“APA? MENIKAH?"
Mata wanita cantik itu memelotot sangar. Kian kaget atas pernyataan sang ayah yang mengatakan tentang rencana pernikahannya. James—sang ayah, pria paruh baya yang tidak menerima bantahan ataupun penolakan.Leoni mendengkus kesal. Dua tanganya mengepal erat di atas paha. Darahnya semakin panas mendidih ketika ia dengar nama pria yang James sebutkan sebagai calon suaminya.Tavel Moore Miller, pria yang digadang-gadang bakal calon suaminya kelak. Seorang pria tampan nan terkenal di negaranya. Pria haus selangkangan yang sekarang banyak disebutkan orang tengah menuai karmanya. Sering bergonta-ganti pasangan membuat Tavel terkenal sebagai pria hidung belang. Tidak terhitung banyaknya wanita yang pernah terlentang di atas ranjang milik putra sulung keluarga Miller tersebut.Tidak habis pikir, bagaimana bisa ayahnya meminta Leoni untuk menikahi pria seperti itu. Dirinya yang wanita baik-baik, rajin beribadah serta menjaga kehormatannya malah harus berakhir dengan pria kotor seperti itu. Tentu saja ia tidak bisa merelakan dirnya yang berharga berakhir mengenaskan."Menikahi pria impoten bukankah cara terang-terangan membuatku menjadi seorang perawan seumur hidup?” protes Leoni pada James."Bukankah itu bagus? Kau bahkan selalu bercita-cita ingin menjadi seorang barawati," seloroh Theo—adik laki-laki Leoni yang memiliki umur dua tahun dibawahnya."Diam, sialan!" umpat Leoni menekankan ucapanya, malah membuat Theodore terkekeh-kekeh geli.Di jaman sekarang, siapa yang masih mau menerima sebuah perjodohan. Hal konyol dan kolot itu, kenapa masih saja ada orang yang melakukannya. Sialnya, kini itu juga terjadi pada diri Leoni sendiri.Wanita yang memiliki cita-cita tinggi untuk menikah dan hidup dengan orang yang dia cintai. Leoni bahkan menjaga hatinya untuk tidak jatuh kepada siapapun selama ini. Cinta pertama hanya ia tujukan pada pria yang tepat dan akan menjadi suaminya kelak.Entah kenapa James malah menghancurkan angan-angan putrinya sendiri. Mengirim Leoni untuk menjadi pengantin wanita dari pria brengsek yang bahkan hidupnya sudah tidak berguna lagi."Aku.Tidak.Mau!" tolak Leoni penuh penekanan."Kau pikir aku meminta pendapatmu? Ini perintah Leoni, bukan permintaan." tegas James garang, memelot pada Leoni yang kesal di hadapanya."Kenapa Ayah ingin sekali menghancurkan hidupku? Memangnya Ayah mau aku menjadi olok-olokan satu negara?" timpal Leoni tajam. Amarahnya telah memuncak hingga ubun-ubun."Siapa yang berani mengolok-olokmu? Hidupmu akan lebih sejahtera setelah masuk ke dalam keluarga Miller.""Sial! Aku bahkan tidak menginginkan kesejahteraan itu." Ia bergumam kecil, tentu saja tidak bisa didengar oleh James. Leoni memijat pelipisnya yang pusing. "Ayah sendiri tahu bagaimana terkenalnya pria itu, bukan? Pria gila haus selangkangan itu?"James mengerang. Menatap putrinya yang amat begitu keras kepala. Tentu saja sikap keras kepalanya itu diturunkan darinya. Ya, dari siapa lagi memangnya."Aku tidak menerima penolakan atau alasan apapun darimu. Pernikahan itu telah ditetapkan. Dalam waktu dua bulan dari sekrang, kau akan resmi menjadi nyonya Miller.""AH GILA! MEMBUATKU GILA SAJA."Leoni beranjak dari duduknya. Gusar hatinya mengiringi langkah kaki jenjangnya yang melangkah lebar meninggalkan ruangan."Aku belum selesai bicara denganmu." Berat suara James sebagai peringatan sebelum Leoni keluar dari ruangannya. Namun acuh tak acuh Leoni tetap melamgkahkan kakinya keluar ruangan.Theodore turut mengangkat bokongnya dari sofa empuk itu. Melangkah lebar menuju pintu. Namun, sebelum dirinya membuka pintu, ia terlebih dahulu menoleh untuk melirik ayahnya."Tenang saja, Ayah, putri tercintamu itu pasti tidak akan mempermalukanmu," tutur Theo yang tahu betul apa yang saat ini tengah dipikirkan oleh James.James menghela napasnya. "Lebih baik kau menjaganya untukku. Pastikan dia tidak berbuat macam-macam," pinta James."Ya, tentu akan kulakukan."Derap langkah dari sepatu kulit itu menggema pada mansion yang sunyi. Kaki jenjang gontai melangkah menuju ruangan yang masih berada di lantai yang sama. Sebuah ruangan dengan pintu yang tak ditutup rapat menampilkan wanita cantik yang sedang melamun di dalamnya."Sedang berdoa dalam hati?"Leoni melirik kehadiran adiknya yang tidak diundang masuk ke dalam kamar. Berdecak malas pun menggeser bokongnya ke samping memberikan tempat untuk Theo duduk di sampingnya."Kau menyesal tidak menjadi biarawati saja?" seloroh adik tampannya itu."Diamlah, aku sedang pusing," gerutu wanita itu kesal. Pandanganya yang kosong menatap lurus ke depan menandakan dirinya tengah berpikir keras.Dirinya yang suci berharga dan tak terjamah ini akan dinikahkan dengan pria hidung belang. Sialan. Bukankah lebih baik ayahnya itu menyuruhnya untuk menjadi biarawati saja sekalian.Tidak bisa. Leoni tidak ingin berakhir menyedihkan seperti itu. Meskipun calon suaminya nanti bisa sembuh dan sempurna lagi, namun Leoni tidak bisa membagi dirinya dengan pria seperti itu.Dia menoleh menilik adiknya. "Kau tidak datang untuk memaksaku setuju menikah, bukan?""Tentu saja tidak." Theodore menggeleng kepalanya. "Aku ingin menawarimu pinjaman uang jika kau ingin melarikan diri dari negara ini."Bibir sintal nan seksi itu berdecak. "Ayah akan mencariku sampai lubang semut jika aku melarikan diri.""Ya, kau tahu itu.""Ck. Tidak membantu sama sekali." Ia memutar matanya malas.Leoni mengambil ponselnya lalu ia tekan sebuah nomor di sana. Menghubungkannya ke dalam sebuah panggilan suara."Ya, reservasi atas namaku. Aku akan datang, kita bertemu di club nanti malam." Dia berbicara dengan seseorang di dalam telepon. Setelah itu, ia kembali mematikan sambungannya."Apa? Club malam?" Theodore cukup dibuat tercengang oleh rencana saudarinya itu. Saudarinya yang baik hati dan tidak pernah menjejakan hidupnya pada dunia malam, kini tiba-tiba ingin mendatangi tempat haram tersebut."Ya, ada apa? Kau mau ikut?" Leoni menjawab cukup tenang."Apa yang akan kau lakukan di sana? Itu tidak seperti dirimu yang seorang anak Tuhan ini.""Bersenang-senang, apalagi? Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bersenang-senang sebelum berakhir menyedihkan dengan pernikahan itu."*******Hiruk pikuk ramainya suasana di dalam club malam ternama ibukota. Minuman beralkohol serta lantunan musik EDM yang dimainkan DJ menggema di seluruh ruangan mengiringi lekukan tubuh setiap insan yang mabuk berjoged di dalam lautan manusia.Semua orang datang untuk bersenang-senang, mabuk, atau melepaskan beban pikiran mereka. Sama halnya seperti wanita cantik yang duduk di depan meja bartender, menyilangkan kakinya saling bertumpu seraya memegang gelas pendek berisikan cairan emas di dalamnya.Leoni mengurut pangkal hidungnya yang pening. Telah ia reservasi privateroom di dalam club malam tersebut serta menyewa layanan khusus untuk tamu VVIP di sana. Itu gila, namun dirinya hanya ingin bersenang-senang sebelum hari pernikahannya tiba.Alih-alih masuk ke dalam ruangan itu, dirinya malah duduk merenung di depan meja bartender. Satu gelas whisky yang dipegangnya sedari tadipun tak kunjung berkurang jumlahnya.Masuk ke dalam tempat haram itu bukanlah hobinya, apalagi hingga harus berkeliaran di antara para pria asing di sana. Itu terlalu menganggu bagi dirinya yang memiliki jalan hidup yang terlalu baik.Bayang-bayang akan pernikahannya terus menghantui pikiran Leoni. Bagaimana tidak, dirinya akan berakhir menyedihkan menjadi perawan sebab suaminya yang tidak mampu itu."Leoni, bersenang-senanglah malam ini sebelum hari burukmu itu tiba."Kizzie Poster terus memaksanya. Dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui bagaimana perjuangan Leoni menutup hati serta menjaga kesuciannya selama ini. Sahabatnya itu terus mengatakan jika hal yang berharga darinya akan ia berikan kepada suaminya kelak. Namun sekarang apa yang terjadi, Leoni bahkan akan menikahi pria lumpuh dan impoten.Berbeda dengan Leoni, Kizzie adalah wanita yang menyukai kebebasan. Hal0hal menyenangkan seperti apa lagi yang belum pernah dirinya rasakan. Wanita cantik nan seksi ini juga terkenal di kalangan pemuda kaya di ibu kota."Apa kau akan terus menyimpannya sampai kau mati? Kau mati ketika tidak sempat merasakan nikmat dunia yang satu itu?"Telinga Leoni berdengung saat sahabatnya itu terus menyindirnya. "Baiklah, aku akan masuk." Leoni menjawab cepat. "Masuklah lebih dulu, aku akan menyusul."Kizzie menepuk pundaknya. "Aku akan menunggumu, awas saja jika kau tak datang.""Ya, ya. Pergilah," usir Leoni seraya mengibaskan lenganya.Leoni menggigit bibir bawahnya. Dia ragu jika harus masuk ke dalam ruangan itu dan bertemu pria sembarangan. Meskipun niat gilanya untuk melepaskan keperawanan sebelum menikah masih terus ia pikirkan."Dua gelas whisky."Seorang pria duduk depan meja bartender. Memesan dua gelas whisky pada bartender lalu satunya ia berikan pada wanita cantik di sampingnya membuat wanita itu kontan menoleh.Gelas berisikan cairan emas itu melayang dari genggamannya, membuat Leoni memutar wajah untuk melihat orang yang telah mengambil gelasnya tersebut. Sebelum ia melayangkan pertanyaan pada pria asing itu, gelas baru berisikan cairan yang sama kembali ke dalam genggamannya."Es di dalam gelasmu telah mencair, itu akan merubah rasa minuman di dalamnya," ucap pria asing itu diiringi senyum tipisnya.Leoni melirik gelas di tanganya. Bahkan tidak ia sesap satu tetes pun cairan mabuk itu. Dia tidak tahu jika rasanya akan berubah jika es di dalamnya mencair.Atensi Leoni kembali pada pria asing tampan di sampingnya yang tengah menyesap whisky di dalam gelas seraya memandang pada DJ di depan sana. Ia tilik wajah itu dengan seksama, tampan wajah serta sorot matanya yang tajam, garis rahangnya yang keras disertai sedikit jambang khas dirinya seperti pria italia asli. Kemeja hitam yang dipakainya tidak terkancing di bagian atas sengaja memperlihatkan dada bidang di dalam sana, bagian lenganya yang mengetat tercetak jelas otot kekar pria tersebut."Es dalam gelasmu kembali mencair jika kau tak meminumnya."Mengerjap. Lamunan Leoni hilang saat suara bariton dari pria itu menggeman di dalam telinganya. Ia sadari jika pria itu sedang mencondongkan tubuhnya mendekat dan berbicara tepat di depan telinganya.Tatapan mata keduanya saling bertemu. Saling menatap satu sama lain selama beberapa detik sebelum akhirnya Leoni memutuskan kontak mata mereka terlebih dahulu.Wanita cantik dengan balutan dress slim fit berwarna hitam seksi di atas paha itu mengambil gelas miliknya kemudian ia sesap cairan di dalamnya. Pahit dan tidak enak rasanya, membuat Leoni kontan mengeryit dan terbatuk saat meminum cairan mabuk tersebut.Pria itu mengangkat sebelah bibirnya seksi, menatap Leoni dengan tatapanya yang sayu nan redup. Bisa ia lihat dengan jelas jika wanita di sampingnya tidak pernah minum alkohol. Ia mengambil sapu tangan dari dalam saku celana, memberikan itu kepada Leoni."Terimakasih," balas Leoni lalu ia terima sapu tangan tersebut."Sepertinya kau baru di sini," ucap pria tersebut."Ah ya, ini kali pertama aku datang," balas Leoni. "Bagaimana denganmu? Sepertinya kau cukup sering datang.""Bisa dikatakan seperti itu, aku datang beberapa kali dalam seminggu untuk bertemu orang. Aku menawarkan jasa," lugasnya."Jasa?""Ya. Kau ingin mencobanya denganku?" Pria ini tersenyum. Jelas betul maksud dari 'jasa' yang ia tawarkan.Seorang pria berwajah tampan serta memiliki tubuh yang kekar. Auranya begitu dominan, berbeda dengan pria yang telah Kizzie perkenalkan.Leoni tersenyum simpul. "Tentu saja."Jantungnya berdegup lebih kencang, aliran darahnya seolah bergejolak tak karuan. Perasaan aneh menyelimuti hati serta pikiranya. Hal gila yang beberapa menit tadi bersemayam di dalam kepalanya kini akan segera terjadi.Pria itu mengulurkan tanganya pada Leoni, menggandeng lalu membawa pergi wanita cantik nan seksi itu menuju lantai atas. Sebuah lorong yang panjang serta pintu pada sisi kanan dan kirinya diyakini jika itu adalah penginapan yang menyatu dengan club malam tersebut.Pria itu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar yang cukup besar disertai lampu remang-remang. Ia meminta Leoni untuk duduk di atas ranjang lalu dirinya pergi mengambil satu botol minuman."Kau ingin minum sebelum melakukanya?"Leoni menggeleng menolak. Ini akan menjadi pengalaman pertama atau mungkin terakhir di dalam hidupnya. Ia tidak ingin mabuk ketika melakukanya.Pria itu mengangguk mengerti. Kemudian ia letakan kembali botol minuman itu ke atas nakas. Ia mulai membuka kemeja hitam yang dikenakannya."Aku akan mandi. Buatlah nyaman dirimu saat berada di sini," ucapnya seraya melenggang masuk ke dalam kamar mandi....Bersambung ...."Uh—uuhh ...."Wanita cantik itu melenguh nikmat. Tubuhnya menggelinjang hebat tatkala disentuh seductive setiap area sensitifnya oleh pria yan kini tengah mengukung tubuhnya dari atas.Menjejaki setiap inci kulit tubuh putih nan mulus itu menggunakan bibirnya yang merah seksi. Mengecup menghisap hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana."Sebut namaku." Suara bariton itu menginterupsi berbisik tepat di depan telinga Leoni yang memerah. Menjilat pelan serta meniupnya lembut memberikan sensasi panas di sana.Leoni memejam, bibirnya menggigit bibir bagian bawah. Kakinya menjepit tangan pria yang kini tengah leluasa mengeksplor inti tubuhnya di bawah sana. Menggerakan jemarinya naik turun membuat si pemilik menggelinjang kenikmatan."Si—siapa namamu, uh?" tanya Leoni diiringi lenguhan."Xander , My baby.""Hah— Xander, uh."Dada Leoni membusung tatkala benda keras dan besar menerobos masuk ke dalam lubang kenikmatannya. Rasa sakit pedih pun perih ia rasakan pada area sensitif miliknya.
"Ada apa dengan wajahmu? Kenapa kau pucat sekali?" tanya James pada putri sulungnya.Seluruh keluarga tengah berada di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing. Atensi semua orang tertuju pada Leoni. Menatapnya bingung pun penuh tanya. Wajah yang pucat serta tidak berselera makan karena Leoni baru kembali ke rumah pukul empat dini hari. Ia baru saja tertidur beberapa jam namun harus kembali bangun untuk bersiap-siap pergi bekerja. Dirinya kurang tidur karena aktivitas panasnya tadi alam.Waktu yang sedikit juga membuatnya tidak terlalu banyak memoleskan make up hingga kantung matanya yang menghitam masih cukup terlihat."Apa kau sakit, Honey?" tanya ibu Leoni—Salvaza Dulse—dengan penuh perhatian serta tutur katanya yang lembut."Aku sedikit pusing, Mommy. Ini karena perjodohan yang ayah buat untukku," jujurnya seraya mengurut pelipisnya yang pusing.James Calis berdeham samar mendengar ungkapan putrinya. "Kau pusing karena tidak pulang tadi
Xander?Betapa santainya pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan kemudian duduk tepat di samping Tavel Moore. Tersenyum menyapa ramah wajah tampanya itu bahkan tetap tenang ketika dirinya dihadapkan dengan Leoni.Tentu saja banyaknya pertanyaan langsung berkutat menyerbu kepala wanita cantik itu. Dirinya terdiam mematung seraya terus menatap Xander yang duduk tepat di depanya.Jantung yang tadinya berdebar biasa saja kini meningkat kecepatannya menjadi dua kali lipat. Berdetak amat sangat kencang seolah akan copot jatuh darii tempatnya.Bagaimana bisa pria yang menghabiskan satu malam denganya itu bisa berada di pertemuan keluarga bersama calon suaminya. Benar-benar membuat Leoni linglung serta pening menyambar isi pikiranya."Xander Francis Miller." Theodore berbisik memberitahu. "Dia adik dari calon suamimu."Bagaikan disambar petir di siang bolong. Rasanya jantung Leoni akan benar-benar jatuh dari tempatnya saat ia mengetahui siapa sebenarnya pria itu. Benar-benar takdir, langit
"Kenapa kau begitu gugup? Tanganmu sampai berkeringat dan bergetar seperti itu," seloroh Theodore yang amat suka menganggu Leoni di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.Anggun dan cantik penampilanya kini. Tubuh yang indah ramping namun tetap sintal seksi terbalut gaun pengantin putih yang menjuntai panjang pada lantai. Bagian dadanya cukup terbuka terbelah memperlihatkan atas dada yang cukup menonjol. Riasan make up tipis serta tatanan rambut yang rapi membuat penampilanya semakin memesona.Pengantin wanita kita hari ini. Penampilanya yang telah amat sempurna bak bidadari tidak bisa menyembunyikan betapa murung wajah serta kekesalan hati di dalam dadanya. Faktanya, ia tetap menikah dengan pria yang sama sekali tidak ia cintai, bahkan suaminya kini adalah pria minus ibukota.Leoni telah berjalan berdampingan bersama sang ayah yang mengantarkanya naik ke atas altar. Pengucapan janji suci pun telah dilangsungkan. Pada aula gedung besar nan mewah kini tengah dimeriahkan dengan
Menatap cermin tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Leoni sibuk dengan dirinya sendiri. Sementara dari balik cermin di hadapanya, bisa ia lihat Tavel yang juga tengah bersiap sembari di bantu oleh seorang pelayan. Leoni tak mempedulikannya sama sekali.Ia telah siap dengan stelan kerjanya yang rapi. Kemeja berwarna peach berpadu dengan rok slim fit berwarna hitam. Cantik amat menawan pesona wanita dua puluh tujuh tahun itu.Setelah siap dengan semua urusannya di dalam kamar, Leoni melenggangkan kakinya pergi. Ia tolak tangan Tavel yang mencoba meraihnya dengan acuh tak acuh pun terus melenggang pergi. Pria yang terang-terangan ditolak itu hanya menyunggingkan senyumannya tipis."Morning, My sweetheart." Sang ibu mertua—Deliana Darby—menyambutnya dengan hangat.Lantas, Leoni peluk tubuh Deliana yang duduk di kursi meja makan dengan hangat, pun ia kecup singkap pipi kiri ibu mertuanya. "Morning, Mom." Ia melakukan hal yang sama untuk menyapa sang ayah mertua—Peto Miller. "Morning, D
Pandangan Xander bergerak mengikuti guliran pesan masuk pada ponselnya. Banyaknya tagihan datang menyerbu tidak tanggung-tanggung. Dirinya menerima berjuta-juta tagihan untuk barang yang dibeli atas nama credit card miliknya.Pria tampan ini hanya tersenyum tipis. Sudah tahu pun sangat dipastikan siapa yang sedang berfoya-foya dengan uangnya. Siapa lagi jika bukan wanita cantik namun keras kepala itu.Dirinya kini berada di ruang baca yang berada di lantai dua mansion. Berdiri gagah di samping jendela sosoknya dengan secangkir coffee hangat di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang ponsel.'Kau gila? Untuk apa kau menyarankan hal seperti ini?''Tentu takkan kulakukan. Membuang waktuku saja.'Samar Xander mendengar kegaduhan dari bawah. Lantas, ia melongok ke luar jendela pun langsung ia dapati dua sejoli yang sedang duduk di kursi samping kolam renang mansion. Ketegangan menyelimuti wajah wanita cantik itu, sementara lawan bicaranya terlihat amat tenang.Dilemparnya brosur li
"Ada apa denganmu? Kenapa kau bertingkah murung seperti itu?" tanya Tavel pada Leoni yang tiba-tiba saja terdiam setelah bertanya kepadanya."Aku baru saja memikirkan sesuatu," timpal Leoni. Ia tatap Tavel lekat dari wajahnya yang datar tanpa ekspresi. "Menurut kepercayaan yang kita anut, pernikahan sah suci hanya dilakukan sekali seumur hidup. Bahkan, jika kita bercerai lalu menikah dengan orang lain sementara mantan suami kita masih hidup, pernikahan itu tidak terhitung dan masuk ke dalam perzinahan."Garis bibir melengkung itu seketika datar. Tavel mendatarkan wajahnya sedatar mungkin kini. Hasratnya untuk menggoda Leoni hilang lenyap saat ini juga."Aku tidak menganggap pernikahan ini permainan. Hanya saja, aku belum bisa menerimamu. Mungkin aku membutuhkan sedikit waktu," tutur Leoni serius. Ucapanya mampu mengubah seketika atmosfir di dalam ruangan."Jadi aku pinta padamu untuk bersikap sedikit lebih adil terhadapku. Aku tidak memaksa, lakukan saja jika kau mau."Leoni beranjak
Keringat menetes membasahi tubuhnya. Kekar-kekar otot tangan serta bahunya keluar ketika ia melakukan gerakan. Seksi tubuhnya serta kekar berotot membentuk begitu indah.Xander tengah berolahraga di taman tengah mansion. Berlari mengitari taman yang lumayan luas itu. Sudah sekitar setengah jam dirinya melakukan hal yang sama hingga keringat panas mulai bercucuran.Tampan wajahnya yang sedikit memerah disertai keringat yang membasahi rambut pun ujung pelipisnya membuat pesona pria itu semakin ugal-ugalan. Pelayan yang tak sengaja berpapasan denganya tak bisa menolak pesona pria tampan berusia tiga puluhan itu.Sementara itu di lantai dua mansion elite tersebut. Berdiri Leoni di depan jendela kamarnya. Sembari bersidekap dada dirinya memandang ke bawah, menatapi pria yang tengah berlari di taman. Menilik matanya begitu amat detail pada setiap inci ukiran tangan tuhan yang berbentuk lelaki tampan. Terpesona bahkan tak kunjung berkedip dirinya ketika memandangi Xander.Dia akui jika tubuh
“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat