Nila benar-benar resign dari perusahaan. Namun, Jason benar-benar memaksa memberikan modal padanya untuk memulai usaha. Meskipun dia menolak, tapi Jason tidak suka penolakan. Nila akhirnya pasrah. Niat hati ingin menghindari pria itu untuk keselamatan Haiden, Jason justru semakin gencar mengejarnya. "Kamu mau usaha apa, sebutkan saja." "Mas, nggak usah.""Nila, pokoknya aku tidak suka kamu nolak pemberianku, okay. Tugasmu hanya menerima apa yang aku berikan padamu." Jason mengatakannya dengan nada tegas. Nila menghela napas dalam-dalam. Tak ada gunanya dia berdebat dengan Jason, karena dia pasti akan kalah. "Aku mau buka butik. Sebenarnya aku suka mendesain pakaian.""Bagus sekali, Nila." Jason mengambil ponsel di saku kemejanya. "Ya, Rolland, cari perumahan toko yang cukup besar. Ya, terserah kamu nego harganya. Kalau sudah dapat segera mengabariku." Nila melongo. Orang kaya memang serba mudah. Semua yang diinginkan bisa terlaksana detik itu juga. "Okay, semua sudah beres. Kalau
Jason baru saja mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Nila, saat Santi meneleponnya dan memberitahukan kabar yang sangat mengejutkannya. Dengan tangan gemetar, Jason berucap, "Mama jangan mengada-ada.""Mama mengatakan yang sebenarnya, Tamara sekarang kritis di rumah sakit." Jason merasa detak jantungnya hampir berhenti. "Kenapa dia melakukan itu, Ma.""Sebaiknya kamu ke rumah sakit sekarang dan cek keadaan Tamara." Jason menutup telepon dan menghela napas dalam-dalam. Dia tidak menyangka Tamara akan nekat melakukan hal seperti itu. Meskipun dirinya yakin Tamara ingin membuatnya merasa bersalah karena telah memutuskan pertunangan mereka, tapi Jason tetap merasa bertanggung jawab atas tindakan Tamara. Saat tiba di rumah sakit, Jason berlari ke pintu masuk gawat darurat, mencari tahu informasi tentang Tamara. Dia diarahkan ke ruang tunggu, di mana detak jam dinding terasa seperti pukulan di dadanya.Akhirnya, seorang perawat keluar dan memanggil nama Jason. Dia menghela na
Berhari-hari mengurusi urusan rumah sakit Tamara, tanpa sadar Jason mulai mengesampingkan Nila. Rasa bersalah yang menguasainya membuat ia lebih mengutamakan Tamara ketimbang Nila. Beberapa hari terakhir Jason juga sudah jarang mengantar jemput Haiden sekolah. Nila cukup kewalahan memberikan penjelasan kepada Jason. Sekarang ini, Nila tengah duduk di sofa ruang tamu dengan Haiden yang ada di dalam pangkuannya. Ia memeluk putranya, sembari sesekali mengecup kepalanya. Haiden sedang demam karena merindukan Jason. Nila tidak terlalu terkejut, karena ia tahu betul putranya. Haiden akan demam saat dia menginginkan sesuatu tapi tak kunjung terpenuhi. Nila bersyukur karena Haiden sangat pengertian, ia hanya akan meminta hal-hal sederhana yang masih bisa Nila penuhi. “Ma, kenapa sekarang Om Jason jarang mendatangi aku ya? Apakah aku melakukan kesalahan?” tanya Haiden. “Om Jason sedang sibuk sayang,” jawab Nila sembari mengelus surai putranya. “Memangnya Om Jason sibuk apa? Bukankah Om J
Pagi ini Nila merasa ada yang berbeda dari Haiden. Tidak biasanya Haiden menjadi pendiam seperti sekarang ini. “Sayang, kamu mau sarapan apa?” Tanya Nila. “Nggak mau apa-apa, beli di kantin aja,” balas Haiden, yang terkesan ketus. “Tumben, biasanya selalu minta masak in Mama?” balas Nila sembari menatap lekat putranya. “Udah ayo Mah, keburu aku terlambat!” seru Haiden. “Haiden! Bukan begitu cara bicara dengan orang tua, harus yang sopan,” tukas Nila. Haiden hanya diam, Nila lalu menghela nafas malas. Ia lalu segera mengambil tas dan segera pergi mengantar Haiden. Baru sempat mengunci pintu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Nila melihat itu adalah Danu. Anehnya, kali ini pria itu bersama sopir. Ia lalu turun dan menghampiri Nila. “Aku sekarang mau ke Bandara La mau ke luar negeri menemani Ayah terapi kanker,” pamit Danu. “Kok mendadak Dan? Ya sudah, hati-hati ya, aku nggak bisa mengantar. Harus antar Haiden sekolah,” papar Nila. “Iya, Ayah barusan saja disarankan melaku
“Kondisi fisik Nona Tamara sudah benar-benar pulih. Jadi, hari ini sudah boleh pulang. Tetapi, tetap harus rutin terapi agar psikisnya segera membaik.” Jason hanya diam tanpa berniat menanggapi ucapan dokter yang menangani Tamara. Setelah dokter itu keluar Tamara di bantu Ibunya untuk bersiap pulang. Pria itu benar-benar merasa keberadaannya di sini tidak berguna. Ia hanya dijadikan patung agar Tamara merasa tenang. Tapi, di sisi lain Jason juga senang sangat senang. Karena setelah Tamara pulang dari rumah sakit, dia hanya perlu menemani Tamara terapi ke psikiater satu bulan sekali. Setidaknya ia tidak harus terus-menerus menemani Tamara. Kini ia berada duduk di sebelah Ayah Tamara yang tengah mengendarai mobil menuju rumahnya. Tamara dan Ibunya duduk di belakang, awalnya Jason berniat mengikuti dari belakang bersama Roland. Hanya saja Tamara bersikeras agar Jason ikut di mobil mereka. Karena malas berdebat akhirnya Jason mau satu mobil dengan Tamara. “Sayang sekali hubungan kalian
“Semua akan baik-baik saja La, tidak akan ada hal buruk menimpamu selagi aku hidup.” “Aku nggak mau bergantung sama kalimat itu. Karena aku nggak pernah tahu sampai kapan kita bersama,” balas Nila. “Aku tidak suka arah pembahasanmu, apa maksudnya tidak tahu sampai kapan kita akan bersama? Cih! Aku tidak akan pernah melepaskanmu barang sedetik!” “Mari kita lihat, apakah kamu benar-benar tidak akan pernah mengkhianati ucapanmu Mas,” balas Nila. “Kemarilah, aku sangat merindukanmu La.” Jason merentangkan tangannya, membuat Nila mengernyit tidak mengerti. “Apa maksudnya?” tanya Nila. Jason berdecak malas sebelum akhirnya menarik Nila ke dalam dekapannya, “Ini maksudnya, sayang.” Jantung Nila berdesir setelah mendengar ucapan Jason. Perutnya seolah dipenuhi kupu-kupu, ia tak kuasa menahan bibirnya membentuk lengkungan. Nila menyembunyikan wajahnya di dada bidang Jason karena malu. “Apa kamu sedang malu sayang?” goda Jason semakin menjadi-jadi. “Berhentilah memanggilku begitu Mas!”
Di dalam sebuah mobil yang melaju membelah jalanan ibu kota, terlihat Jason yang didampingi oleh Roland. “Pak, apa sudah berpamitan dengan Nona Nila?” tanya Roland. “Aku sempat mengirim pesan semalam, sepertinya dia akan baik-baik saja,” balas Jason. “Akan berapa lama Anda ke luar negeri kali ini Pak? Saya harap tidak terlalu lama, mengingat akhir-akhir ini kantor jarang Anda datangi,” ujar Roland. “Aku bahkan berharap tidak pernah pergi Roland, sejujurnya aku malas berurusan dengan ini. Aku akan kembali secepatnya, lagi pula aku tidak menginginkan liburan ini. Dari pada liburan, ini lebih terkesan seperti aku menjadi tawanan yang harus mengikuti ke mana mereka pergi,” papar Jason. Setelah mobil sampai di depan rumah Tamara, terlihat Tamara dan keluarganya sudah menunggu di sana. Mereka tampak membawa banyak koper, sedangkan Jason tidak membawa satu pun. “Kenapa tidak membawa koper Jason? Bukankah kamu memerlukan pakaian ganti dan keperluan lain?” tanya Tamara. “Tidak perlu, aku
Pagi ini seperti biasa Nila mengantar Haiden sekolah dengan menggunakan taksi. Setelah memastikan putranya benar-benar masuk ke sekolah, Nila bergegas kembali pulang.Pelajaran di sekolah Haiden pun di mulai, cukup banyak Ibu-ibu yang menunggu anaknya di sekolah. Mengingat waktu sekolahnya hanya empat jam.Seorang wanita yang wajahnya tampak asing oleh ibu-ibu di sana mendekat. Hal tersebut sontak mengundang tanya di benak pada ibu-ibu.“Permisi, boleh saya bergabung? Saya sedang menunggu keponakan saya, kebetulan ibunya sedang ada urusan,” ujar wanita tersebut.“Oh begitu, silakan. Mari-mari Bu, kita semua sesama wali murid harus bersatu,” timpal salah seorang ibu-ibu.“Eh, lagi ada berita panas loh!”“Wah, apa lagi kali ini Bu Sri?”“Mama Vano, nikah lagi sama duda anak tiga! Umurnya sudah hampir setengah abad!”“Wah? Benaran? Masa sih Bu, orang Mama Vano cantik gitu, badannya juga bagus.”“Benaran Bu! Coba aja cek media sosialnya, yang soal dia keluar sama anak-anak suaminya. Bahka