ANTASENA mengayunkan langkahnya melewati ruang tamu kediaman orang tuanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang ada di sana, lalu pria itu melangkah ke dalam dan melihat ibunya tengah termenung di taman belakang.
"Ma…" Shinta yang tadinya sibuk tenggelam dalam lamunannya, lantas menoleh. Perempuan itu menerbitkan senyumannya, lalu bangkit saat melihat Antasena. Tangannya meletakkan secangkir teh yang tadinya ada di atas pangkuannya, kemudian mendekati putra sulungnya. "Mama lagi ngapain sendirian di sini?" Shinta tak langsung menjawab. Perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain kepada Antasena. "Kamu baru pulang dari kantor?" "Iya, Ma." "Udah makan belum? Mau temenin Mama makan malam, Sayang?" Antasena tidak menjawab. Shinta lantas menggandeng putra sulungnya itu, mengajak pria itu menuju ruang makan. Ada beberapa hidangan yang sudah tersaji di atas meja. "Satya sama Papa ke mana, Ma?" "Mereka pergi ke acara gala dinner kolega bisnisnya Papa," jawab Shinta sembari mengangsurkan piring yang sudah diisi dengan nasi ke arah Antasena. Antasena mengerutkan keningnya. "Mama nggak ikut?" "Mama lagi nggak enak badan, Sen. Makanya Mama minta Satya buat nemenin Papa. Mumpung hari ini adikmu lagi senggang di kantornya." Antasena menghela napas. Dia mengambil lauk dan sayur di sana, bersamaan dengan seorang asisten rumah tangga yang menghampirinya. "Bi, minta tolong siapkan teh hangat untuk Sena, ya?" pinta Shinta saat itu. "Baik, Bu." Bibi meninggalkan meja makan, lalu menuju ke dapur untuk membuatkan minuman mereka. Shinta menarik kursi yang ada di hadapannya, kemudian menikmati makan malamnya. "Gimana kerjaan kamu, Sayang?" "Lancar, Ma." Antasena meneguk air putih di sampingnya. "Mama kalau nggak enak badan kenapa nggak ke dokter sih, Ma?" "Mama nggak apa-apa, kok Sen. Palingan Mama cuma kecapekan aja." Antasena menghela napas. "Emangnya Mama capek apa? Mama masih kepikiran soal Kakek Sandiaga?" Selama tiga puluh dua tahun, Shinta adalah kelemahannya. Barangkali selama ini Antasena menjadi anak yang pembangkang dan hidup sesukanya, tapi saat Shinta sudah berbicara, hatinya mendadak luluh dalam sekejap. "Jadi kapan kamu bisa ngajak Priya ke sini?" Benar, kan? "Minimal, kamu kenalkan ke Papa dan Mama dulu, biar kami juga bisa mengenal lebih jauh calon istri kamu." Antasena tak langsung menjawab. Bibi yang tengah membawakan dua cangkir teh itu, sudah lebih dulu mengalihkan perhatian mereka. Tiba-tiba saja nafsu makannya lenyap begitu saja setelah mendengar ucapan Shinta. "Harus banget aku nikah, Ma?" tanya Antasena setelah menelan nasinya tanpa minat. "Kenapa? Kamu keberatan kalau Mama minta kamu segera menikah?" Antasena tidak menjawab. Dan Shinta kembali melanjutkan ucapannya. "Kakek Sandiaga bukan Mama atau Papa yang selalu membebaskan kamu hidup dengan pilihanmu sendiri, Sen. Setidaknya dengan adanya ikatan pernikahan, kakekmu tahu kalau akan ada generasi penerus di keluarga kita. "Mama nggak mungkin minta Satya untuk menikah duluan. Meskipun bisa saja. Hanya saja, Kakek Sandiaga hanya melihatmu untuk saat ini. Cuma itu yang diinginkan Kakek Sandiaga." "Mama tahu kan kalau pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dibuat main-main?” "Siapa yang mau main-main? Itulah kenapa Mama akan merestui hubungan kamu dengan Priya. Mama tahu kalau kamu mencintainya, Sen. Dan Mama akan berusaha untuk menerimanya," putus Shinta dengan bijaksana. "Bukan itu masalahnya, Ma. Tapi—" "Tapi apa?" potong ibunya dengan cepat. Jeda sesaat tatapan Antasena tertuju ke arah Shinta. Ingin rasanya pria itu mengatakan yang sejujurnya, tapi raut penuh harap yang tercetak jelas di wajah ibunya sejenak membuat Antasena mulai gamang. "Satu tahun, Ma. Aku janji tahun depan akan menikahi Priya. Aku nggak—" "Dua bulan lagi ada rapat direksi. Dan itu artinya, Papa kamu harus merelakan perusahaan untuk Tomi." Antasena menggertakkan rahangnya dengan keras. Kepalanya mendadak pening, tidak