Xander?
Betapa santainya pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan kemudian duduk tepat di samping Tavel Moore. Tersenyum menyapa ramah wajah tampanya itu bahkan tetap tenang ketika dirinya dihadapkan dengan Leoni.Tentu saja banyaknya pertanyaan langsung berkutat menyerbu kepala wanita cantik itu. Dirinya terdiam mematung seraya terus menatap Xander yang duduk tepat di depanya.Jantung yang tadinya berdebar biasa saja kini meningkat kecepatannya menjadi dua kali lipat. Berdetak amat sangat kencang seolah akan copot jatuh darii tempatnya.Bagaimana bisa pria yang menghabiskan satu malam denganya itu bisa berada di pertemuan keluarga bersama calon suaminya. Benar-benar membuat Leoni linglung serta pening menyambar isi pikiranya."Xander Francis Miller." Theodore berbisik memberitahu. "Dia adik dari calon suamimu."Bagaikan disambar petir di siang bolong. Rasanya jantung Leoni akan benar-benar jatuh dari tempatnya saat ia mengetahui siapa sebenarnya pria itu. Benar-benar takdir, langit serta bumi sedang mempermainkannya.Atensi Leoni masih terpaku pada Xander yang membalas tatapanya di sana. Pria itu tersenyum simpul serta menaikan sebelah alisnya pada Leoni yang kontan detik itu juga mengalihkan pandanganya.Ini gila. Pikir Leoni.Tidak tahu apa kesalahanya di masalalu sehingga ia harus mengalami takdir rumit seperti ini. Menikah dengan pria lumpuh yang impoten, pun karena frustasi ia lari ke dalam pelukan adiknya untuk menghangatkan ranjang.Wah Leoni. Kau benar-benar hebat mendapatkan dua saudara sekaligus.Setelah perbincangan menganai penetapan tanggal pernikahan dilakukan, seluruh anggota keluarga memulai makan malam mereka. Disertai obrolan-obrolan ringan untuk mengenal keluarga satu sama lain.Benar-benar tidak masuk ke dalam otak sedikitpun perbincangan masalah pernikahannya pada malam ini. Sebab Atensi Leoni tetap fokus memikirkan malam yang ia habiskan bersama adik calon suaminya.Tatapan Leoni terpaku pada hidangan penutup di depanya berupa puding coklat yang tak ia sentuh sama sekali. Tubuhnya yang terdiam memaku kontan berjengit kaget saat seseorang menyentuh kakinya di bawah meja. Wajahnya langsung terangkat ke atas, pun langsung ia dapati Xander yang menyeringai ke arahnya.Sial!"Aku akan pergi ke toilet," ijin Leoni kemudian ia beranjak pergi dari sana.Deliana Darby tersenyum menatap punggung calon menantunya yang melenggang menjauh. Ia menyukai pembawaan Leoni yang anggun dan sopan. Begitu cocok dijadikan sebagai istri dari putranya."Aku sangat menyukainya. Dia terlihat sangat manis," puji Deliana pada James serta Savalza.Xander menyesap redwine di dalam gelasnya. Tersenyum tipis wajah tampan itu kala mendengar pujian yang ibunya lontarkan. Benar memang adanya jika calon kakak iparnya sangat manis, terlebih lagi saat wajahnya memerah sembari mengeluarkan suara-suara erotis."Aku permisi." Xander berdiri dari duduknya. Tubuh tegap dan kekar itu melangkah menjauh dari meja makan meninggalkan ruangan.Gontai ia melangkah menuju toilet pria yang berada tidak jauh dari ruanganya. Tidak masuk ke dalam, Xander justri berdiam berdiri menyender pada tembok penghalang antara toilet pria pun wanita.Tangan kekarnya sigap terulur menangkap pergelangan tangan ramping milik sang wanita. Menarik mendekatkan tubuh wanita itu ke dalam dekapannya."My Baby."Spontan Leoni gelagapan saat pria itu memeluk pinggang rampingnya. Napasnya tertahan seolah ada batu besar menyumbat kerongkongan."Hey lepaskan aku!" Leoni meminta dengan nada suaranya yang ia tekankan.Xander semakin mengeratkan pelukanya pada pinggang Leoni. Mendekatkan wajah pada wajah cantik itu mengikis jarak hingga sedekat mungkin."Kau masih memelukku dengan erat tadi malam. Kenapa kau minta dilepaskan sekarang?"Jarak wajah mereka sangat dekat hingga Leoni dapat merasakan napas hangat dari pria itu menguar di seluruh permukaan wajahnya."Itu karena aku tidak mengetahui siapa drimu sebenarnya," timpal Leoni seraya terus mendorong dada Xander agar sedikit menjauh darinya."Apa yang akan kau lakukan setelah mengetahuinya, Sayang?"Sayang? Oh God! Leoni membatin."Tentu saja menjauhimu. God! Apa kau bersekongkol dengan kakakmu untuk menjebakku?" Tatapan Leoni membulat, penuh selidik pada wajah tampan pun tenang milik Xander di hadapanya."Kau juga sangat menikmatinya tadi malam," timpalnya. Ia wajahnya mendekat pun terhenti pada sisi wajah Leoni, tepat di samping telinga Xander berbisik. "Kita sampai melakukan tiga ronde."Tertegun. Jantung Leoni semakin dibuat berdegup tidak karuan. Semburat merah memenuhi wajahnya yang memanas. Ingin sekali rasanya ia membuat lubang di bumi lalu sembunyi sekarang juga. Malu dirinya amatlah malu."Itu a—aku tadi malam—”“Sssstttt ...." Xander berdesis tepat di telinga Leoni. Kontan terpejam kedua mata wanita cantik itu merasakan geli pun tubuhnya yang spontan meremang.Jemari Xander mengelus lembut sisi wajah Leoni, yang kemudian turun menuju leher, lalu naik kembali pada pipi."Kau sangat cantik malam ini, kau begitu menggoda." Ia memuji. "Bagaimana jika kita melakukanya satu ronde di sini?"Manik cantik itu langsung terbuka membulat kala ia dengar ajakan vulgar tidak tahu malu dari pria gila di hadapanya. Langsung pun cepat Leoni mendorong dada Xander hingga terdorong ke belakang pun ia melepaskan pelukanya.Satu tamparan keras kuat melayang dan mendarat tepat di pipi kiri Xander. Membuat pria itu mendesis merasakan perih akibat pukulan yang Leoni beri padanya. Ia memegang ujung bibirnya yang sakit, mendorong pipi dari dalam menggunakan lidah."Bermimpilah! Tadi malam terjadi karena aku membayarmu. Hari ini ataupun di masa depan dan untuk selamanya, kubersumpah tidak akan ada yang terjadi lagi diantara kita berdua," jelas Leoni. Kemudian dirinya berbalik dan melenggang cepat meninggalkan Xander."Aku akan siap berada di atas ranjangmu ketika kau menginginkannya, Babe."Jari tengah Leoni berikan untuk menanggapi ucapan pria mesum keparat itu sebelum akhinya ia benar-benar melangkah jauh dari sana.Xander menyeringai menatap punggung rata yang semakin menjauh itu. Menegakan kembali postur tubuhnya lalu gontai melangkah menuju privateroom kembali.Dirinya duduk di kursi semula. Tepat berhadapan dengan Leoni yang sudah bersikap tenang dan sedang mengobrol bersama kedua orang tuanya. Ia tatapi wanita cantik itu dengan intens. Menilik bagaimana caranya tersenyum dan bicara dengan ramah."Menarik."Sudut mata Xander menangkap ekspresi wajah kakaknya yang juga tengah menatap Leoni dengan kagum. Ia menoleh untuk melihat lebih jelas bagaimana Tavel berekspresi.Wajahnya yang cantik memang menarik. Namun wanita dari keluarga kaya yang tidak memiliki skandal sedikitpun justru lebih menarik.Tavel mengenal Leoni, tentunya. Beberapa kali bertemu dalam sebuah acara. Wanita cantik yang tidak terjamah setitikpun, begitu kabar yang beredar di kalangan sosial mengenai dirinya.Kerutan halus tercetak jelas diantara dua alis tebal milik Xander Francis Miller. Melihat Tavel yang terus menatap Leoni seperti itu terlihat sangat menyebalkan.***Jangan lupa berikan ulasan kalian untuk terus menyemangati Author yaaa."Kenapa kau begitu gugup? Tanganmu sampai berkeringat dan bergetar seperti itu," seloroh Theodore yang amat suka menganggu Leoni di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.Anggun dan cantik penampilanya kini. Tubuh yang indah ramping namun tetap sintal seksi terbalut gaun pengantin putih yang menjuntai panjang pada lantai. Bagian dadanya cukup terbuka terbelah memperlihatkan atas dada yang cukup menonjol. Riasan make up tipis serta tatanan rambut yang rapi membuat penampilanya semakin memesona.Pengantin wanita kita hari ini. Penampilanya yang telah amat sempurna bak bidadari tidak bisa menyembunyikan betapa murung wajah serta kekesalan hati di dalam dadanya. Faktanya, ia tetap menikah dengan pria yang sama sekali tidak ia cintai, bahkan suaminya kini adalah pria minus ibukota.Leoni telah berjalan berdampingan bersama sang ayah yang mengantarkanya naik ke atas altar. Pengucapan janji suci pun telah dilangsungkan. Pada aula gedung besar nan mewah kini tengah dimeriahkan dengan
Menatap cermin tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Leoni sibuk dengan dirinya sendiri. Sementara dari balik cermin di hadapanya, bisa ia lihat Tavel yang juga tengah bersiap sembari di bantu oleh seorang pelayan. Leoni tak mempedulikannya sama sekali.Ia telah siap dengan stelan kerjanya yang rapi. Kemeja berwarna peach berpadu dengan rok slim fit berwarna hitam. Cantik amat menawan pesona wanita dua puluh tujuh tahun itu.Setelah siap dengan semua urusannya di dalam kamar, Leoni melenggangkan kakinya pergi. Ia tolak tangan Tavel yang mencoba meraihnya dengan acuh tak acuh pun terus melenggang pergi. Pria yang terang-terangan ditolak itu hanya menyunggingkan senyumannya tipis."Morning, My sweetheart." Sang ibu mertua—Deliana Darby—menyambutnya dengan hangat.Lantas, Leoni peluk tubuh Deliana yang duduk di kursi meja makan dengan hangat, pun ia kecup singkap pipi kiri ibu mertuanya. "Morning, Mom." Ia melakukan hal yang sama untuk menyapa sang ayah mertua—Peto Miller. "Morning, D
Pandangan Xander bergerak mengikuti guliran pesan masuk pada ponselnya. Banyaknya tagihan datang menyerbu tidak tanggung-tanggung. Dirinya menerima berjuta-juta tagihan untuk barang yang dibeli atas nama credit card miliknya.Pria tampan ini hanya tersenyum tipis. Sudah tahu pun sangat dipastikan siapa yang sedang berfoya-foya dengan uangnya. Siapa lagi jika bukan wanita cantik namun keras kepala itu.Dirinya kini berada di ruang baca yang berada di lantai dua mansion. Berdiri gagah di samping jendela sosoknya dengan secangkir coffee hangat di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang ponsel.'Kau gila? Untuk apa kau menyarankan hal seperti ini?''Tentu takkan kulakukan. Membuang waktuku saja.'Samar Xander mendengar kegaduhan dari bawah. Lantas, ia melongok ke luar jendela pun langsung ia dapati dua sejoli yang sedang duduk di kursi samping kolam renang mansion. Ketegangan menyelimuti wajah wanita cantik itu, sementara lawan bicaranya terlihat amat tenang.Dilemparnya brosur li
"Ada apa denganmu? Kenapa kau bertingkah murung seperti itu?" tanya Tavel pada Leoni yang tiba-tiba saja terdiam setelah bertanya kepadanya."Aku baru saja memikirkan sesuatu," timpal Leoni. Ia tatap Tavel lekat dari wajahnya yang datar tanpa ekspresi. "Menurut kepercayaan yang kita anut, pernikahan sah suci hanya dilakukan sekali seumur hidup. Bahkan, jika kita bercerai lalu menikah dengan orang lain sementara mantan suami kita masih hidup, pernikahan itu tidak terhitung dan masuk ke dalam perzinahan."Garis bibir melengkung itu seketika datar. Tavel mendatarkan wajahnya sedatar mungkin kini. Hasratnya untuk menggoda Leoni hilang lenyap saat ini juga."Aku tidak menganggap pernikahan ini permainan. Hanya saja, aku belum bisa menerimamu. Mungkin aku membutuhkan sedikit waktu," tutur Leoni serius. Ucapanya mampu mengubah seketika atmosfir di dalam ruangan."Jadi aku pinta padamu untuk bersikap sedikit lebih adil terhadapku. Aku tidak memaksa, lakukan saja jika kau mau."Leoni beranjak
Keringat menetes membasahi tubuhnya. Kekar-kekar otot tangan serta bahunya keluar ketika ia melakukan gerakan. Seksi tubuhnya serta kekar berotot membentuk begitu indah.Xander tengah berolahraga di taman tengah mansion. Berlari mengitari taman yang lumayan luas itu. Sudah sekitar setengah jam dirinya melakukan hal yang sama hingga keringat panas mulai bercucuran.Tampan wajahnya yang sedikit memerah disertai keringat yang membasahi rambut pun ujung pelipisnya membuat pesona pria itu semakin ugal-ugalan. Pelayan yang tak sengaja berpapasan denganya tak bisa menolak pesona pria tampan berusia tiga puluhan itu.Sementara itu di lantai dua mansion elite tersebut. Berdiri Leoni di depan jendela kamarnya. Sembari bersidekap dada dirinya memandang ke bawah, menatapi pria yang tengah berlari di taman. Menilik matanya begitu amat detail pada setiap inci ukiran tangan tuhan yang berbentuk lelaki tampan. Terpesona bahkan tak kunjung berkedip dirinya ketika memandangi Xander.Dia akui jika tubuh
Wanita cantik itu melenggang masuk ke dalam mansion. Menenteng tas mahal miliknya dan berjalan dengan elegan. Bunyi higheels setinggi tujuh inch nyaring terdengar menghentak lantai pun menggema pada mansion besar nan elite tersebut.Hari ini merupakan hari Rabu, jadwal untuk Tavel bertemu terapisnya. Leoni tidak ingin melewatkan untuk melihat pria itu melakukan pemeriksaan. Ada beberapa hal juga yang harus Leoni tanyakan pada terapis tersebut.Melangkah menuju kamarnya. Leoni melewati ruang tamu utama yang mana ada Xander di sana dengan beberapa rekan pria sedang mendiskusikan sesuatu. Leoni yakin jika beberapa pria itu merupakan rekan bisnis Xander. Bisa dilihat dari berkas-berkas yang tengah mereka pegang.Xander sedang menjelaskan sesuatu pada rekan bisnisnya saat atensinya tiba-tiba teralihkan pada Leoni yang melintas melewati ruang tamu menuju tangga. Wanita cantik itu hendak naik tentunya untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua.Ia menelan ludahnya kasar. “Tunggu sebenta
"Uhmm my Baby, faster Baby!"Wanita cantik tak berbusana memperlihatkan kulit tubuhnya yang putih mulus nan indah. Rambut legam terurai berantakan. Gerakanya naik turun di atas seorang pria yang dengan seductive memegangi pinggang sang wanita yang ramping.Pria tampan dengan wajah yang mendominasi itu mengetatkan rahangnya. Peluh menetes dari pelipisnya yang basah. Bibir seksi merahnya sedikit terbuka menahan sebuah desahan kenikmatan. Tanganya memegang erat pinggul ramping yang naik turun di atas tubuhnya, ikut menggerakan sesuai irama."Panggil namaku." Pria ini meminta."Xa—xander ahhh!"HAH!Telinga Leoni seperti berdengung. Kontan ia terjaga dari tidurnya. Keringat membasahi pelipis serta wajahnya. Pada cuaca yang sedingin itu dirinya berkeringat. Langsung ia beranjak mendudukan diri pun bersender pada kepala ranjang."Mimpi sialan!" Ia mengumpat seraya menyugar rambutnya ke belakang.Leoni menggigit bibir bawahnya. Melamun sesaat untuk menetralkan detak jantung yang berdegup san
"Ada apa dengan wajahmu?"Semua atensi merujuk pada Xander ketika Pero menanyakan akibat dari luka lebam pada bawah mata putranya. Pero dan Deliana telah kembali sepulang dari liburan mereka, pun kini satu keluarga itu tengah makan malam bersama-sama."Seorang wanita menolak dan juga memukulku," balas Xander. Wajahnya menunduk namun pandanganya tajam terangkat lurus tepat pada Leoni yang duduk di seberang kursinya. Wanita itu sedang memegang gelas berisikan jus orange miliknya."Haha. Siapa yang berani menolak putraku? Bawa wanita itu kesini biar kuberi dia hadiah," seloroh Pero diiringi tawanya yang khas.Sebab tidak ada di dalam riwayat pria di keluarga Miller yang akan ditolak oleh seorang wanita. Tidak anak-anaknya. Bahkan di masa lalu, Pero menjadi rebutan para wanita."Padahal sisa satu dorongan lagi dan semuanya akan dimulai. Tapi dia malah memukulku dengan botol alkohol," papar Xander. Santai ia memotong daging steak di dalam piringnya lalu ia masukan ke dalam mulut.Leoni ber
“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat