Valeria mengetuk jari jemarinya dengan gusar di atas meja. Matanya melirik ke arah jam dinding di apartemen Revan. Ia duduk dengan gelisah, sudah pukul sepuluh malam, namun belum ada kabar apapun yang ia terima dari Revan saat ini. Valeria menatap ke arah ponselnya yang sedari tadi hanya diam tak berkutik, sebenarnya kenapa benda itu sama sekali tidak bergerak? Kenapa Revan Mahendra tidak menghubunginya sama sekali setelah meninggalkan dirinya selarut ini? Apa pria itu sama sekali tidak merasa khawatir?Gemas, Valeria mengambil ponselnya dengan cepat. Apa ia harus menghubunginya lebih dulu? Apa ia akan dianggap murahan jika menanyakan dimanakah posisi Revan saat ini? Apa meetingnya sudah selesai? Valeria menghela nafasnya panjang merasakan banyaknya pertanyaan yang begitu berkecamuk saat ini. Kenapa ia merasa sangat cemas karena Revan Mahendra tidak ada di sampingnya?Mungkin tidak apa-apa, ya ia hanya ingin memastikan kepulangan Revan hari ini. Ia hanya ingin tahu. Valeria sudah men
Valeria mengerjapkan matanya setelah sadarkan diri. Ia langsung tersentak saat melihat sekeliling dirinya. Di suatu ruangan yang gelap ia ditempatkan dengan tangan yang diikat dan mulut yang dibekap sempurna. Tubuh Valeria gemetar ketakutan, ia dimana sebenarnya?"Bos, sepertinya dia bangun."Valeria memicing waspada saat melihat seorang pria bertubuh gempal dengan kepala botak menghampirinya. Di sekelilingnya terlihat beberapa pria dengan dandanan preman, Valeria beringsut mundur. Apa yang mereka inginkan sebenarnya?"Kenapa kau bangun? Seharusnya kau tidur saja, Manis...""Hmmm...uhmm...uhmmm.."Valeria mencoba berbicara dengan suara yang tenggelam akibat dibekap. Bagaimanapun ia harus berbicara dengan para preman ini agar ia bisa bebas."Kenapa? Kau ingin bicara?"Valeria mengangguk mendengar pertanyaan pria gempal itu."Baik-baik, kau boleh bicara. Lagipula sebentar lagi kau akan mati."Saat lakban yang membekap mulutnya terlepas, Valeria sontak berteriak, "Siapa kalian sebenarnya
Braak!Saat Valeria merasa bahwa hidupnya akan berakhir, suara yang keras dari arah belakang membuat perhatian pria gempal teralihkan. Ia bangkit dari tubuh Valeria."Sial, ada apa ini?"Namun, belum sempat ia mengatakan sesuatu, pria gempal itu dikagetkan dengan tubuh anak buahnya yang dilempar ke arahnya. Pria gempal itu terbelalak dengan lebar melihat Revan berdiri di sana dengan mata yang menyala-nyala. Melihat Valeria tergolek dengan pakaian yang acak-acakan, emosi Revan seketika meninggi."Si-siapa kau?"Tanpa menjawab pertanyaan pria gempal itu, Revan segera menerjang ke arahnya lalu memukulnya dengan membabi buta."Beraninya, beraninya kau menyentuh istrimu!""Hentikan, tolong hentikan! Tolong maafkan aku, maafkan aku! Argh sakit sekali, tolong maafkan aku!"Revan sama sekali tidak menghiraukan permohonan pria itu, ia terus saja menghujani wajah pria gempal itu dengan pukulan yang bertubi-tubi. Darah segar mulai keluar dari sela-sela hidung pria gempal itu, tanpa bisa membalas
Valeria mengerjapkan matanya saat merasakan sebuah tangan kukuh tengah memeluknya dengan erat. Mata Valeria melebar sempurna saat melihat Revan Mahendra berada di hadapannya. Pemandangan ini sontak membuat Valeria teringat dengan pertemuan mereka pertama kali."Astaga!"Valeria seketika bangkit membuat Revan yang berada di sampingnya ikut terjaga."Kau sudah bangun?"Revan terlihat menggaruk tengkuknya, merasa harus menjelaskan kenapa mereka kembali tidur bersama, "Maafkan aku, kemarin sepertinya kau sangat kacau, jadi aku–""Tidak apa-apa, saya tidak keberatan. Saya ingat semuanya,"Revan terlihat terkejut dengan jawaban Valeria. Sementara Valeria hanya menunduk, wajahnya seketika memerah dengan sempurna teringat dengan apa yang kemarin terjadi. Tiba-tiba ia merasa sangat gugup, kemarin ia sungguh seperti anak kecil yang meminta perlindungan kepada Revan."Bagaimana keadaanmu?"Revan terlihat mendekat ke arahnya, Valeria hanya tertegun saat Revan menangkup wajahnya lalu memeriksanya
Valeria mengerjap saat merasakan kecupan basah di bibirnya. Namun, kecupan itu hanya sekejap, Revan terlihat segera menjauhkan diri lalu berkata dengan nada canggung, "Ah aku... Aku minta maaf,"Valeria hanya bisa mengerjapkan matanya mendengar reaksi Revan. Meminta maaf? Kenapa pria itu meminta maaf? Namun, rasa gugup karena ciuman yang tiba-tiba membuat Valeria tidak bisa berkata-kata. Ia hanya memeluk tubuhnya sendiri dengan tangannya, tidak bisa berkomentar apapun karena ledakan hatinya yang terlalu dahsyat. Untunglah kecanggungan yang mereka rasakan akhirnya berakhir saat bianglala mereka turun ke dasar. Valeria dan Revan segera turun dari sana, berbeda dari saat mereka datang, tidak ada satupun yang terlihat mau membahas ciuman mereka saat ini.Melihat Revan yang hanya terdiam hingga mereka sampai di rumah membuat Valeria merasa gemas untuk membuka pembicaraan, apa benar pria itu tidak ingin mengatakan sesuatu padanya?"Ah saya sangat berterimakasih karena Anda mau mengajak saya
Valeria sungguh terkejut, langkah Revan yang saat ini sedang dilakukan oleh pria itu sama sekali tidak bisa Valeria prediksi. Ia bahkan tak sempat melawan, Revan terus melumat bibirnya tanpa memberikan sedikitpun kesempatan baginya untuk menolak. Valeria seolah dibawa melayang ketika Revan terus menyentuh lembab bibirnya dengan begitu rakus dan menuntut. Valeria terperangah merasakan sensasi ini, tanpa sadar ia bahkan membuka lebih lebar bagian mulutnya membuat Revan dengan leluasa masuk lebih dalam lalu mengabsen bagian dalam mulutnya satu per satu."Eummhhh... Pakk..." Desah Valeria tanpa sadar.Revan baru melepaskan pagutannya saat mendengar sebutan itu, ia menatap Valeria tidak senang, "Jangan Pak, Revan. Panggil Revan."Malu-malu Valeria segera mengucap dengan lirih, "Revan..."Revan seketika tersenyum, ia kemudian kembali memagut bibir Valeria, kali ini dengan lebih dalam dan intens. Tidak hanya mulutnya yang bekerja, Revan juga menyelipkan tangannya di sela-sela tubuh Valeria y
Revan segera menuju mobilnya setelah selesai bersiap-siap. Sebenarnya ia masih ingin bersama dengan Valeria hari ini, namun urusannya dengan para preman itu harus ia selesaikan."Aku pergi dulu, hati-hati di rumah,"Valeria tersentak saat melihat area rumah Revan, ia menunjuk beberapa pria berseragam hitam yang berdiri teratur di depan rumah, "Itu... Mereka siapa?""Mereka yang akan menjagamu di rumah ini, aku tidak ingin mengambil resiko kejadian kemarin terulang lagi."Valeria terperangah, "Sebanyak ini?""Kenapa? Kurang?"Dengan cepat Valeria mengibaskan tangannya, "Ah malah menurut saya ini berlebihan. Apa tidak sebaiknya mengurangi beberapa orang-orang ini? Rasanya terlalu menyesakkan melihat banyak orang berkumpul seperti ini," Tutur Valeria, hampir puluhan orang yang berjajar di depan rumahnya, bagaimana ia bisa melakukan aktivitas dengan leluasa?"Kalau kau berkata seperti itu, sebaiknya aku menambah orangnya."Valeria melongo, dengan cepat ia menahan tangan Revan yang sudah
Ketenangan yang sedari tadi dipupuk oleh Agung Mahendra seketika terkikis melihat sikap Revan yang begitu membangkang, urat wajahnya mulai menonjol dan rahangnya bergemretak, "Jadi, demi membela wanita rendahan itu, kau mengancam ayahmu sendiri?""Jika itu diperlukan, ya, saya akan melakukannya."Agung mengepalkan tangannya dengan teramat kesal, perasaannya seolah terlukai. Ia tidak menyangka jika Revan malah semakin membangkang padanya setelah semua usaha yang sudah ia lakukan."Itu saja ingin saya katakan, saya permisi." ujar Revan kembali.Saat Revan terlihat mulai beranjak meninggalkan ruangannya, Agung Mahendra segera berdiri, raut wajahnya menunjukkan amarah yang teramat tinggi, "Memangnya apa yang bisa kau lakukan pada ayahmu ini, hah?"Revan seketika menghentikan langkah mendengar teriakan Agung Mahendra yang menggelegar. Ketenangan itu akhirnya runtuh dengan amarah yang terasa mendominasi."Kau tidak akan bisa melakukan apa-apa pada ayahmu ini, Revan. Bahkan secuil rambut ini