PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
"More faster, Sen," desis Priya saat berada di bawah sana. Antasena semakin mempercepat gerakannya, mendesakkan tubuhnya semakin dalam. Membuat Priya menjeritkan namanya berulang-ulang. "I love you, Ya. I love you." Lalu dalam sekali sentakan, Antasena sudah meledak di dalam sana. Masih dengan napasnya yang terengah-engah, Antasena menarik diri. Dia turun dari tempat tidurnya untuk melepaskan pengaman yang sempat dikenakannya tadi, lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak berselang lama pria itu sudah kembali. Naik ke atas ranjang, lalu menarik Priya ke dalam pelukannya. Untuk selama beberapa saat, ada keheningan yang mengambil alih. Bukankah seharusnya Antasena merasa lega? Namun saat pikirannya sibuk memikirkan banyak hal, pria itu justru terlihat kalut. “Kamu harus segera menikah, Sen. Kamu tahu beban yang Kakek Sandiaga limpahkan ke Papa kamu, bukan tanggung jawab yang bisa digampangkan.” “Ma…” “Kamu tahu kalau Kakekmu nggak pernah main-main, kan? Kakek hanya ingin ada orang
ANTASENA mengayunkan langkahnya melewati ruang tamu kediaman orang tuanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang ada di sana, lalu pria itu melangkah ke dalam dan melihat ibunya tengah termenung di taman belakang."Ma…"Shinta yang tadinya sibuk tenggelam dalam lamunannya, lantas menoleh. Perempuan itu menerbitkan senyumannya, lalu bangkit saat melihat Antasena. Tangannya meletakkan secangkir teh yang tadinya ada di atas pangkuannya, kemudian mendekati putra sulungnya."Mama lagi ngapain sendirian di sini?"Shinta tak langsung menjawab. Perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain kepada Antasena. "Kamu baru pulang dari kantor?""Iya, Ma.""Udah makan belum? Mau temenin Mama makan malam, Sayang?"Antasena tidak menjawab. Shinta lantas menggandeng putra sulungnya itu, mengajak pria itu menuju ruang makan. Ada beberapa hidangan yang sudah tersaji di atas meja."Satya sama Papa ke mana, Ma?""Mereka pergi ke acara gala dinner kolega bisnisnya Papa," jawab Shinta sembari mengangsurkan piri
"Nya?""ANYA!"Suara teguran Lyra sontak membuat Pradnya yang sejak tadi sibuk melamun, lantas mengerjap.Perempuan itu lantas menoleh, lalu terkejut saat mendapati seorang pelanggan sudah berdiri di hadapannya."Eh, maaf, Mas. Mau pesan apa?" tanya Pradnya diiringi dengan senyuman."Saya mau pesan hot americano satu.""Ada tambahan lagi, Mas? Kali aja mau ditambah croissant-nya? Ada rasa keju atau rasa coklat. Mumpung lagi promo?""Nggak, Mbak. Itu saja.""Oke. Jadi totalnya lima puluh ribu."Pria itu lantas menjulurkan selembar seratus ribuan ke arah Pradnya. "Mohon ditunggu, ya Mas. Pesanannya nanti saya antar.""Thank you, Anya," ujarnya sembari mengedipkan satu matanya ke arah Pradnya, yang dibalasnya dengan senyuman.Pradnya bergerak mendekati mesin kopi, lalu mulai membuatkan pesanan dari pelanggannya itu."Lagi mikirin apa, sih Nya?""Tau, nih Ra." Pradnya menekan tombol pada mesin kopinya sambil bersungut-sungut. "Bentar, aku anterin pesanan ini dulu, ya."Lyra mengangguk, me
"Lo kencan sama cewek siapa lagi, Sen? Udah putus sama Priya?"Suara Yudhistira sontak membuat Antasena yang hampir saja menjangkau mobilnya, lantas menghentikan langkahnya, lalu menoleh."Rumit, D. Nyokap gue udah ngejar-ngejar gue buat nikah, sementara Priya nggak mau diajak nikah.""Alasannya?"Antasena mengedikkan bahu. "Kayak nggak tahu dia gimana aja, sih D? Gue bertahun-tahun backstreet sama dia, udah hafal gimana kelakuannya. Apalagi dia supermodel yang baru naik daun sekarang, dia nggak mau pernikahan ini menghancurkan karirnya.""Terus cewek yang mau lo temuin ini? Bukan Priya?" tanya Yudhistira memastikan.Antasena menggeleng. "Cewek yang diminta Priya untuk menggantikan posisinya di sisi gue, selagi dia fokus sama karirnya.""Fuck! Priya sejak dulu emang gila, ya? Tapi lo lebih gila karena jatuh cinta sama cewek ajaib macam dia.""Udah males gue, D. Sayangnya aja gue cinta sama dia. Gue jalan dulu." Antasena menoleh ke arah Julia. "Jul, duluan.""Hati-hati, Pak."Antasena
"Heh, Babi. Mau ke mana lo jam segini udah balik kanan?"Suara vokal Bayusuta membuat Antasena yang tadinya fokus dengan ponselnya, lantas membuat langkahnya terhenti, lalu menoleh ke belakang."Gue ada acara keluarga," jawab Antasena saat melihat Bayusuta berjalan menghampirinya."Kayak udah berkeluarga aja lo, sok-sokan! Kemarin jadi ketemu sama cewek itu?""Hm-mm."Pria itu seketika membelalak. "Serius?""Iya. Tadinya ragu, cuma gue benar-benar butuh bantuan dia.""Sialan! Lo embat juga jadinya. Cakep, nggak?""Otak lo isinya selangkangan doang, Njing. Kambing digincuin juga lo bilang cantik.""Bacot lo ah! Cantik, nggak?" desak Bayusuta dengan cepat. "Percuma kalau nggak cakep, gue punya koleksi banyak dan goyangannya mantap. Kali aja lo butuh yang—""No thank you. Gue nggak segila lo, by the way." Sementara Bayusuta hanya tergelak mendengar ucapan Antasena. "Gue balik dulu.""Oke, hati-hati, Nyet."Antasena mengacungkan tangannya ke udara, dan bergegas meninggalkan gedung Diamond
[Mama: Jangan lupa nanti malam, Sen. Mama tunggu di rumahnya Kakek.]Antasena menghela napas panjang begitu membaca pesan dari ibunya. Pria itu menyimpan kembali ponselnya, enggan membalas pesan dari Shinta. Bersamaan dengan suara pintu yang dibuka seseorang, membuat Antasena lantas membalikkan badan, kemudian tertegun.Jeda selama beberapa saat Antasena terdiam. Tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang saat ini tengah berdiri di samping Disha. Langkahnya agak sedikit terseok lantaran Pradnya tidak terbiasa mengenakan high heels. "Gimana, Mas?"Suara Dhisa kontan membuat Antasena mengerjap dengan cepat. Pria itu lantas bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati mereka.“Seperti yang Mas minta tadi, saya hanya memberikan polesan natural di wajahnya. Dan sedikit menata rambutnya biar sedikit rapi saja. Saya juga menambahkan anting buat dia. Kalau menurut saya, sih nggak berlebihan, ya? Mas Sena gimana?”Pradnya menundukkan wajahnya, memindai penampilannya yang sedikit aneh menurutnya
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe