Share

Chapter 5

"Kenapa kau begitu gugup? Tanganmu sampai berkeringat dan bergetar seperti itu," seloroh Theodore yang amat suka menganggu Leoni di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.

Anggun dan cantik penampilanya kini. Tubuh yang indah ramping namun tetap sintal seksi terbalut gaun pengantin putih yang menjuntai panjang pada lantai. Bagian dadanya cukup terbuka terbelah memperlihatkan atas dada yang cukup menonjol. Riasan make up tipis serta tatanan rambut yang rapi membuat penampilanya semakin memesona.

Pengantin wanita kita hari ini. Penampilanya yang telah amat sempurna bak bidadari tidak bisa menyembunyikan betapa murung wajah serta kekesalan hati di dalam dadanya. Faktanya, ia tetap menikah dengan pria yang sama sekali tidak ia cintai, bahkan suaminya kini adalah pria minus ibukota.

Leoni telah berjalan berdampingan bersama sang ayah yang mengantarkanya naik ke atas altar. Pengucapan janji suci pun telah dilangsungkan. Pada aula gedung besar nan mewah kini tengah dimeriahkan dengan pesta para orang-orang kaya sebagai tamu undangan di dalamnya. Sementara itu sang pengantin wanita justru mengurung berdiam diri di dalam ruang rias.

Theodore datang untuk meminta sang kakak pergi pada aula menyambut para tamu-tamu undangan yang turut hadir memeriahkan pesta. Namun, Leoni beralasan tidak enak badan.

"Menikah saja sudah cukup, tidak perlu memintaku untuk melakukan hal yang lainya," cetus Leoni seraya mengurut pangkal hidungnya yang pening.

Theodore menghela napasnya dalam-dalam. "Baiklah, jaga dirimu dan beristirahatlah. Aku tidak akan menganggumu lagi," balasnya.

Pria tampan yang berusia terpaut dua tahun lebih muda darinya itu melangkahkan kaki dengan lebar meninggalkan ruangan. Suara pintu yang tertutup membuat Leoni menghea napas lega. Setidaknya, tidak ada lagi orang yang menganggunya.

Duduk menyender pada sofa tunggal. Ia pejamkan matanya agar tidak berlanjut merasakan kepalanya yang pusing. Ketenangan membuatnya bisa sedikit merefleksikan diri dari ketegangan yang terjadi satu hari penuh ini.

Bibir sintal itu mendesah samar tatkala telinganya mendengar suara pintu ruangan yang kembali dibuka. Tanpa membuka mata dan melihat siapa yang datang Leoni tahu sebab sudah dipastikan jika itu anggota keluarganya yang datang membujuk Leoni agar mau pergi ke aula dan menyambut para tamu.

"Kukatakan dengan jelas, aku tidak mau—”

Membuka mata dengan sigap pun terkejut saat jemari telunjuk seseorang menempel tepat di bibirnya. Kontan membulat netra indah itu saat ia lihat siapa yang telah datang.

"My Baby, how are you today?"

Sudut bibir Leoni berkedut menilik malas pada pria yang berdiri di hadapanya. Cepat ia singkirkan tangan kotor pria itu dai mulutnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tekan Leoni hendak beranjak dari duduknya, namun dengan cepat bahunya ditekan kuat oleh Xander hingga Leoni kembali duduk.

Xander mencondongkan tubuhnya ke arah Leoni. Seringai tajam serta tatapan hangat penuh gairah itu terpancar pada wanita di hadapanya. Leoni akui jika tatapan tajam namun sayu seperti orang mabuk itu amat begitu menggoda.

"Bertindaklah sopan kepada kakak iparmu ini, Xander Francis Miller." Leoni menekankan ucapanya pada bagian nama Xander.

Pria itu terkekeh seraya menundukan kepalanya jatuh di hadapan Leoni. Sedetik kemudian, tatapanya kembali terangkat namun dengan posisi tetap menunduk.

"Kakak ipar, uh?"

Leoni memundurkan kepalanya hingga menekan senderan sofa saat Xander kian memajukan posisinya mendekat. Mengikis jarak hingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti saja. Sehingga dapat Leoni rasakan napas hangat serta wangi maskulin yang menguar dari tubuh pria tersebut.

"Ya, tentu saja kakak ipar. Sekarang aku adalah kakak iparmu," timpal Leoni.

"Tapi aku lebih suka memanggilmu 'sayang', My Baby." Xander membalas dengan nada suara bariton yang berat pun menggoda.

"CK." Leoni berdecak, memutar bola matanya malas. "Kau begitu menyebalkan. Menyingkirlah."

Didorong dada Xander hingga pria itu sedikit terhempas ke belakang. Lalu, Leoni berdirii dan mundur sedikit menjauh dari pria gila keluarga Miller tersebut.'

"Jangan mengacau di hari pernikahanku," tandas Leoni.

"Pernikahan? Kau bahkan tidak menginginkan pernikahan ini, Babe."

******

Berdiam berdiri di balik jendela besar kamarnya. Kini ia telah siap dengan pakaian tidur berbahan satin seksi berwarna hitam. Sengaja tak ia kenakan mantel agar bahunya yang ramping nan mulus terpampang jelas. Siapa yang akan menggodanya di dalam kamar pengantin, toh suaminya sendiri bahkan tidak akan mampu. Berani pun dengan terang-trangan ia kenakan pakaian seksinya.

Leoni mengabaikan suara pintu kamar yang terbuka. Ia tetap berada pada posisinya berdiri. Terdengar suara roda yang didorong membuat Leoni tenti saja tahu siapa yang datang mendekat.

Tangan kananya di sentuh lalu dikecup dengan hangat. Tavel Moore menyimpan pipinya yang dingin di atas punggung telapak tangan Leoni. Lantas Leoni menoleh menilik suami yang tidak diinginkannya itu dengan tatapan tajam.

"Lepaskan tangan kotormu itu, dan berhentilah membuat tindakan yang menjijikkan," cibirnya seraya menarik lengan dari genggaman Tavel.

"Ini adalah malam pertama kita." Tavel berbicara sembari mendongak menatap Leoni yang berdiri di hadapanya. "Kau sangat cantik, Istriku."

Sangat tidak tahu malu. Cibir Leoni dalam hati.

Sifat hidung belangnya itu telah menjadi bualan panas seantero Eropa, maybe. Setelah mendapatkan karma menjadi lumpuh dan impoten ia malah dengan tidak tahu malunya menggoda Leoni seperti itu.

"Aku memang cantik, seksi, dan menggoda. Tapi sayangnya, suamiku ini bukan orang yang mampu menghangatkan ranjang malam pertamaku," sindir Leoni.

"Apa kau sangat kecewa?"

"Tentu saja," tukasnya. "Tidak ada hal paling mengecewakan selain menikahi pria yang tidak berdaya sepertimu."

"Aku masih bisa menghangatkan ranjangmu, kau tenang saja."

"Dengan cara seperti apa? Menggunakan jarimu atau mambantuku menggerakan mainan?" timpal Leoni cepat. Sungguhlah saat ini emosinya sudah berada di atas awan.

Tavel terkekeh mendengar itu. Kekehannya hampir mirip dengan adiknya yang sama-sama gila itu. "Kenapa harus memakain cara seperti itu sementara aku masih mampu memuaskanmu dengan miliku?"

"Uh? Apakah itu masih berfungsi?"

"Tentu saja. Masih bisa berfungsi, berdiri dengan gagah perkasa. Kau cukup menggerakan pinggulmu di atasnya dan membuat dirimu nyaman."

Sesak amat sesak dada Leoni ketika mendengarnya. Sangat ingin ia tampar wajah menjengkelkan itu hingga ratusan kali. Namun, tidak mungkin jika dirinya membuat keributan di malam pertama.

Lantas, Leoni mengulas senyumannya. "Tentu saja, akan kulakukan," timpalnya. "Namun bukan pinggulku yang bergerak, melainkan pisau dapur."

Mendengkus kesal sebelum akhirnya ia menyambar mantel tidur lalu keluar dari ruangan. Meninggalkan pria gila yang berstatus sebagai suaminya itu sendirian. Tidak peduli dengan reputasinya sebab ia pergi di malam pengantin.

"Bedebah gila keluarga Miller memang tidak diragukan lagi," gerutunya seraya berjalan cepat menyusuri lorong. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan jika Tavel tidak tiba-tiba bisa berdiri lalu berlari mengejarnya.

Kontan Leoni menghentikan langkahnya saat tepat di depan dengan jarak beberapa langkah ada Xander yang juga tengah berjalan di lorong. Sunggingan tipis pria itu begitu jelas saat netranya menangkap sosok Leoni lantas segera ia berjalan mendekat.

"Hey Babe, kenapa kau berada di luar di malam pertamamu? Atau mungkin ... Kau sedang mencariku, uh? Ingin melakukan malam pertama denganku?"

Benar-benar sinting.

*

*

*

Bersambung ....

Jangan lupa berikan ulasan kalian.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suryani Putria
omegad...gila jg ini si Xander
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status