[Mama: Jangan lupa nanti malam, Sen. Mama tunggu di rumahnya Kakek.]
Antasena menghela napas panjang begitu membaca pesan dari ibunya. Pria itu menyimpan kembali ponselnya, enggan membalas pesan dari Shinta. Bersamaan dengan suara pintu yang dibuka seseorang, membuat Antasena lantas membalikkan badan, kemudian tertegun. Jeda selama beberapa saat Antasena terdiam. Tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang saat ini tengah berdiri di samping Disha. Langkahnya agak sedikit terseok lantaran Pradnya tidak terbiasa mengenakan high heels. "Gimana, Mas?" Suara Dhisa kontan membuat Antasena mengerjap dengan cepat. Pria itu lantas bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati mereka. “Seperti yang Mas minta tadi, saya hanya memberikan polesan natural di wajahnya. Dan sedikit menata rambutnya biar sedikit rapi saja. Saya juga menambahkan anting buat dia. Kalau menurut saya, sih nggak berlebihan, ya? Mas Sena gimana?” Pradnya menundukkan wajahnya, memindai penampilannya yang sedikit aneh menurutnya. "Apa ini nggak terlalu berlebihan, Mbak, Mas? Saya yakin kalau penampilan saya sekarang… aneh," ujarnya sembari mengutarakan apa yang menjadi kekhawatirannya sekarang. "Kamu cantik, Mbak Anya. Mungkin karena Mbak belum terbiasa aja." Disha lalu menoleh ke arah Antasena. "Bukan begitu, Mas?" "Iya." Pradnya menggigit bibirnya, bahkan dia tak memiliki keberanian untuk menatap Antasena yang sejak tadi bersikap dingin terhadapnya. Setelah menyelesaikan segala urusannya di butik milik Disha. Antasena mengajak Pradnya untuk segera bergegas. Kedua tangan pria itu kini membawa banyak paper bag dalam jumlah yang cukup banyak. Pradnya tidak tahu apa yang dibawa oleh pria itu, meskipun penasaran, perempuan itu memilih untuk urung bertanya. "Mas, mau saya bantu bawa?" tawar Pradnya saat itu. "Nggak usah, Anya. Setelah ini kita mampir ke apartemen saya dulu, ya?" Tanpa mengatakan apa-apa lagi, keduanya lantas masuk ke dalam mobil. Dengan balutan dress dan high heels yang tentu saja harganya mahal, Pradnya merasa tak cukup percaya diri. "Kenapa Anya?" tanya Antasena menyadari kegusaran perempuan itu. "Ng… nggak, Mas. Saya hanya merasa kurang nyaman saja pakai baju begini." "Kamu cantik.” Mendengar pujian itu, Pradnya lantas menunduk dalam-dalam. Wajahnya pasti sudah merona sekarang. Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya Antasena tiba di basement apartemennya. Setelah mobilnya terparkir dengan sempurna, pria itu mengajak Pradnya untuk turun. Keduanya melangkah menyusuri koridor dengan tanpa suara. Suasana petang itu terlihat sunyi dan senyap. Pun begitu dengan Pradnya yang memilih untuk diam. "Saya mau mandi sebentar," ujar Antasena saat itu. "Baru setelah itu, kita akan pergi ke rumah kakek saya." Pradnya mengangguk. Begitu mereka tiba di depan unitnya, Antasena menekan kombinasi angka apartemennya. Pria itu mendorong pintunya, membiarkan Pradnya masuk lebih dulu, baru kemudian diikuti perempuan itu di belakangnya. "Kamu pengen minum apa? Ada minuman dingin di lemari pendingin. Atau kalau kamu pengen kopi atau teh, ada di mesin kopi di sana," ujar Antasena menunjuk salah satu coffee machine di sana. "Iya, Mas. Makasih banyak." "Kalau gitu kamu tunggu di sofa sana, ya. Saya mandi sebentar." Pradnya mengangguk kecil. Perempuan itu berjalan menuju sofa, sementara Antasena menghilang dari balik pintu kamarnya. Sepanjang Antasena bersiap-siap, Pradnya yang selama ini jarang sekali menggunakan high heels, memilih untuk melatih langkahnya agar terbiasa. Perempuan itu berjalan mondar-mandir ke sana ke mari. Pradnya bisa melihat pantulan dirinya dari balik dinding kaca apartemen milik Antasena. Perempuan itu menerbitkan senyuman, tidak menyangka jika dia akan berubah menjadi cantik bak bidadari. Diam-diam dari kejauhan Antasena memperhatikannya dari balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Senyum kecil terukir di wajah pria itu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berganti pakaian untuk segera bersiap-siap. Tiga puluh menit lamanya, Antasena kemudian melangkah keluar dari kamar. Pradnya yang terkejut cepat-cepat menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan. Gerakannya yang terlalu terburu-buru, membuat tubuh perempuan itu oleng. Hampir saja Pradnya terjatuh, jika Antasena tidak segera menangkapnya. Tatapan keduanya bertumbukan selama beberapa detik. Jantung Pradnya berdebar kencang, terlebih saat perempuan itu mencium aroma wangi yang menguar dari tubuh Antasena. Sampai akhirnya Pradnya yang sudah lebih dulu melepaskan diri. "Maaf, Mas." Secepat itu pula perempuan itu menundukkan wajahnya, menghindar dari tatapan Antasena. Pria itu terlihat begitu tampan dengan balutan jas hitamnya. Membuat Pradnya yang sejak tadi dibuat takjub olehnya, memilih untuk segera memalingkan wajahnya. "Hati-hati, Anya." "Iya, Mas. Maaf. Saya nggak terbiasa pakai high heels soalnya. Saya perlu latihan biar nggak bikin malu Mas Sena,” aku perempuan itu dengan suara lirih. "Apa perlu kamu mengganti sepatu yang biasa?" Pradnya menggigit bibirnya. "Boleh? Eh, tapi saya adanya sepatu kets, mana masuk pakai dress mahal gini?" "Well, kalau begitu kamu boleh menggandeng tangan saya biar nggak jatuh." "Hm?" Pradnya sedikit terperangah. "Boleh?" Antasena menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, Nya. Kamu adalah calon istri saya, kalau kamu lupa. Saya membawa kamu malam ini untuk diperkenalkan di keluarga besar saya. Intinya, kamu cukup mengikuti apa yang saya kasih tahu kamu semalam saja." "Iya." "Kalau gitu kita berangkat sekarang?" Pradnya mengangguk. "Iya, Mas." Antasena lantas menjulurkan tangannya ke depan. Meminta Pradnya melingkarkan tangannya di lengan pria itu, dan langsung bergegas mengajak perempuan itu meninggalkan apartemennya detik itu juga. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Kakek Sandiaga Nanditama, tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Antasena fokus dengan kemudinya, sementara Pradnya mencoba menghilangkan rasa gugupnya. Saat perempuan itu tenggelam dalam pikirannya, ponsel milik Antasena yang bergetar sejenak mengalihkan perhatian Pradnya. Perempuan itu menolehkan wajah, bersamaan dengan suara Antasena yang terdengar. "Halo, Ya?" "Hai, Babe. Lagi di mana? Jadi pergi makan malam sama keluarga kamu?" "Jadi. Aku lagi di jalan ini. Sama… Anya." "Enjoy your dinner, Sayang. Sebentar lagi aku mulai take a photo. Aku telepon cuma memastikan saja, nanti aku telpon lagi, ya?" "Iya." "I love you, Sayang." Setelah mengakhiri panggilannya dengan Priya, Sena melepaskan earphone yang melekat di telinganya. Kembali fokus dengan kemudinya, pun begitu dengan Pradnya memilih untuk diam. Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Antasena membelokkan mobilnya menuju ke sebuah rumah mewah yang ada di pinggiran Jakarta. Pradnya mengedarkan matanya ke sekitar. Tampak takjub dengan apa yang dilihatnya sekarang. Rasa gugup yang kini kembali menguasainya, membuat nyali perempuan itu seketika menciut. Jajaran mobil berpajak berjajar tepat di halaman rumah. Antasena sempat heran, namun memilih untuk tidak mengacuhkannya. "Yuk, turun." Pradnya menelan ludahnya, lalu menoleh ke arah Antasena. "Mas… yakin?" "Kenapa, Nya?" "Saya… gugup, Mas." "Ada saya, Anya. Jangan jauh-jauh dari saya, okay?” Keduanya memutuskan untuk turun dari mobil. Antasena yang lebih dulu mendekati Pradnya. Pria itu lantas menjulurkan tangannya ke depan agar bisa menggandeng perempuan itu. Dengan rasa gugup yang melambung tinggi, akhirnya Pradnya memberanikan dirinya untuk melangkah. "Kalau kamu gugup, atur napas dengan baik, Anya. Tarik napas beberapa detik, lalu embuskan perlahan sembari menutup mata." Pradnya bahkan tidak sadar bahwa Antasena memperhatikannya. "Iy-ya, Mas." Keduanya tiba di sebuah taman yang cukup luas, tepat berada di samping bangunan utama. Gemerlap cahaya lampu di langit-langit taman terlihat begitu menakjubkan, ditambah lagi dengan lantunan saxophone yang mengisi keheningan di sana. "SENA!" Suara seseorang yang memanggil namanya, membuat Antasena lantas menerbitkan senyumannya. Pria itu lantas mengajak Pradnya untuk mendekati salah satu keluarga kakeknya, lalu tersenyum. "Halo, Om, Tante. Apa kabar?" sapa Antasena begitu berdiri di hadapan mereka. "Waw, Sen? Gandengan baru?" Antasena menoleh ke arah Pradnya. "Kenalkan, Om, Tante. Dia Anya, calon istri saya." Kedua orang yang ada di hadapannya, kontan membelalak. "Wah, saya Tomi dan ini istri saya, Kania." "Perkenalkan saya Anya, Om." Pradnya lantas menoleh ke arah Kania. "Senang bertemu dengan Om dan Tante." "Mama kamu bilang, kamu pacaran sama Priya Zaneeta, Sen?" tembak Om Tomi secara blak-blakan. "Cuma gosip saja, Om,” jawab pria itu dengan tenang. “Saya sejak tadi nyari Mama sama Papa. Om Tomi melihat mereka?" Namun belum Tomi menjawabnya. Suara vokal seseorang yang memanggil namanya, membuat mereka menoleh dengan cepat. "Sena!" Antasena dan Pradnya lantas membalikkan badan, seorang perempuan paruh baya dengan balutan dress gelapnya berdiri tak jauh dari mereka. "Itu Mama saya," bisik Antasena tepat di samping wajah Pradnya. Antasena menggandeng Pradnya berjalan mendekati Shinta. Sementara perempuan itu dengan susah payah meredam rasa gugupnya sekarang. "Ma…" Antasena terpaksa meninggalkan tangan Pradnya untuk memeluk ibunya. "Apa kabar?" “Baik, Sayang. Gimana sama kamu?” “Baik juga, Ma. Papa mana?” tanya Antasena dengan tenang. "Papa lagi di dalam sama Kakek. Kamu…" Tatapan Shinta teralihkan ke arah Pradnya yang berdiri kaku di tempatnya. "Ma, kenalkan dia… Anya. Pacar Sena sekarang." Pradnya memaksakan dirinya untuk tersenyum. Lalu melangkah ke depan dengan sedikit membungkukkan kepala sembari menjulurkan tangan ke arah Shinta. "Saya Anya, Tante. Senang akhirnya bisa ketemu sama Tante." "Saya Shinta, mamanya Sena." "Alasanku kenapa aku nggak bisa bawa Priya lagi, karena aku udah sama Anya, Ma. Aku perlu bicara sama Anya soal permintaan Mama. Tapi sebelum melangkah ke jenjang itu, aku pengen Mama kenal sosok perempuan sederhana pilihanku ini." “Kita bicara lagi nanti, ya? Sebaiknya kamu menyapa Kakek dulu.” Antasena menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma.” Baru saja mereka hendak melangkah menghampiri Kakek Sandiaga dan Rama yang tengah berbincang sana, suara seseorang membuat ketiganya menoleh bersamaan. "Ma, Papa manggil tuh. Ada—" Ucapan pria itu menggantung di udara saat tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang tak asing. "Nona Cappuccino?" *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya."Nona Cappuccino?"Pradnya membelalakkan matanya, lalu menoleh ke arah Antasena yang kini menatapnya."Kamu… di sini?" tanyanya saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari perempuan itu."Hai, Mas Satya. Apa kabar?" tanya Pradnya dengan gugup."Anya kenal sama Satya juga?"Pradnya menoleh ke arah Shinta, lalu mengangguk. "Iy-ya, Tante. Saya sempat ketemu sama Mas Satya sebelumnya.""Mama mau ke dalam nemuin Kakek sama Papa? Sekalian aku mau ngenalin Anya sama mereka," sahut Antasena dengan cepat."Jadi… Nona Cappuccino ini cewek baru lo, Bang?""Hm-mm. Lebih tepatnya calon istri gue," ujar Antasena meralat ucapan adiknya."Wah, apa selama ini gue nggak ada di bumi, ya? Dari supermodel terkenal, kini selera lo menurun drastis. Bukan karena Nona Cappuccino ini nggak pantas buat lo, sih. Lebih tepatnya dia terlalu lugu untuk masuk dalam daftar cewek selera lo.""Lo nggak kenal dekat gue sayangnya, Sat. Jadi kalau lo nggak tahu apa-apa soal gue, mending lo nggak usah bicara.""Hebat sekali,
"Jadi… kamu beneran pacarnya Abang saya, ya?"Suara vokal Satya kontan membuat Pradnya yang tadinya tengah sibuk melahap udang dan cuminya, lantas menoleh.Perempuan itu menarik tissue yang ada di atas meja untuk mengusap mulutnya, lalu mengerjap."Mas Satya…""Kamu terlihat sangat berbeda, Nona.""Panggil saya Anya saja, Mas," ujar Pradnya dengan sungkan."Well, Anya. Saya nggak nyangka kalau dunia akan sesempit ini. Saya nggak tahu kalau kamu bisa kenal sama Bang Sena."Pradnya yang tampak kebingungan menjawabnya, lantas mengangguk. "Saya juga nggak menyangka, Mas.""Sejak kapan kamu kenal Bang Sena, Nya? Setahu saya… dia dulu pacaran sama Priya?""Sekitar enam bulan belakangan ini, Mas. Tapi kalau soal Mas Sena dengan Mbak Priya, saya nggak tahu menahu."Satya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menyantap sate udang yang baru saja selesai dipanggang di sana. "Padahal baru besok saya rencananya mampir ke kafe kamu, Nya. Saya pengen minum americano buatan kamu lagi," kata pria it
"Ayah, habis selesai cuci darah nanti Anya pengen ngomong?"Tatapan Donny tertoleh ke arah putri sulungnya. "Ada apa, Sayang?""Nanti saja. Sekarang Ayah aku antar ke dalam, ya. Aku tunggu di depan kayak biasanya."Donny tak lagi bertanya. Menuruti perkataan Pradnya, keduanya melangkah menuju ke sebuah ruangan di mana ada seorang perawat yang telah menunggu mereka di sana."Tolong ya, Sus.""Baik, Mbak Anya," balas sang suster yang telah mengenal baik Pradnya.Donny digandeng oleh seorang perawat memasuki sebuah ruangan, sementara Pradnya menunggu di taman seperti biasanya.Hemodialisis biasanya memakan waktu kurang lebih tiga sampai empat jam. Biasanya Pradnya menghabiskan waktunya di taman rumah sakit. Hanya duduk termenung, tanpa ingin melakukan apa-apa di sana. Atau sesekali perempuan itu menghabiskan waktunya dengan berbincang dengan pasien rumah sakit yang kebetulan berada di taman.Pradnya menghela napas panjang. Semenjak dia memutuskan untuk menjadi istri pura-pura Antasena, p
"Halo, Ya? Ada apa?""Kamu jadi ke Jogja malam ini?" tanya Priya dari seberang sana."Iya," jawab Antasena dengan singkat."Sama Anya?""Hm-mm."Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Kenapa harus ngajak Anya? Bukannya dia harus kerja?""Dia calon istriku kalau kamu lupa," ralat Antasena dengan tatapannya fokus ke depan."Calon istri pura-pura lebih tepatnya," ralat Priya dari seberang sana."Kenapa? Kamu menyesal karena telah menyodorkan Anya untuk aku jadikan istri?""Sen… well, okay. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Tapi ingat sama janji kamu, kan? Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia!"Antasena menghela napas panjang. "Apa menurutmu dengan mengajakmu menikah, itu artinya aku nggak sayang sama kamu?"Sementara Priya tidak menjawab dari seberang sana."Aku lagi di jalan. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di sana."Tanpa menunggu jawaban dari Priya di seberang sana, Antasena sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya.Pria itu lantas membelokkan mobilnya menuju k
"Udah sampai, Mas?" tanya Pradnya begitu mobil mereka berhenti di sebuah hotel berbintang lima."Udah. Yuk, turun."Pradnya menganggukkan kepalanya, lalu turun dari mobil mengekori Antasena dan yang lainnya yang sudah masuk melalui lobi. Koper miliknya sudah lebih dulu dibawa pria itu.“Gue mau buka kamar satu lagi, Nyet,” ujar Antasena saat menerima sebuah keycard dari Bayusuta.“Fully booked, Sen. Kalau lo nggak percaya lo tanya ke resepsionis, gih! Salah siapa lo nggak bilang sama Julia? Dia ternyata cuma pesan tiga kamar doang.”Lalu Antasena menoleh ke arah Julia, seolah membutuhkan penjelasan.“Maaf, Pak. Tadinya mau dipesenin lagi, tapi udah fully booked. Bapak sih bilangnya mendadak kayak tahu bulat.”“Ya sudah nggak apa-apa, Jul.”“Kalau lo nggak mau sekamar sama Anya, mending lo tidur di kamar mandi, Anya yang di kasur!” kelakar Bayusuta dengan entengnya.“Berisik lo!” desis Antasena kesal, pria itu lantas berjalan mendekati Pradnya. “Kamarnya sudah fully booked, Nya. Nggak
"Nya, mau ke mana?" tanya Antasena saat melihat perempuan itu sudah rapi.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap. Setelah mengobrol panjang lebar, hingga Pradnya menceritakan masa kecilnya yang takut dengan anjing sampai sekarang. Keduanya memutuskan untuk tidur."Eh, Mas Sena udah bangun?"Antasena lantas mengubah posisinya menjadi duduk. Masih dengan wajahnya yang mengantuk, pria itu mengerjapkan matanya."Mau ke mana?" ujar pria itu mengulangi pertanyaannya."Semalam saya bilang sama Mas Sena mau ketemu sama Bunda Nania, kan? Mas lupa, ya?""Ah iya." Antasena mengurut keningnya, "saya anterin, ya?""Ng… nggak usah, Mas. Saya bisa pergi sendiri, kok.""Saya sudah janji sama ayah kamu buat jagain kamu, Anya. Saya mandi sebentar, ya." Antasena lantas bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi dengan tidak mengacuhkan Pradnya yang hendak memprotesnya.Mau tidak mau perempuan itu menunggunya. Lima belas menit setelahnya, Antasena sudah keluar
"Nya, kok di sini? Sudah makan?"Suara vokal Julia kontan membuat Pradnya yang saat ini tengah duduk di depan teras lantas menoleh. Baru saja Yudhistira melamar Julia. Acara setelah lamaran dilanjut dengan makan malam bersama."Eh, Mbak Julia." Pradnya tersenyum kecil. Matanya berbinar-binar begitu melihat Julia melangkah mendekatinya dengan balutan kebaya cantiknya."Sudah makan?"Pradnya mengangguk. "Sudah, Mbak. Mbak Julia kenapa ke sini?""Kamu sendiri ngapain di sini?" ujar Julia balik bertanya.Perempuan itu tersenyum, lalu melemparkan tatapannya ke depan. Samar-samar suara jangkrik terdengar dari kejauhan sana."Ngadem, Mbak. Tinggal di pedesaan gini enak kali, ya? Masih belum banyak polusi kayak di Jakarta. Udah gitu, yang didengerin bukan suara kendaraan, tapi suara jangkrik.""Iya, Nya. Kadang-kadang saya juga kangen suasana begini. Tapi mau gimana lagi, kerjaan di kota nggak bisa ditinggal gitu saja.""Iya, ya?" Pradnya tersenyum kecil. "Gimana rasanya habis dilamar, Mbak?
"Hai, Nona Cappuccino."Suara teguran seseorang kontan membuat Pradnya yang tadinya sibuk membersihkan mesin kopinya, lantas menoleh dengan cepat."Mas Satya?" Pradnya tampak terkejut dengan kehadiran pria itu di sana."Lagi sibuk, ya?"Pradnya menggeleng. "Nggak, kok Mas. Mau pesan kopi, ya?""Kamu dicari Mama.""Hah?" Pradnya tertegun, sebelum kemudian menolehkan wajah ke arah Satya. "Mama? Tante Shinta maksudnya? Ada apa, Mas?"Perempuan itu lantas menghentikan aktivitasnya, lalu berlari keluar dari area bar untuk menghampiri Satya yang tengah berdiri di dekat bar stool."Tante Shinta nyariin saya? Ada apa?" ujar Pradnya mengulangi pertanyaannya."Saya udah coba WhatsApp kamu, dan telepon kamu juga, tapi nomor kamu nggak aktif. Nah, jadi mau nggak mau saya harus ke sini nemuin kamu.""Ah, iya Mas. Hp saya kena jambret pas di Jogja tempo hari, dan belum sempat beli hp baru. Makanya nomor saya nggak aktif.""Kok bisa? Gimana kejadiannya?"Pradnya mengangkat bahu. "Ya begitu lah, Mas.
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe