"Jadi… kamu beneran pacarnya Abang saya, ya?"
Suara vokal Satya kontan membuat Pradnya yang tadinya tengah sibuk melahap udang dan cuminya, lantas menoleh. Perempuan itu menarik tissue yang ada di atas meja untuk mengusap mulutnya, lalu mengerjap. "Mas Satya…" "Kamu terlihat sangat berbeda, Nona." "Panggil saya Anya saja, Mas," ujar Pradnya dengan sungkan. "Well, Anya. Saya nggak nyangka kalau dunia akan sesempit ini. Saya nggak tahu kalau kamu bisa kenal sama Bang Sena." Pradnya yang tampak kebingungan menjawabnya, lantas mengangguk. "Saya juga nggak menyangka, Mas." "Sejak kapan kamu kenal Bang Sena, Nya? Setahu saya… dia dulu pacaran sama Priya?" "Sekitar enam bulan belakangan ini, Mas. Tapi kalau soal Mas Sena dengan Mbak Priya, saya nggak tahu menahu." Satya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menyantap sate udang yang baru saja selesai dipanggang di sana. "Padahal baru besok saya rencananya mampir ke kafe kamu, Nya. Saya pengen minum americano buatan kamu lagi," kata pria itu tanpa menatap Pradnya. "Mas datang saja, saya kebetulan masuk shift siang juga, kok." Satya menghela napas. "Tapi mendadak saya kehilangan selera." "Kenapa memangnya, Mas?" Satya tak langsung menjawab. Pria itu meraih segelas minuman di sana, lalu meneguknya perlahan. "Mungkin karena hati saya yang baru saja patah setelah mendengar kabar kalau kamu akan menikah dengan kakak saya." Kontan Pradnya terbatuk-batuk. Perempuan itu yakin jika telinganya masih berfungsi dengan baik. Namun mendengar ucapan Satya barusan, membuatnya meragukan akan hal itu. "Nya, kamu nggak apa-apa?" Cepat-cepat Satya mengangsurkan segelas minuman ke arah perempuan itu, memintanya agar meneguknya dengan pelan. "Mas Satya tadi bilang apa?" tanya perempuan itu ingin memastikan kembali. Satya terkekeh. "Ya ampun, Anya. Kenapa kamu lucu banget, sih? Kalau saya mau ngusap bibir kamu yang belepotan, kira-kira Bang Sena bakalan ngamuk nggak, ya?" Pradnya seketika membelalak. Perempuan itu dengan cepat meraih tissue yang ada di hadapannya, lalu mengusap bibirnya sekali lagi. Dan hal itu sontak membuat Satya tergelak. "Mas Satya ngerjain saya, ya?" sungut perempuan itu tak terima. Lagi-lagi pria itu tergelak. "Nggak, Nya. Tadi di sana memang ada—" "Anya?" Namun suara seseorang di belakang sana, sudah lebih dulu menghentikan perkataan Satya. Keduanya lantas menoleh dengan cepat. Pun begitu dengan Pradnya yang langsung bangkit dari duduknya. "Mas Sena? Mas nyari saya, ya?" Setelah berbincang dengan Kakek Sandiaga, Antasena memang diajak bicara sebentar dengan beberapa keluarganya, yang entah apa yang dibicarakan oleh mereka. Pradnya memilih untuk menyingkir dan memilih untuk berkeliling sembari menikmati makan malamnya. Perempuan itu lantas melangkah menghampiri Antasena yang berdiri tak jauh darinya, sementara tatapannya dingin ke arah Satya. "Gue nggak macem-macemin Anya, Bang. Lo nggak usah khawatir. Gue cuma ngobrol doang sama dia." Memilih untuk tidak mengacuhkan ucapan Satya, Antasena menatap Pradnya yang sudah berdiri di sampingnya. "Sudah malam, kita pulang ya?" "Iya, Mas." "Nggak nginep aja, Bang?" sahut Satya sekali lagi. "Gue ada meeting penting besok pagi. Gue balik duluan," ujar Antasena dengan dingin. Usai mengatakan hal itu, pria itu lantas mengajak Pradnya untuk berpamitan dengan keluarga besarnya, dan memutuskan untuk pulang malam itu juga. Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan yang hadir di antara mereka. Namun setidaknya ada perasaan lega yang membuncah di hati Pradnya, tugasnya hari ini telah berakhir. "Anya…" "Ya, Mas?" "Sejak kapan kamu kenal sama Satya?" tanya pria itu tanpa memalingkan wajahnya dari depan. "Em, belum lama ini, Mas. Mas Satya kebetulan datang ke kafe, dan saya nggak sengaja numpahin kopi di tangannya. Dari situ, akhirnya kami berkenalan." Antasena manggut-manggut, lalu menghela napas panjang. "Hubungan kami nggak baik, Anya." Pradnya mengangkat satu alisnya ke atas, ingin sekali bertanya apa alasannya. Namun ada bagian di dalam diri perempuan itu yang mencegahnya. "By the way, terima kasih untuk hari ini. Saya nggak nyangka kalau kakek akan menyukaimu secepat itu." Entah Pradnya harus berbangga diri atau merasa sebaliknya. Rasa-rasanya berada di tengah keluarga Antasena tadi seperti mimpi baginya. "Sama-sama, Mas," sahut Pradnya dengan suara lirih. "Anya…" "Ya, Mas?" "Kalau kamu minta saya untuk tidak melibatkan keluarga kamu, saya takut kalau justru akan menimbulkan masalah dengan keluarga kamu," ujar Antasena saat itu. "Maksudnya, Mas?" "Kamu nggak tahu bagaimana berbahayanya orang-orang yang memiliki kuasa. Dalam konteks ini, Kakek Sandiaga, Mama, Papa, dan anggota keluarga besar lainnya, pasti akan mencari tahu soal kamu. Dan secepat itu pula mereka pasti akan mendapatkan informasi itu." Pradnya membuka mulutnya. "Lalu kita harus gimana, Mas." Antasena menepikan mobilnya di pinggiran trotoar jalan. Baru setelah mobil itu terparkir dengan sempurna di sana, pria itu menoleh ke samping. "Saya nggak mau menambah daftar kebohongan kita. Maksud saya, kebohongan yang berimbas tidak hanya kepada kita, tapi orang-orang yang tidak terlibat dalam sandiwara ini. Kalau kamu nggak keberatan, saya ingin menikahimu secara sah di depan keluarga kamu." Pradnya terhenyak selama beberapa saat. Dengan susah payah perempuan itu menelan ludahnya, hatinya tiba-tiba saja berdebar tak karuan. "Tapi, Mas. Apa saya nggak akan melukai hati mereka saat tahu semua ini hanyalah sandiwara?" "Bukankah itu sudah resikonya, Anya?" Benar. Saat Pradnya memutuskan untuk menerima tawaran Priya, tentu saja dia juga harus tahu sejauh apa resikonya, kan? Bukankah tidak ada yang gratis di dunia ini? Bahkan sekarang Pradnya sudah bisa melunasi utang-utang ayahnya. "Sekarang begini… ayah kamu bakalan curiga nggak, kalau tiba-tiba kamu punya uang banyak dan bisa melunasi utang-utangnya? Lalu kamu bisa membawanya berobat, padahal ayahmu jelas tahu apa pekerjaan kamu?" Lagi-lagi rasa Pradnya menunduk dalam-dalam, diselimuti kebingungan. "Kita hanya pura-pura, Anya. Sampai sandiwara ini berakhir, saya tetap akan mempertanggungjawabkan apa yang akan terjadi nanti. Saya hanya takut kalau-kalau mereka bisa menemukan informasi tentang ayah dan adikmu. Bukankah seharusnya nggak apa-apa kalau kita tidak melibatkan hati masing-masing dari kita?" "Lalu setelah kontrak kita habis, Mas Sena akan ceraikan saya?" Tentu saja, bukankah itu pertanyaan bodoh? "Iya," jawab Antasena dengan lugas. Jeda selama beberapa saat Pradnya mencoba mencerna ucapan Antasena. Ada benarnya juga, pikirnya. Orang-orang yang memiliki kuasa, tentu saja bisa melakukan apa saja. Termasuk menyewa seorang detektif untuk menyelidiki identitas dirinya. "Terus Mas Sena mau nemuin ayah saya?" Antasena mengangguk. "Itupun kalau kamu menyetujui permintaan saya." Lalu pria itu menoleh ke arah Pradnya. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang. Pikirkan baik-baik, Anya. Kalau kamu sudah punya jawaban, cukup kasih tahu saya." "Iya, Mas." "Sekarang saya antar kamu pulang, ya?" Sisa perjalanan yang ada, dihabiskan mereka dalam keheningan. Sampai akhirnya Antasena menghentikan laju mobilnya tepat di depan kediaman perempuan itu. "Makasih, Mas. Hati-hati di jalan." Pradnya tersenyum kecil. "Kalau Mas Sena nggak keberatan, tolong kabari saya kalau sudah sampai. Tapi kalau Mas nggak sempat, ya sudah nggak apa-apa." "Iya, Anya. Saya akan kabari kamu setelah sampai nanti." "Hati-hati, Mas." Antasena mengangguk. "Selamat beristirahat, Anya. Thank you for today." Antasena lantas kembali melajukan mobilnya, dan bergegas pulang menuju apartemennya. Pikirannya melayang entah memikirkan apa di dalam sana, kacau, dan berantakan. Tepat saat waktu sudah menunjuk angka dua belas malam Antasena tiba di apartemennya. Dia menekan kombinasi angka apartemennya. Tubuhnya yang terasa lelah setelah beraktivitas seharian, membuat pria itu ingin cepat tertidur. Namun sepertinya, keinginan itu harus diurungkan, lantaran ada seseorang yang berada di apartemennya. Siapa lagi jika bukan Priya? "Surprise?" Priya yang kini mengenakan lingerie berwarna merah menyala, melangkah mendekati Antasena yang masih terdiam di sana. Perempuan itu meliuk-liukkan badannya, seolah sengaja menggoda kekasihnya. "Priya, I'm tired. So— "Kamu nggak kangen sama aku?" tanya perempuan itu dengan suara sensualnya. Perempuan itu menggerakkan tangannya di atas perutnya yang datar, lalu semakin turun dan berhenti di sana, menyentuh inti tubuhnya. Bersamaan dengan desahan lembut meluncur dari bibirnya. Antasena ingin mengumpat sejadi-jadinya. Desahan Priya yang terdengar menggaung di telinganya seketika memantik hasrat yang ada di dalam diri pria itu. Dibiarkannya jemari Priya mengaduk-aduk inti tubuhnya di bawah sana, sementara Antasena mulai melepaskan jasnya, lalu bergerak mendekati perempuan itu. Dalam sekali sentakan, pria itu mendorong tubuh Priya agar merapat ke dinding dengan posisi yang membelakanginya. Mencium bahu dan punggung telanjangnya yang hanya tertutupi kain tipis. Satu tangannya bergerak menahan kaki Priya. Ada bagian yang mengeras di bawah sana. Antasena lantas menurunkan celananya. Hampir saja dia mendesakkan tubuhnya di bawah sana. Bersamaan dengan deringan ponsel miliknya yang terdengar, seketika menghancurkan segalanya. [Pradnya Sahira: Mas, saya mau. Saya akan bilang sama ayah, kalau Mas Sena adalah pacar saya, dan akan menikahi saya.] [Pradnya Sahira: Maaf kalau saya ganggu. Saya cuma mau bilang makasih untuk hari ini. Keluarga Mas Sena baik-baik sama saya.] [Pradnya Sahira: Have a good night, Mas Sena.] ***"Ayah, habis selesai cuci darah nanti Anya pengen ngomong?"Tatapan Donny tertoleh ke arah putri sulungnya. "Ada apa, Sayang?""Nanti saja. Sekarang Ayah aku antar ke dalam, ya. Aku tunggu di depan kayak biasanya."Donny tak lagi bertanya. Menuruti perkataan Pradnya, keduanya melangkah menuju ke sebuah ruangan di mana ada seorang perawat yang telah menunggu mereka di sana."Tolong ya, Sus.""Baik, Mbak Anya," balas sang suster yang telah mengenal baik Pradnya.Donny digandeng oleh seorang perawat memasuki sebuah ruangan, sementara Pradnya menunggu di taman seperti biasanya.Hemodialisis biasanya memakan waktu kurang lebih tiga sampai empat jam. Biasanya Pradnya menghabiskan waktunya di taman rumah sakit. Hanya duduk termenung, tanpa ingin melakukan apa-apa di sana. Atau sesekali perempuan itu menghabiskan waktunya dengan berbincang dengan pasien rumah sakit yang kebetulan berada di taman.Pradnya menghela napas panjang. Semenjak dia memutuskan untuk menjadi istri pura-pura Antasena, p
"Halo, Ya? Ada apa?""Kamu jadi ke Jogja malam ini?" tanya Priya dari seberang sana."Iya," jawab Antasena dengan singkat."Sama Anya?""Hm-mm."Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Kenapa harus ngajak Anya? Bukannya dia harus kerja?""Dia calon istriku kalau kamu lupa," ralat Antasena dengan tatapannya fokus ke depan."Calon istri pura-pura lebih tepatnya," ralat Priya dari seberang sana."Kenapa? Kamu menyesal karena telah menyodorkan Anya untuk aku jadikan istri?""Sen… well, okay. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Tapi ingat sama janji kamu, kan? Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia!"Antasena menghela napas panjang. "Apa menurutmu dengan mengajakmu menikah, itu artinya aku nggak sayang sama kamu?"Sementara Priya tidak menjawab dari seberang sana."Aku lagi di jalan. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di sana."Tanpa menunggu jawaban dari Priya di seberang sana, Antasena sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya.Pria itu lantas membelokkan mobilnya menuju k
"Udah sampai, Mas?" tanya Pradnya begitu mobil mereka berhenti di sebuah hotel berbintang lima."Udah. Yuk, turun."Pradnya menganggukkan kepalanya, lalu turun dari mobil mengekori Antasena dan yang lainnya yang sudah masuk melalui lobi. Koper miliknya sudah lebih dulu dibawa pria itu.“Gue mau buka kamar satu lagi, Nyet,” ujar Antasena saat menerima sebuah keycard dari Bayusuta.“Fully booked, Sen. Kalau lo nggak percaya lo tanya ke resepsionis, gih! Salah siapa lo nggak bilang sama Julia? Dia ternyata cuma pesan tiga kamar doang.”Lalu Antasena menoleh ke arah Julia, seolah membutuhkan penjelasan.“Maaf, Pak. Tadinya mau dipesenin lagi, tapi udah fully booked. Bapak sih bilangnya mendadak kayak tahu bulat.”“Ya sudah nggak apa-apa, Jul.”“Kalau lo nggak mau sekamar sama Anya, mending lo tidur di kamar mandi, Anya yang di kasur!” kelakar Bayusuta dengan entengnya.“Berisik lo!” desis Antasena kesal, pria itu lantas berjalan mendekati Pradnya. “Kamarnya sudah fully booked, Nya. Nggak
"Nya, mau ke mana?" tanya Antasena saat melihat perempuan itu sudah rapi.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap. Setelah mengobrol panjang lebar, hingga Pradnya menceritakan masa kecilnya yang takut dengan anjing sampai sekarang. Keduanya memutuskan untuk tidur."Eh, Mas Sena udah bangun?"Antasena lantas mengubah posisinya menjadi duduk. Masih dengan wajahnya yang mengantuk, pria itu mengerjapkan matanya."Mau ke mana?" ujar pria itu mengulangi pertanyaannya."Semalam saya bilang sama Mas Sena mau ketemu sama Bunda Nania, kan? Mas lupa, ya?""Ah iya." Antasena mengurut keningnya, "saya anterin, ya?""Ng… nggak usah, Mas. Saya bisa pergi sendiri, kok.""Saya sudah janji sama ayah kamu buat jagain kamu, Anya. Saya mandi sebentar, ya." Antasena lantas bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi dengan tidak mengacuhkan Pradnya yang hendak memprotesnya.Mau tidak mau perempuan itu menunggunya. Lima belas menit setelahnya, Antasena sudah keluar
"Nya, kok di sini? Sudah makan?"Suara vokal Julia kontan membuat Pradnya yang saat ini tengah duduk di depan teras lantas menoleh. Baru saja Yudhistira melamar Julia. Acara setelah lamaran dilanjut dengan makan malam bersama."Eh, Mbak Julia." Pradnya tersenyum kecil. Matanya berbinar-binar begitu melihat Julia melangkah mendekatinya dengan balutan kebaya cantiknya."Sudah makan?"Pradnya mengangguk. "Sudah, Mbak. Mbak Julia kenapa ke sini?""Kamu sendiri ngapain di sini?" ujar Julia balik bertanya.Perempuan itu tersenyum, lalu melemparkan tatapannya ke depan. Samar-samar suara jangkrik terdengar dari kejauhan sana."Ngadem, Mbak. Tinggal di pedesaan gini enak kali, ya? Masih belum banyak polusi kayak di Jakarta. Udah gitu, yang didengerin bukan suara kendaraan, tapi suara jangkrik.""Iya, Nya. Kadang-kadang saya juga kangen suasana begini. Tapi mau gimana lagi, kerjaan di kota nggak bisa ditinggal gitu saja.""Iya, ya?" Pradnya tersenyum kecil. "Gimana rasanya habis dilamar, Mbak?
"Hai, Nona Cappuccino."Suara teguran seseorang kontan membuat Pradnya yang tadinya sibuk membersihkan mesin kopinya, lantas menoleh dengan cepat."Mas Satya?" Pradnya tampak terkejut dengan kehadiran pria itu di sana."Lagi sibuk, ya?"Pradnya menggeleng. "Nggak, kok Mas. Mau pesan kopi, ya?""Kamu dicari Mama.""Hah?" Pradnya tertegun, sebelum kemudian menolehkan wajah ke arah Satya. "Mama? Tante Shinta maksudnya? Ada apa, Mas?"Perempuan itu lantas menghentikan aktivitasnya, lalu berlari keluar dari area bar untuk menghampiri Satya yang tengah berdiri di dekat bar stool."Tante Shinta nyariin saya? Ada apa?" ujar Pradnya mengulangi pertanyaannya."Saya udah coba WhatsApp kamu, dan telepon kamu juga, tapi nomor kamu nggak aktif. Nah, jadi mau nggak mau saya harus ke sini nemuin kamu.""Ah, iya Mas. Hp saya kena jambret pas di Jogja tempo hari, dan belum sempat beli hp baru. Makanya nomor saya nggak aktif.""Kok bisa? Gimana kejadiannya?"Pradnya mengangkat bahu. "Ya begitu lah, Mas.
Tidak ada percakapan apapun sepanjang mobil Antasena melaju meninggalkan butik milik Disha. Setelah menyelesaikan urusannya, mereka memutuskan untuk pulang dan berlanjut menuju ke kediaman keluarga Antasena."Nggak apa-apa, kan kalau persiapan pernikahan kita diatur sama Mama? Sejauh ini cuma Mama yang antusias kalau itu menyangkut soal saya.""Tante Shinta kayaknya sayang sama kalian berdua, ya Mas?""Sama Satya juga?"Pradnya mengangguk."Iya. Anaknya cuma Mas Sena sama Mas Satya, kan?""Hm-mm.""Cuma… sifat kalian kenapa beda gitu, ya Mas?"Antasena mengernyit. "Berbeda gimana?""Kalau Mas Sena cenderung pendiam, dan mukanya serius. Sementara kalau Mas Satya itu lucu. Setiap kali saya ketemu sama dia, saya sering dibikin ketawa, coba. Pokoknya ada aja yang bisa bikin saya ketawa kalau sama Mas Satya. Padahal saya dengar dia ini CEO di ND Entertainment, kan?""Iya.""Nggak kelihatan kalau dia tuh seorang pimpinan. Nah, berkebalikan dengan Mas Sena yang susah senyum. Mukanya serius ba
"Pa, cobain cookies buatan Mama, dong. Tadi sore Mama sama Anya bikin cookies ini, lho. Kalau kata Satya, sih enak. Sena nggak komentar apa-apa. Sekarang giliran Papa cicipin dong."Shinta mengangsurkan sebuah toples ke arah Rama. Mau tidak mau senyum Pradnya mengembang di wajahnya. "Tapi banyakan buatan Anya dibanding buatan Mama, kan?"Shinta mencebikkan bibir. "Astaga, Pa. Sekali saja, Papa muji Mama gitu nggak bisa, ya?" gerutu perempuan paruh baya itu, lalu dia menoleh ke arah Pradnya. "Papanya Sena sama Sena itu sebelas dua belas, Nya. Susah banget sesekali bohong. Dari dulu Sena memang nggak begitu suka manis, Nya. Jadinya dia nggak tahu gimana caranya muji cookies buatan kita.""Siapa bilang nggak suka? Aku suka, kok Ma. Asal cookies buatan Mama sama Anya, mau semanis apapun, bakalan aku makan.""Gombal banget, sih Bang," cibir Satya. "Bukan lo banget tahu, nggak."Antasena mengedikkan bahu. "Setidaknya gue mau usaha biar nggak jadi cowok kaku lagi."Dan sedetik kemudian, ham