Ketenangan yang sedari tadi dipupuk oleh Agung Mahendra seketika terkikis melihat sikap Revan yang begitu membangkang, urat wajahnya mulai menonjol dan rahangnya bergemretak, "Jadi, demi membela wanita rendahan itu, kau mengancam ayahmu sendiri?""Jika itu diperlukan, ya, saya akan melakukannya."Agung mengepalkan tangannya dengan teramat kesal, perasaannya seolah terlukai. Ia tidak menyangka jika Revan malah semakin membangkang padanya setelah semua usaha yang sudah ia lakukan."Itu saja ingin saya katakan, saya permisi." ujar Revan kembali.Saat Revan terlihat mulai beranjak meninggalkan ruangannya, Agung Mahendra segera berdiri, raut wajahnya menunjukkan amarah yang teramat tinggi, "Memangnya apa yang bisa kau lakukan pada ayahmu ini, hah?"Revan seketika menghentikan langkah mendengar teriakan Agung Mahendra yang menggelegar. Ketenangan itu akhirnya runtuh dengan amarah yang terasa mendominasi."Kau tidak akan bisa melakukan apa-apa pada ayahmu ini, Revan. Bahkan secuil rambut ini
Benar saja hanya selang satu jam kemudian, Agung mendapatkan informasi bahwa ayahnya, Pandu Mahendra sudah tiba di depan kantor. Dengan langkah tergesa, ia segera bergerak ke arah depan kantor. Sial, karena kunjungan ayahnya yang mendadak ini, ia jadi tidak sempat membereskan apa saja yang akan menjadi fokus kritikan dari Pandu. Agung hanya bisa berharap semoga Pandu tidak memperhatikan apapun yang tidak beres di kantornya."Kau memang selalu dapat diandalkan Revan, Kakek selalu bangga padamu.""Terimakasih Kek,"Agung terhenyak saat melihat ternyata Revan sudah berada di samping Pandu. Belum sampai sehari ia terlewat mengawasinya, ternyata Revan sudah mencuri waktu untuk kembali mendapatkan perhatian dari Pandu. Agung segera bergegas ke hadapan Pandu dengan senyuman merekah, "Ayah, kenapa Ayah berkunjung secara mendadak seperti ini?" Agung mengalihkan pandangannya ke arah Revan lalu kembali melanjutkan, "Seharusnya kamu memberi tahu Papa atas kedatangan kakekmu ini kemari, Revan. Apa
" Selesai,"Valeria menepuk kedua tangannya setelah acara memasak yang ia lakukan. Hari ini ia memutuskan untuk memasak makanan spesial bagi Revan karena telah merawat dirinya selama ini.Valeria menatap puas ke arah makanan itu, ia berharap Revan akan menyukai makanannya setelah ia pulang bekerja.Suara mobil yang terdengar dari halaman depan membuat Valeria segera bergegas menyambut kedatangan Revan. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Revan yang keluar bersama dengan pria yang kelihatannya sudah berumur, namun masih terlihat gagah.Valeria mengerutkan dahinya, siapa itu?Ketika mereka sampai di depan Valeria, Revan segera mengenalkan pria di sampingnya, "Ini kakekku."Valeria seketika terperangah, merasa terkejut karena Revan tidak memberitahu dirinya sebelumnya, "Kakek?""Ya, ini kakekku, dia dari Jepang."Valeria segera melepas celemek yang menempel di badannya lalu membungkuk dengan hormat, "Salam, maafkan saya karena saya berpenampilan sederhana seperti ini," ujar Valeria.
"Kakek yakin tidak ingin menginap lagi saja? Kakek baru di sini selama dua hari, apa tidak lelah melakukan perjalanan terus menerus?""Kakek banyak pekerjaan di Jepang, lagipula melihat kalian, kakek jadi rindu nenekmu."Revan seketika terkekeh mendengar ucapan Pandu, "Aku juga rindu pada Nenek, tolong sampaikan juga salamku padanya.""Lain kali kamu harus kenalkan dan bawa Valeria ke Jepang, Nenek sebenarnya kecewa karena kamu tidak pernah bilang bahwa kamu akan menikah, tapi mendengar penjelasanmu Nenekmu jadi penasaran dengan cucu menantunya.""Maafkan aku, situasinya saat itu sangat tidak memungkinkan memberitahu kalian. Kakek sangat tahu bagaimana watak Papa, dia yang memintaku untuk menyembunyikan pernikahan kami. Ada hal yang ingin ku beritahukan kepada Kakek juga," Revan seketika mengelus perut Valeria hingga Valeria tersentak akan perbuatannya, ia cukup terkejut karena Revan menyentuh perutnya tiba-tiba."Valeria sedang mengandung anakku,""Istrimu sedang hamil?" Tanya Pandu
Revan masuk ke dalam mobilnya dengan cepat, sebenarnya ia merasa tidak nyaman karena harus meninggalkan Valeria saat ini, tapi sepertinya ia harus pergi. Revan segera memakai penyuara telinga lalu mulai menjawab panggilan dari sana. Ia berdecak dengan kuat. Barbara selalu saja membuat onar yang tidak pernah Revan duga."Barbara, apa yang sebenarnya tengah kau katakan? Jernihkan pikiranmu!" Teriak Revan mulai emosional. Tadi ia tidak bisa melakukannya karena ada Valeria di sekitarnya, ia tidak menyangka jika Barbara menghubunginya hanya untuk berkata bahwa ia hendak bunuh diri. Dengan suara tangis yang menggema, Barbara mengancam Revan untuk segera menemuinya atau ia akan berbuat nekad.Rahang Revan bergemretak, tidak, ia menyusul Barbara bukan karena masih mencintainya, namun Jika Barbara benar-benar berbuat nekad maka ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah melukai orang lain."Aku hanya ingin kita kembali bersama, Revan. Aku hanya mencintaimu, jika kau memilih bersama o
Barbara mengerjapkan matanya saat mulai tersadar dari pingsannya. Ia tersenyum saat melihat Revan yang berada di hadapannya sedang tertidur dengan lelap. Hatinya bersorak dengan riang. Berhasil! Ia berhasil membuat Revan mengikuti apa yang ia katakan, hanya dengan sedikit ancaman dan juga trik mengambil simpatinya, Barbara dapat kembali menjerat Revan untuk berada di sampingnya.Barbara mengusap lembut wajah Revan sambil bergumam, "Kamu akan selalu menjadi milikku, Revan. Lihat saja." Inilah yang Barbara inginkan, Revan Mahendra yang muda dan tampan rupawan, bukannya Agung si tua Bangka.Tepat saat ia tengah menikmati ketampanan Revan, ponsel Revan terdengar bergetar di sakunya. Penasaran, Barbara segera mengambil benda elektronik tersebut dengan perlahan dari sana, sepertinya ada yang mengirim pesan pada Revan saat ini. Raut wajah Barbara seketika berubah saat melihat siapa yang berada di layar depan ponsel itu, Valeria Anderson... Pesan apa yang dikirim wanita itu sebenarnya?Demi m
Revan terperangah mendengar ucapan Valeria, ia sungguh terkejut, darimana Valeria bisa mengetahui dirinya bersama dengan Barbara selama semalam penuh?"Kau tahu?""Bukankah Anda sendiri yang memberi tahukannya, Pak Revan?"Raut wajah Revan segera menjadi resah mendengar sapaan Valeria kepadanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Valeria kembali menjaga jarak?"Valeria, aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, sungguh aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini?""Apa? Tidak mengerti?" Valeria seketika mendengus, rasanya ia ingin tertawa mendengarnya. Valeria segera mengambil ponselnya lalu menunjukkan pesan semalam yang ia terima dari Revan."Ini... Apakah Anda sengaja mengirim pesan ini agar saya melihatnya?"Revan terperangah, matanya melebar sempurna melihat foto yang diberikan oleh Valeria. Itu adalah fotonya, fotonya yang tengah tertidur sedang berdekatan dengan Barbara. Kening Revan berkerut dalam, kapan foto ini diambil? Apa Barbara yang mengambilnya? Sial,
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika