Menatap cermin tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Leoni sibuk dengan dirinya sendiri. Sementara dari balik cermin di hadapanya, bisa ia lihat Tavel yang juga tengah bersiap sembari di bantu oleh seorang pelayan. Leoni tak mempedulikannya sama sekali.
Ia telah siap dengan stelan kerjanya yang rapi. Kemeja berwarna peach berpadu dengan rok slim fit berwarna hitam. Cantik amat menawan pesona wanita dua puluh tujuh tahun itu.Setelah siap dengan semua urusannya di dalam kamar, Leoni melenggangkan kakinya pergi. Ia tolak tangan Tavel yang mencoba meraihnya dengan acuh tak acuh pun terus melenggang pergi. Pria yang terang-terangan ditolak itu hanya menyunggingkan senyumannya tipis."Morning, My sweetheart." Sang ibu mertua—Deliana Darby—menyambutnya dengan hangat.Lantas, Leoni peluk tubuh Deliana yang duduk di kursi meja makan dengan hangat, pun ia kecup singkap pipi kiri ibu mertuanya. "Morning, Mom." Ia melakukan hal yang sama untuk menyapa sang ayah mertua—Peto Miller. "Morning, Dad.""Morning, My darling," balas Peto balik mengecup pipi kanan Leoni amat hangat.Xander telah berada di sanasejak tadi. Ia tatapi terus tingkah manis kakak iparnya itu. Saat Leoni meliriknya dan pandangan mereka bertemu, pria ini mengangkat sebelah alisnya menggoda.'Bagaimana denganku?' Xander berbicara tanpa suara. Kontan mendapatkan jelingan mata dari Leoni.Duduk di dirinya pada kursi samping Xander. Sialannya. Kenapa harus di samping pria yang amat sangat ingin ia hindari.Dari arah samping terdengar suara roda berputar. Tavel hadir masuk ke dalam ruang makan dibantu oleh pelayan yang senantiasa mendorong kursi rodanya. Tidak ada satupun dari mereka yang berani bertanya kenapa Leoni tidak datang bersama suaminya, dan mereka malah datang secara terpisah."Kenapa bukan kau yang mendorongnya, kakak ipar?" Kecuali yang satu ini. Berani-beraninya ia bertanya, menekankan nada bicara pada dua kata terakhir.Menggerakan netranya ke samping, diikuti oleh wajah cantiknya yang menoleh. Ia ulas senyum tipisnya seramah mungkin untuk adik ipar gilanya itu. "Suamiku berkata ia akan terlambat ke meja makan karena kepalanya yang sakit," dalih Leoni, lalu ia memandang ke arah Tavel Moore yang mendekat ke arahnya. "Bagaimana pusingmu? Apakah sudah reda?""Sudah lebih baik, tidak perlu khawatir," balas Tavel. Ia elus lembut pipi Leoni pun menatapnya dengan sayu redup.Sementara Leoni hanya bisa terseyum menahan kekesalan hatinya karena tingkah dua saudara keparat itu. Benar-benar menyebalkan. Tidak ada satupun yang waras di antara mereka. Bermain wanita pun gila selangkangan. MUngkinkah ini sebuah bakat yang diwariskan.Sesaat, Leoni menatap Peto dengan penuh selidik. Hingga pria paruh baya namun tetap gagah nan modis itu berdeham samar merasakan aura tidak nyaman dari tegangan kuat tatapan menantunya."Mari kita mulai sarapannya." Deliana meminta para pelayan yang berdiri di belakang meja makan untuk menyajikan makanan.Para pelayan mulai menyajikan makanan ke dalam piring masing-masing tuannya. Sementara mereka melakukan tugas dengan cekatan, di bawah meja kaki seseorang terus saja bergerak untuk menganggu.Leoni menyilangkan kaki kananya untuk bertumpu pada kaki kiri agar kaki sialan Xander berhenti mengelusnya di bawah sana. Gila sungguh gila tingkat keberanian keparat yang satu ini. Di dalam ruang makan serta seluruh anggota keluarga berada di sana, ia tetap berani melakukan hal-hal aneh pada Leoni."Seharusnya kau tidak kabur tadi malam," bisik Xander amat pelan di samping wajah Leoni, hingga hanya Leoni yang bisa mendengar bisikannya. "Kenapa kau lari sementara tubuhmu telah bergetar menikmatinya?"Dia menghentakan alat makanya ke atas meja dengan sengaja. Membuat bunyi nyaring serta seluruh atensi mengarah padanya."Ah~ Maafkan aku. Aku baru ingat memiliki janji temu penting hari ini. Aku akan pergi lebih dulu," pamitnya seraya beranjak.Kaki jenjangnya melenggang dengan cepat meninggalkan ruang makan. Dirinya pergi sebelum mendapatkan jawaban apapun dari orang-orang di asana.Dia masuk ke dalam mobilnya yang telah terparkir di halaman depan mansion. Duduk menyender seraya mengurut pangkal hidungnya yang pening.Gila sungguh gila. Ia memejamkan matanya lantas kembali teringat kejadian tadi malam di mana dirinya bertemu Xander di ujung lorong lalu tiba-tiba pria itu menariknya masuk ke dalam kamar.Jemari-jemari pria itu yang lancang menelusup ke dalam baju tidurnya yang tipis. berbisik pun terus menggoda Leoni dengan tidak tahu malu."Benar-benar membuat hari-hariku sial," umpatnya.Menghidupkan mesin mobilnya yang garang, dengan cekatan ia membelokan stir melaju keluar dari area mansion mewah tersebut. Melaju dengan kecepatan rata-rata. Mobil mahal berwaran putih itu terhenti tepat di depan sebuah gedung apartement.Seorang wanita cantik nan seksi masuk ke dalam mobil. Duduk di samping Leoni yang mengemudi. Kizzie Foster menatap sahabatnya dengan kerutan halus pada dahi."Pagi-pagi sekali kau membangunkanku, Honey. Ada apa? Kenapa kau telah rapi dengan pakaian kerjamu? Bukankah seharusnya kau masih tidur nyenyak di atas ranjang setelah lelah melakukan malam pertama dengan suamimu.""Persetan dengan malam pertama," tukas Leoni. Pandanganya tetap tertuju pada jalanan dan fokus mengemudi. "Berada di sana hanya membuatku gila.""Why? Di kelilingi oleh pria tampan keluarga Miller adalah dambaan setiap wanita." Kizzie mengulum senyumannya.Leoni berdecak samar. "Wanita gila yang haus akan belaian di selangkangannya tentu saja menginginkan itu. Tidak denganku.""Kau benar-benar tidak tertarik dengan salah satu dari mereka?""Sama sekali tidak," tandas Leoni.Mobil mewah itu tepat terhenti di depan sebuah toko yang memiliki nama brand terkenal. Dua wanita cantik turun dari mobil pun sama-sama melenggang masuk ke dalam."Apa yang harus kubeli untuk menghabiskan uangnya," gumam Leoni, menilik ke dalam toko dengan barang-barang wanita seperti tas, sepatu, serta aksesoris lainnya. Ia akan menghabiskan uang hasil debatnya bersama Xander tadi malam. Di mana Xander yang terus menggoda serta mendesaknya menggunakan malam pertama mereka. Menghasut Leoni untuk melakukannya lagi. Damn!Mengatakan dengan lantang jika kejadian malam pertama itu terjadi sebab Leoni telah membeli jasa Xander menggunakan uangnya. Tidak ragu ia memberikan sebuah cek kosong untuk Xander tulis sendiri nominal yang dia inginkan. Namun, pria itu berakhir dengan menyobek lembaran cek kosong itu tadi malam, dan berbalik memberikan Leoni kartu debitnya karena ingin membayar jasa Leoni.Pria gila. Leoni tidak habis pikir dengan dua kejadian yang terjadi di malam pertama pernikahannya. Terang-terangan digoda oleh dua pria hidung belang yang bersaudara. Sama-sama aneh, menyebalkan, serta vulgar."Kurasa aku akan gila," adunya pada Kizzie.Kizzie berdecak seraya menggeleng melihat tingkah sahabatnya. "Kau memang sudah gila. Leoni."******Bersambung ....Jangan lupa untuk memberikan ulasan kalian untuk terus menyemangati Author yaaa.Pandangan Xander bergerak mengikuti guliran pesan masuk pada ponselnya. Banyaknya tagihan datang menyerbu tidak tanggung-tanggung. Dirinya menerima berjuta-juta tagihan untuk barang yang dibeli atas nama credit card miliknya.Pria tampan ini hanya tersenyum tipis. Sudah tahu pun sangat dipastikan siapa yang sedang berfoya-foya dengan uangnya. Siapa lagi jika bukan wanita cantik namun keras kepala itu.Dirinya kini berada di ruang baca yang berada di lantai dua mansion. Berdiri gagah di samping jendela sosoknya dengan secangkir coffee hangat di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang ponsel.'Kau gila? Untuk apa kau menyarankan hal seperti ini?''Tentu takkan kulakukan. Membuang waktuku saja.'Samar Xander mendengar kegaduhan dari bawah. Lantas, ia melongok ke luar jendela pun langsung ia dapati dua sejoli yang sedang duduk di kursi samping kolam renang mansion. Ketegangan menyelimuti wajah wanita cantik itu, sementara lawan bicaranya terlihat amat tenang.Dilemparnya brosur li
"Ada apa denganmu? Kenapa kau bertingkah murung seperti itu?" tanya Tavel pada Leoni yang tiba-tiba saja terdiam setelah bertanya kepadanya."Aku baru saja memikirkan sesuatu," timpal Leoni. Ia tatap Tavel lekat dari wajahnya yang datar tanpa ekspresi. "Menurut kepercayaan yang kita anut, pernikahan sah suci hanya dilakukan sekali seumur hidup. Bahkan, jika kita bercerai lalu menikah dengan orang lain sementara mantan suami kita masih hidup, pernikahan itu tidak terhitung dan masuk ke dalam perzinahan."Garis bibir melengkung itu seketika datar. Tavel mendatarkan wajahnya sedatar mungkin kini. Hasratnya untuk menggoda Leoni hilang lenyap saat ini juga."Aku tidak menganggap pernikahan ini permainan. Hanya saja, aku belum bisa menerimamu. Mungkin aku membutuhkan sedikit waktu," tutur Leoni serius. Ucapanya mampu mengubah seketika atmosfir di dalam ruangan."Jadi aku pinta padamu untuk bersikap sedikit lebih adil terhadapku. Aku tidak memaksa, lakukan saja jika kau mau."Leoni beranjak
Keringat menetes membasahi tubuhnya. Kekar-kekar otot tangan serta bahunya keluar ketika ia melakukan gerakan. Seksi tubuhnya serta kekar berotot membentuk begitu indah.Xander tengah berolahraga di taman tengah mansion. Berlari mengitari taman yang lumayan luas itu. Sudah sekitar setengah jam dirinya melakukan hal yang sama hingga keringat panas mulai bercucuran.Tampan wajahnya yang sedikit memerah disertai keringat yang membasahi rambut pun ujung pelipisnya membuat pesona pria itu semakin ugal-ugalan. Pelayan yang tak sengaja berpapasan denganya tak bisa menolak pesona pria tampan berusia tiga puluhan itu.Sementara itu di lantai dua mansion elite tersebut. Berdiri Leoni di depan jendela kamarnya. Sembari bersidekap dada dirinya memandang ke bawah, menatapi pria yang tengah berlari di taman. Menilik matanya begitu amat detail pada setiap inci ukiran tangan tuhan yang berbentuk lelaki tampan. Terpesona bahkan tak kunjung berkedip dirinya ketika memandangi Xander.Dia akui jika tubuh
Wanita cantik itu melenggang masuk ke dalam mansion. Menenteng tas mahal miliknya dan berjalan dengan elegan. Bunyi higheels setinggi tujuh inch nyaring terdengar menghentak lantai pun menggema pada mansion besar nan elite tersebut.Hari ini merupakan hari Rabu, jadwal untuk Tavel bertemu terapisnya. Leoni tidak ingin melewatkan untuk melihat pria itu melakukan pemeriksaan. Ada beberapa hal juga yang harus Leoni tanyakan pada terapis tersebut.Melangkah menuju kamarnya. Leoni melewati ruang tamu utama yang mana ada Xander di sana dengan beberapa rekan pria sedang mendiskusikan sesuatu. Leoni yakin jika beberapa pria itu merupakan rekan bisnis Xander. Bisa dilihat dari berkas-berkas yang tengah mereka pegang.Xander sedang menjelaskan sesuatu pada rekan bisnisnya saat atensinya tiba-tiba teralihkan pada Leoni yang melintas melewati ruang tamu menuju tangga. Wanita cantik itu hendak naik tentunya untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua.Ia menelan ludahnya kasar. “Tunggu sebenta
"Uhmm my Baby, faster Baby!"Wanita cantik tak berbusana memperlihatkan kulit tubuhnya yang putih mulus nan indah. Rambut legam terurai berantakan. Gerakanya naik turun di atas seorang pria yang dengan seductive memegangi pinggang sang wanita yang ramping.Pria tampan dengan wajah yang mendominasi itu mengetatkan rahangnya. Peluh menetes dari pelipisnya yang basah. Bibir seksi merahnya sedikit terbuka menahan sebuah desahan kenikmatan. Tanganya memegang erat pinggul ramping yang naik turun di atas tubuhnya, ikut menggerakan sesuai irama."Panggil namaku." Pria ini meminta."Xa—xander ahhh!"HAH!Telinga Leoni seperti berdengung. Kontan ia terjaga dari tidurnya. Keringat membasahi pelipis serta wajahnya. Pada cuaca yang sedingin itu dirinya berkeringat. Langsung ia beranjak mendudukan diri pun bersender pada kepala ranjang."Mimpi sialan!" Ia mengumpat seraya menyugar rambutnya ke belakang.Leoni menggigit bibir bawahnya. Melamun sesaat untuk menetralkan detak jantung yang berdegup san
"Ada apa dengan wajahmu?"Semua atensi merujuk pada Xander ketika Pero menanyakan akibat dari luka lebam pada bawah mata putranya. Pero dan Deliana telah kembali sepulang dari liburan mereka, pun kini satu keluarga itu tengah makan malam bersama-sama."Seorang wanita menolak dan juga memukulku," balas Xander. Wajahnya menunduk namun pandanganya tajam terangkat lurus tepat pada Leoni yang duduk di seberang kursinya. Wanita itu sedang memegang gelas berisikan jus orange miliknya."Haha. Siapa yang berani menolak putraku? Bawa wanita itu kesini biar kuberi dia hadiah," seloroh Pero diiringi tawanya yang khas.Sebab tidak ada di dalam riwayat pria di keluarga Miller yang akan ditolak oleh seorang wanita. Tidak anak-anaknya. Bahkan di masa lalu, Pero menjadi rebutan para wanita."Padahal sisa satu dorongan lagi dan semuanya akan dimulai. Tapi dia malah memukulku dengan botol alkohol," papar Xander. Santai ia memotong daging steak di dalam piringnya lalu ia masukan ke dalam mulut.Leoni ber
“Berhentilah menggangguku karena aku telah menghabiskan tiga gelas whisky yang kau janjikan itu,” tekan Leoni pada Xander.Jengah Leoni akan tingkah laku Xander yang terus mengganggunya. Lantas, setelah makan malam keduanya membuat perjanjian yang disepakati bersama. Xander meminta Leoni untuk meminum tiga gelas whisky dengan serentak, setelah itu ia berjanji tidak akan menganggu Leoni lagi.Telah Leoni habiskan juga tiga gelas whisky yang dijanjikan. Bangga ia tekankan pada Xander untuk tidak mengganggunya lagi. Lupakan semua kejadian yang telah berlalu pun tidak saling menuntut apapun pada satu sama lain.“Aku akan pergi,” ucap Leoni. Beranjak ia dari duduknya, namun seketika limbung tubuh wanita itu pun kontan terjatuh duduk kembali ke atas sofa.Sementara itu, Xander duduk dengan santai menyenderkan tubuhnya. Menyesap whisky bercampur es batu di dalam gelas. Tatapannya intens memicing memperhatikan Leoni, sudut bibirnya berkedut saat ia dapati Leoni yang tiba-tiba limbung dan jatu
“Errrgh!”Suara erangan keras kontan membuat mata Leoni terbuka sempurna, membulat dua mata yang tentunya memerah itu. Ia mengusak kedua matanya untuk menghilangkan buram pada pandangan.Menatap langit-langit ruangan pun lampu gantung yang berada di sana. Dapat Leoni ketahui di mana dirinya berada saat ini. Ruang istirahat yang masih berada di dalam ruang kerja di perusahaan.Dapat ia rasakan sesuatu melingkar pada perutnya. Lengan besar berotot milik seseorang tengah memeluknya dari belakang, spontan Leoni berbalik arah untuk melihat siapa orang tersebut.Damn Xander!Dirinya tidak memekik, hanya keterkejutan jelas kentara pada raut wajahnya. Ia menilik wajah Xander yang masih memejam pun sedetik kemudian pria itu membuka matanya dan tersenyum.“Morning, Babe.”Leoni menatapnya amat sangat intens. Seketika bayangan kejadian tadi malam memenuhi isi kepalanya yang mana ia telah berbuat vulgar pun terlalu jauh bersama adik iparnya itu. Dirinya mabuk dan kehilangan akal.Akan tetapi, Leo
“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat