"Nya, kok di sini? Sudah makan?"Suara vokal Julia kontan membuat Pradnya yang saat ini tengah duduk di depan teras lantas menoleh. Baru saja Yudhistira melamar Julia. Acara setelah lamaran dilanjut dengan makan malam bersama."Eh, Mbak Julia." Pradnya tersenyum kecil. Matanya berbinar-binar begitu melihat Julia melangkah mendekatinya dengan balutan kebaya cantiknya."Sudah makan?"Pradnya mengangguk. "Sudah, Mbak. Mbak Julia kenapa ke sini?""Kamu sendiri ngapain di sini?" ujar Julia balik bertanya.Perempuan itu tersenyum, lalu melemparkan tatapannya ke depan. Samar-samar suara jangkrik terdengar dari kejauhan sana."Ngadem, Mbak. Tinggal di pedesaan gini enak kali, ya? Masih belum banyak polusi kayak di Jakarta. Udah gitu, yang didengerin bukan suara kendaraan, tapi suara jangkrik.""Iya, Nya. Kadang-kadang saya juga kangen suasana begini. Tapi mau gimana lagi, kerjaan di kota nggak bisa ditinggal gitu saja.""Iya, ya?" Pradnya tersenyum kecil. "Gimana rasanya habis dilamar, Mbak?
"Hai, Nona Cappuccino."Suara teguran seseorang kontan membuat Pradnya yang tadinya sibuk membersihkan mesin kopinya, lantas menoleh dengan cepat."Mas Satya?" Pradnya tampak terkejut dengan kehadiran pria itu di sana."Lagi sibuk, ya?"Pradnya menggeleng. "Nggak, kok Mas. Mau pesan kopi, ya?""Kamu dicari Mama.""Hah?" Pradnya tertegun, sebelum kemudian menolehkan wajah ke arah Satya. "Mama? Tante Shinta maksudnya? Ada apa, Mas?"Perempuan itu lantas menghentikan aktivitasnya, lalu berlari keluar dari area bar untuk menghampiri Satya yang tengah berdiri di dekat bar stool."Tante Shinta nyariin saya? Ada apa?" ujar Pradnya mengulangi pertanyaannya."Saya udah coba WhatsApp kamu, dan telepon kamu juga, tapi nomor kamu nggak aktif. Nah, jadi mau nggak mau saya harus ke sini nemuin kamu.""Ah, iya Mas. Hp saya kena jambret pas di Jogja tempo hari, dan belum sempat beli hp baru. Makanya nomor saya nggak aktif.""Kok bisa? Gimana kejadiannya?"Pradnya mengangkat bahu. "Ya begitu lah, Mas.
Tidak ada percakapan apapun sepanjang mobil Antasena melaju meninggalkan butik milik Disha. Setelah menyelesaikan urusannya, mereka memutuskan untuk pulang dan berlanjut menuju ke kediaman keluarga Antasena."Nggak apa-apa, kan kalau persiapan pernikahan kita diatur sama Mama? Sejauh ini cuma Mama yang antusias kalau itu menyangkut soal saya.""Tante Shinta kayaknya sayang sama kalian berdua, ya Mas?""Sama Satya juga?"Pradnya mengangguk."Iya. Anaknya cuma Mas Sena sama Mas Satya, kan?""Hm-mm.""Cuma… sifat kalian kenapa beda gitu, ya Mas?"Antasena mengernyit. "Berbeda gimana?""Kalau Mas Sena cenderung pendiam, dan mukanya serius. Sementara kalau Mas Satya itu lucu. Setiap kali saya ketemu sama dia, saya sering dibikin ketawa, coba. Pokoknya ada aja yang bisa bikin saya ketawa kalau sama Mas Satya. Padahal saya dengar dia ini CEO di ND Entertainment, kan?""Iya.""Nggak kelihatan kalau dia tuh seorang pimpinan. Nah, berkebalikan dengan Mas Sena yang susah senyum. Mukanya serius ba
"Pa, cobain cookies buatan Mama, dong. Tadi sore Mama sama Anya bikin cookies ini, lho. Kalau kata Satya, sih enak. Sena nggak komentar apa-apa. Sekarang giliran Papa cicipin dong."Shinta mengangsurkan sebuah toples ke arah Rama. Mau tidak mau senyum Pradnya mengembang di wajahnya. "Tapi banyakan buatan Anya dibanding buatan Mama, kan?"Shinta mencebikkan bibir. "Astaga, Pa. Sekali saja, Papa muji Mama gitu nggak bisa, ya?" gerutu perempuan paruh baya itu, lalu dia menoleh ke arah Pradnya. "Papanya Sena sama Sena itu sebelas dua belas, Nya. Susah banget sesekali bohong. Dari dulu Sena memang nggak begitu suka manis, Nya. Jadinya dia nggak tahu gimana caranya muji cookies buatan kita.""Siapa bilang nggak suka? Aku suka, kok Ma. Asal cookies buatan Mama sama Anya, mau semanis apapun, bakalan aku makan.""Gombal banget, sih Bang," cibir Satya. "Bukan lo banget tahu, nggak."Antasena mengedikkan bahu. "Setidaknya gue mau usaha biar nggak jadi cowok kaku lagi."Dan sedetik kemudian, ham
"Bulan depan, gue nikah sama Anya."Suara Antasena kontan membuat membuat keempat sahabatnya menoleh. Sore itu, mereka tengah berkumpul di kediaman Mahesa. Hari ini adalah acara aqiqahannya Kanaka dan Kanaya, dan mereka baru sempat datang sore itu."ANJAY! Gercep amat lo, Babi!""Lo udah yakin, Sen?""Emang bangsat, gue yang udah pengen kawin, dia duluan dong, yang nikah!" sambar Yudhistira tak terima.Antasena mengangguk dengan tenang. Tatapannya kini tertuju pada secangkir kopi yang ada di tangannya, lalu mengembuskan napasnya dengan perlahan."Gue nggak tahu ke mana arah hubungan gue dengan Anya setelah ini. Tapi yang jelas… setidaknya gue bisa memanfaatkan Anya untuk bisa menjauh dari Priya.""Gue setuju kalau lo mau menjauhkan diri dari si Nenek Lampir. Tapi kalau soal lo yang mau memanfaatkan Anya, gue nggak setuju, Nyet. Terlepas dari uang, Anya terlalu baik nggak, sih kalau cuma dimanfaatkan gitu saja? Mending lo sewa jalang sekalian.""Udah telanjur basah, B. Gue sama sekali
"Cantik banget, Mbak. Mau ke mana?" tanya Pramitha yang saat ini tengah duduk di ruang tamu, sibuk mengerjakan tugas sekolahnya."Mau pergi nonton sama Mas Sena, Ta. Ayah di mana?""Ada di teras belakang tadi. Barusan aku bikinin teh, terus aku balik ke sini.""Ya udah, aku nemuin Ayah dulu, ya."Perempuan itu melangkah menuju teras belakang rumah untuk menemui Donny. Sang ayah yang tengah duduk termenung di atas kursi roda itu, tiba-tiba saja membuat langkah Pradnya terhenti.Ada perasaan khawatir yang mendadak menghantam dadanya. Perasaan takut sekaligus penasaran dengan apa yang saat ini tengah dipikirkan Donny di sana."Yah…"Suara teguran Pradnya kontan membuat pria paruh baya itu menoleh. Meskipun usianya masih terbilang belum memasuki usia senja, tapi kondisi kesehatannya yang kurang baik membuat pria itu terlihat lemah."Nya…""Ayah lagi mikirin apa?" tanya perempuan itu tiba-tiba.Perempuan itu melangkah mendekati Donny, lalu duduk di salah kursi di sebelah ayahnya."Nggak ad
"SAH!""Alhamdulillah."Semua orang merasakan haru begitu kalimat sakral itu diucapkan Antasena di hadapan penghulu dan beberapa saksi.Ada Kakek Sandiaga, Ayah, Papa, Mama, Pramitha, dan anggota keluarga lainnya. Tak lupa juga sahabat-sahabat mereka. Tepat hari ini Antasena dan Pradnya resmi menjadi suami istri.Dengan balutan kebaya putih yang menjuntai ke bawah sampai menyentuh lantai, dan riasan sederhana di wajahnya, Pradnya terlihat begitu cantik dan memesona."Titip Anya, ya Nak Sena. Ayah nggak tahu harus mengatakan apa untuk kalian berdua. Tapi doa terbaik untuk kehidupan kalian di masa mendatang. Bahagia selama-lamanya ya, Nya. Baktimu sekarang ada pada suami. Jangan jadi istri yang pembangkang, dan mesti nurut sama apa kata suami.""Iya, Yah." Pradnya mengusap sudut matanya yang hampir saja kembali menangis. Meskipun hanya sandiwara, nyatanya perempuan itu tidak mampu menutupi perasaan harunya."Anya…""Tan—em, maksudnya, Mama…"Shinta berhambur memeluk Pradnya. "Selamat d
PRADNYA menggeliat di atas tempat tidurnya. Alarm ponselnya yang menyala-nyala membuat perempuan itu lantas mengerjapkan mata.Pradnya lantas membalikkan badan, meraih ponselnya yang berada di atas nakas, kemudian mematikannya. Dia kemudian menoleh ke samping. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Antasena di sana.Seharusnya Pradnya menuruti ucapan pria itu. Tidak menghabiskan waktu semalaman hanya untuk mengharapkan tiba-tiba Antasena kembali ke kamar mereka.Bukankah Antasena sudah memintanya untuk tidak menunggu? Yang bodohnya perempuan itu tetap menunggunya.Menghela napas panjang, Pradnya mengubah posisinya menjadi duduk. Dia melirik ke arah ponselnya, bahkan tidak ada pesan apapun dari pria itu."Astaga, Nya. Kamu berharap apa, sih?" Bukankah perempuan itu tidak seharusnya bersikap seolah-olah semua ini nyata? Seharusnya Pradnya tahu jika semua ini sandiwara. Anehnya, dia merasa tak senang saat mendengar pria itu pergi bersama kekasihnya."Wajar, kan kalau Mas Sena ketemu sama Mbak
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe