikiater satu bulan sekali. Setidaknya ia tidak harus terus-menerus menemani Tamara. Kini ia berada duduk di sebelah Ayah Tamara yang tengah mengendarai mobil menuju rumahnya. Tamara dan Ibunya duduk di belakang, awalnya Jason berniat mengikuti dari belakang bersama Roland. Hanya saja Tamara bersikeras agar Jason ikut di mobil mereka. Karena malas berdebat akhirnya Jason mau satu mobil dengan Tamara. “Sayang sekali hubungan kalian
“Semua akan baik-baik saja La, tidak akan ada hal buruk menimpamu selagi aku hidup.” “Aku nggak mau bergantung sama kalimat itu. Karena aku nggak pernah tahu sampai kapan kita bersama,” balas Nila. “Aku tidak suka arah pembahasanmu, apa maksudnya tidak tahu sampai kapan kita akan bersama? Cih! Aku tidak akan pernah melepaskanmu barang sedetik!” “Mari kita lihat, apakah kamu benar-benar tidak akan pernah mengkhianati ucapanmu Mas,” balas Nila. “Kemarilah, aku sangat merindukanmu La.” Jason merentangkan tangannya, membuat Nila mengernyit tidak mengerti. “Apa maksudnya?” tanya Nila. Jason berdecak malas sebelum akhirnya menarik Nila ke dalam dekapannya, “Ini maksudnya, sayang.” Jantung Nila berdesir setelah mendengar ucapan Jason. Perutnya seolah dipenuhi kupu-kupu, ia tak kuasa menahan bibirnya membentuk lengkungan. Nila menyembunyikan wajahnya di dada bidang Jason karena malu. “Apa kamu sedang malu sayang?” goda Jason semakin menjadi-jadi. “Berhentilah memanggilku begitu Mas!”
“Tolong! Tolong! Ziva takut! Papa! Kakak!” Haiden sontak terbangun karena racauan Adiknya, tidak hanya Haiden, Jason dan Nila juga langsung masuk ke kamar.“Adikmu kenapa? Terus kamu kenapa tidur di sini?” tanya Nila.“Ziva demam Ma, tadinya aku mau turun ambil kompres tapi tanganku dipeluk, niatku tunggu dia tenang, ternyata malah ketiduran. Terus ini tadi terbangun gara-gara Ziva mengigau,” jelas Haiden.“Astaga, ya sudah, Mama ambilkan kompres dulu di bawah.” Nila langsung turun dan mengambil alat kompres untuk putrinya.Sementara Jason naik ke sisi lain kasur dan mengecek kondisi putrinya. Jika sakit begini Ziva akan sangat manja pada Papa dan Kakaknya. Nila benar-benar menciptakan saingannya sendiri, terbukti dari seberapa manja Ziva kepada para laki-laki di keluarga ini.Jason memberi ruang untuk Nila mengompres Ziva, sehingga posisinya Nila dan Ziva di tengah-tengah Jason dan Haiden. Setelah selesai mengompres Ziva dan memastikan suhu tubuhnya berangsur-angsur turun, ketiganya
Setelah kepergian Papa dan Kakaknya barulah Ziva bisa bernafas lega. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam mobil, dan di susul oleh Kafka.“Untung aku buka pesanmu saat di lampu merah. Memangnya kenapa tidak mau terus terang?” “Kak Kafka nggak sadar juga? Masa setelah lihat reaksi mereka, Kakak masih nggak paham? Kakak sama Papaku itu posesif banget! Dari kecil baru Kakak cowok pertama yang jemput aku keluar, teman mainku semuanya perempuan. Kakakku punya kontak mereka semua, berbohong pun rasanya sia-sia. Pamit kerja kelompok aja respons mereka sudah begitu, bagaimana kalau tadi Kak Kafka terus terang? Sudah jelas aku tidak akan bisa keluar sama sekali Kak. Papa dan Kakakku bahkan bisa menjaga aku di kamar seharian penuh, persetan dengan janji temu mereka,” jelas Ziva.“Sebegitunya?” tanya Kafka tidak habis pikir.“Iya! Udah ayo berangkat Kak, kalau macet bagaimana?” tukas Ziva.“Ya sudah.” Kafka kemudian melajukan mobilnya menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan Ziva sangat akti
Minggu pagi ini, Nila cukup heran dengan anak-anaknya yang sudah bangun di waktu se pagi ini. Mungkin untuk Haiden itu hal yang wajar, tapi Ziva? Gadis itu bahkan bisa terlelap hingga sore hari jika hari libur seperti ini, alih-alih pergi keluar bersama teman-temannya.Itulah mengapa Haiden kerap memanggilnya putri tidur. Karena kesehariannya memang tidur, tidur, dan tidur. Betapa terkejutnya Nila dan Jason saat sang putri tidur sudah bangun dan mandi di pagi hari.“Dalam rangka apa ini? Kok tuan putrinya Papa pagi-pagi sudah rapi?” Jason merangkul Ziva yang sudah rapi, rambutnya digerai dan dihiasi bandana merah muda.“Ziva ada kerja kelompok Pa,” balas gadis itu.“Alah! Biasanya juga mau ada bencana alam tetap aja tidur. Jujur aja Dek, dalam rangka apa kamu begini?” tanya Haiden yang baru turun dari lantai dua.“Serius!” sergah Ziva dengan wajah kesal.“Mau naik apa? Mobilmu Kakak pakai jalan sama Kak Anna. Mobil Kakak di bengkel, kalau pakai motor nggak enak, pulang malam soalnya,”
Pagi-pagi sekali para orang tua berangka ke bandara dengan menggunakan taksi. Mereka akan pergi ke Surabaya selama tiga hari dua malam. Jadi, selama itu Haiden bertanggung jawab penuh atas adik-adiknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi, Haiden lalu membangunkan Haira lebih dulu. Pria itu menggedor-gedor kamar Haira, setelah lama tidak ada jawaban akhirnya pria itu masuk.Percuma saja membangunkan Haira dengan cara normal, satu-satunya cara adalah melakukan hal di luar nalar seperti ....“Anjing, ini apaan sih? Ganggu banget senter? Senter apaan warna hijau? Biasanya juga kalau nggak kuning ya putih. Ini kalau pecah begini, bisa di lem nggak ya? Ini juga, tongkat buat bantu menyeberangi jalan? Buang aja mendingan, nanti kalau Ziva tanya pura-pura nggak tau aja.”“KAKAK!” Haira menatap nyalang ke arah kakaknya yang duduk di meja rias dengan santai. Koleksi lightstick nya juga masih pada tempatnya.“Akhirnya ketemu juga, cara ampuh membangunkan putri tidur kita yang
Setelah memutuskan pindah ke pulau Dewata Bali dua belas tahun yang lalu. Kini keempat anak itu sudah beranjak dewasa.Haiden Wirabraja sembilan belas tahun, Mahasiswa semester dua. Haira Ziva Wirabraja empat belas tahun, kelas tiga SMP. Zain Bagaskara tiga belas tahun, kelas dua SMP. Zaira Azura Bagaskara dua belas tahun, kelas satu SMP.Haira, Zain, dan Zaira bersekolah di tempat yang sama. Biasanya Zain dan Zaira akan berangkat bersama Roland dan Jason pergi ke kantor. Sementara Haira akan diantar oleh Haiden. Pria itu memang sangat over protektif pada Haira. Itu semua karena tingkah Haira yang benar-benar sangat centil. Kerap kali Haiden menghadiri panggilan orang tua Haira karena gadis itu menggunakan alat-alat kecantikan di sekolah. Bahkan saat jam olahraga, gadis itu tidak segan membawa pengering rambut karena Haira selalu keramas saat merasa tubuhnya gatal dan berkeringat.Kadang kala karena Haira menggunakan cat kukku, memoles wajahnya dengan make up, menggunakan sepatu puti
“Akh!” Tamara yang merasakan perutnya sangat keram, engap, dan mules sontak menjambak rambut Roland yang terlelap di sebelahnya.“Mas! Perutku! Perutku sakit Mas!” “Aduh, sakit Ra,” keluh Roland saat rambutnya ditarik kuat oleh Tamara.Pria itu kemudian bangun dan langsung menggendong Tamara lalu membawanya ke mobil. Saat melihat Bayu yang sedang berjaga di depan rumah Jason, pria itu segera berteriak.“Bay! Kemari tolong saya!” Bayu segera mendekat lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, “Ada apa? Tolong apa?” “Istri saya mau melahirkan, tolong sopiri kami ke rumah sakit,” ujar Roland.Bayu segera naik dan langsung menyopiri Roland ke rumah sakit. Saking paniknya, pria itu sampai lupa meminta izin para Nila.“AAAAAAAA! AYO CEPETAN! PERUTKU SAKIT! INGIN BUANG AIR BESAR RASANYA!”“SAKIT MAS! SAKIT!”“I-iya Ra, ini kepala saya juga sakit kalau kamu jambak begini,” keluh Roland.“Dijambak aja sudah mengeluh! Sini bertukar! Hamil aja kamu, biar tahu rasanya!”Tamara lalu menarik r
Sudah dua tahun terakhir sejak pernikahan Tamara dan Roland. Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia satu tahun, bahkan Tamara sedang hamil tua anak kedua mereka. Saat ini Tamara dan Nila sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, mereka mampir ke Playground untuk meninggalkan anak-anak mereka bermain. Sementara Haiden, Haira dan Zain bermain di Playground, Nila dan Tamara pergi makan berdua sekedar untuk melepas rindu.“Anak kamu laki-laki atau perempuan Ra? Duh, pulang-pulang dari Bali sudah besar aja perutmu,” ujar Nila sembari mengelus perut Tamara.“Perempuan La, Zain senang sekali saat tahu punya adik perempuan,” cetus Tamara.“Oh iya, kamu sudah diberi tahu Roland kan? Kalau setelah kamu melahirkan kita akan pindah ke Bali? Aku sama Mas Jason sudah survei rumah yang nanti akan kita tempati di sana.”“Sudah La, kan tinggal menunggu aku melahirkan saja. Rumah di sana juga sudah terisi seratus persen, tinggal menempati.”“Baguslah, kamu ini delapan bula
Pagi ini Jason dan Roland akan membawa istri masing-masing ke pulau Dewata Bali. Dua pasang suami istri itu sudah berada di pesawat. Jason dan Nila duduk di depan kursi Roland dan Tamara.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya mereka tiba di pulau Dewata Bali. Saat tiba mereka langsung dijemput oleh sopir di Bandara. Mereka langsung menuju ke vila untuk beristirahat, karena malam ini Roland dan Jason harus menghadiri rapat.Saat ini Nila sedang meminum coklat dingin di tepi kolam renang luar. Tidak lama kemudian Tamara menghampiri dan menyodorkan sebuah bikini kepada Nila.“Nggak bikini nggak Bali La,” cetus wanita itu.Nila lalu menerima bikini yang disodorkan oleh Tamara. Wanita itu menunjukkan layar tab nya pada Tamara, di mana terpampang pantai yang terdekat dari sini. “Mau pergi ke sana?” tawar Nila.“Boleh, berenang dan berjemur di siang hari sepertinya menyenangkan,” balas Tamara.“Haruskah kita membangunkan mereka?” tanya Nila.“Aku rasa tidak perlu, aku tahu tempa
“Aku jadi ikut kamu ke Bali Mas?” tanya Tamara.“Iya, nanti ada Nona Nila juga di sana,” jelas Roland.“Haruskah aku memanggil mereka seperti itu?” tanya Tamara.“Tidak perlu Ra, aku memanggil demikian hanya demi profesionalitas. Kamu, tidak terikat kontrak apa pun sehingga harus memanggil dengan sebutan itu.”“Kita di sana berapa hari Mas? Aku mau siapkan pakaian, kan kamu bilang besok berangkat pagi.”“Bawa saja untuk dua hari, kalau memang lebih lama di sana, kita bisa membeli peralatan di sana,” ujar Roland.Pria itu lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Tamara masih sibuk memilih pakaian miliknya dan suaminya yang akan dipakai ke Bali.Setelah lima belas menit, Roland keluar hanya dengan melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya sehingga mengekspos bagian dadanya.“Aku pakai baju apa Ra?” tanya Roland.“Itu, di atas kasur sudah aku siapkan,” ujar Tamara yang masih sibuk menata pakaian di dalam koper. Sebisa mungkin wanita itu hanya ingin membawa satu koper berisi perlengkapan hid