tahu harus bagaimana menjawab perkataan Shinta. "Mama nggak pernah ikut campur dengan urusan pribadimu, Sena. Termasuk saat kamu memilih untuk bekerja di perusahaan lain. Mama memberimu kebebasan. Saat kamu memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Priya yang notabene Mama meragukan dia. "Tapi sekarang, bahkan Mama sama sekali tidak menyatakan keraguan itu sama kamu. Untuk kali ini saja, Sen, tolong bantu Mama. Kapan Mama memohon sama kamu seperti ini, Nak? Jika kondisinya tidak serumit ini, Mama nggak akan meminta apalagi memaksa kamu. Jadi tolong, pikirkan Mama untuk kali ini saja." Setelah menikmati makan malamnya bersama Shinta, Antasena memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Tadinya dia berniat untuk tetap tinggal, namun melihat situasi yang tidak kondusif, Antasena mengurungkan niatnya. "Tau jalan pulang juga lo?" Suara vokal Satya, sontak membuat Antasena mengangkat wajahnya. Ditatapnya sang adik yang usianya hanya terpaut dua tahun itu, lalu mendesah pelan. "Lo harusnya sadar kalau sejak dulu Mama care sama lo. Apa susahnya nurutin maunya Mama, sih? Apa kepala lo mesti gue jedotin ke tembok dulu, biar lo amnesia? Dunia nggak hanya berputar di sekitar lo, Bang. Harusnya lo jadi anak yang lebih peka," sindir Satya saat tak kunjung mendapatkan tanggapan dari kakaknya. "Bukan urusan lo," desis Antasena tampak tidak terusik dengan ucapan adiknya. "Kalau lo mau, lo aja yang nikah duluan." Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Antasena berlalu begitu saja meninggalkan Satya yang masih termenung di tempatnya. Sepanjang perjalanan pulang, Antasena tampak kacau. Pikirannya sibuk berkelana memikirkan kemungkinan yang bisa dilakukannya. Setidaknya dia tidak ingin membuat ibunya kecewa. Begitu tiba di apartemennya, Antasena mengayunkan langkahnya menyusuri koridor lantai unitnya. Dia menekan kombinasi angka saat berdiri di depan pintu, lalu mendorong pintu tersebut sebelum kembali melangkah. Langkahnya mendadak terhenti. Dia bisa melihat sepatu high heels yang sangat familiar di susunan rak sepatunya, lalu Antasena mendesah pelan. Siapa lagi jika bukan Priya Zaneeta? Terus terang Antasena sedang tidak ingin bertengkar. "Sen…" Antasena membuang napas lelahnya. Pria itu hanya menoleh sekilas ke arah Priya sembari melepaskan jas yang sejak tadi membalut tubuhnya, lalu berjalan menuju dapur. "Aku lagi nggak mau bertengkar, Ya." Pria itu membuka lemari pendingin, dia mengambil sebotol minuman dingin, lalu meneguknya dengan pelan. Saat Antasena sibuk membasahi kerongkongannya dengan air dingin, Priya memeluknya dari belakang. Antasena bisa merasakan dekapan hangat perempuan itu, tapi dia sedang tidak dalam keadaan bergairah sekarang. "Aku mau minta maaf sama kamu," ujar Priya dengan suara pelan. "Maaf nggak akan menyelesaikan masalah, Ya. Kepalaku berat banget sekarang, aku pengen tidur." Priya menarik diri lalu membalikkan badan Antasena agar bisa menghadapnya. "Apa karena aku?" Sementara pria itu hanya bergumam lirih. "Ada apa?" Priya menggigit bibirnya bagian dalam, tampak ragu mengatakannya. “Kalau yang ingin kamu katakan sekarang adalah tentang menyewa orang untuk jadi istri pura-pura aku, no thank you. Pernikahan bukan untuk main-main, Priya Zaneeta." Bukan Priya yang mulai membahasnya. Sudah kepalang tanggung Antasena membicarakannya, perempuan itu hanya melanjutkannya. "Tapi cuma itu yang bisa kita lakukan, Sen. Kamu bisa menyelamatkan keluargamu, dan aku masih bisa berkarir," elak Priya mencoba membenarkan idenya. Antasena meraup wajahnya, lalu mendesah gusar. "Kamu udah nggak waras, Ya?" sengal pria itu tak terima. “Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sekarang, hm?" "Aku sayang sama kamu, Sen. I mean, ini bisa menjadi solusi terbaik untuk kita. Aku nggak bakalan melakukan hal segila ini kalau bukan untuk kamu. Please, cuma satu tahun, Sen. Aku janji akan menggunakan waktu ini sebaik mungkin dan kita akan menikah setelahnya. It's a win-win solution, right?” Antasena menggeleng cepat. "No, thank you. Aku nggak bisa." Antasena berjalan meninggalkan Priya, berjalan menuju ke ruang tamu dan melemparkan punggungnya di sofa. Cukup Shinta yang membuatnya gila hari ini, jangan tambahkan Priya. "Aku akan mengatur janji dengan wanita yang aku sewa untuk pura-pura jadi istri kamu. Dia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya, anggap saja aku juga sedang membantunya. Untuk alamat dan nomornya aku kirim nanti. Tolong pertimbangkan ide aku, Sen." Setelah mengatakan itu, Priya meraih tasnya dan langsung meninggalkan Antasena yang masih termangu di tempatnya. Begitu pintu apartemen itu ditutup, ingin rasanya pria itu mengumpat sejadi-jadinya. "Fuck!" *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya."Nya?""ANYA!"Suara teguran Lyra sontak membuat Pradnya yang sejak tadi sibuk melamun, lantas mengerjap.Perempuan itu lantas menoleh, lalu terkejut saat mendapati seorang pelanggan sudah berdiri di hadapannya."Eh, maaf, Mas. Mau pesan apa?" tanya Pradnya diiringi dengan senyuman."Saya mau pesan hot americano satu.""Ada tambahan lagi, Mas? Kali aja mau ditambah croissant-nya? Ada rasa keju atau rasa coklat. Mumpung lagi promo?""Nggak, Mbak. Itu saja.""Oke. Jadi totalnya lima puluh ribu."Pria itu lantas menjulurkan selembar seratus ribuan ke arah Pradnya. "Mohon ditunggu, ya Mas. Pesanannya nanti saya antar.""Thank you, Anya," ujarnya sembari mengedipkan satu matanya ke arah Pradnya, yang dibalasnya dengan senyuman.Pradnya bergerak mendekati mesin kopi, lalu mulai membuatkan pesanan dari pelanggannya itu."Lagi mikirin apa, sih Nya?""Tau, nih Ra." Pradnya menekan tombol pada mesin kopinya sambil bersungut-sungut. "Bentar, aku anterin pesanan ini dulu, ya."Lyra mengangguk, me
"Lo kencan sama cewek siapa lagi, Sen? Udah putus sama Priya?"Suara Yudhistira sontak membuat Antasena yang hampir saja menjangkau mobilnya, lantas menghentikan langkahnya, lalu menoleh."Rumit, D. Nyokap gue udah ngejar-ngejar gue buat nikah, sementara Priya nggak mau diajak nikah.""Alasannya?"Antasena mengedikkan bahu. "Kayak nggak tahu dia gimana aja, sih D? Gue bertahun-tahun backstreet sama dia, udah hafal gimana kelakuannya. Apalagi dia supermodel yang baru naik daun sekarang, dia nggak mau pernikahan ini menghancurkan karirnya.""Terus cewek yang mau lo temuin ini? Bukan Priya?" tanya Yudhistira memastikan.Antasena menggeleng. "Cewek yang diminta Priya untuk menggantikan posisinya di sisi gue, selagi dia fokus sama karirnya.""Fuck! Priya sejak dulu emang gila, ya? Tapi lo lebih gila karena jatuh cinta sama cewek ajaib macam dia.""Udah males gue, D. Sayangnya aja gue cinta sama dia. Gue jalan dulu." Antasena menoleh ke arah Julia. "Jul, duluan.""Hati-hati, Pak."Antasena
"Heh, Babi. Mau ke mana lo jam segini udah balik kanan?"Suara vokal Bayusuta membuat Antasena yang tadinya fokus dengan ponselnya, lantas membuat langkahnya terhenti, lalu menoleh ke belakang."Gue ada acara keluarga," jawab Antasena saat melihat Bayusuta berjalan menghampirinya."Kayak udah berkeluarga aja lo, sok-sokan! Kemarin jadi ketemu sama cewek itu?""Hm-mm."Pria itu seketika membelalak. "Serius?""Iya. Tadinya ragu, cuma gue benar-benar butuh bantuan dia.""Sialan! Lo embat juga jadinya. Cakep, nggak?""Otak lo isinya selangkangan doang, Njing. Kambing digincuin juga lo bilang cantik.""Bacot lo ah! Cantik, nggak?" desak Bayusuta dengan cepat. "Percuma kalau nggak cakep, gue punya koleksi banyak dan goyangannya mantap. Kali aja lo butuh yang—""No thank you. Gue nggak segila lo, by the way." Sementara Bayusuta hanya tergelak mendengar ucapan Antasena. "Gue balik dulu.""Oke, hati-hati, Nyet."Antasena mengacungkan tangannya ke udara, dan bergegas meninggalkan gedung Diamond
[Mama: Jangan lupa nanti malam, Sen. Mama tunggu di rumahnya Kakek.]Antasena menghela napas panjang begitu membaca pesan dari ibunya. Pria itu menyimpan kembali ponselnya, enggan membalas pesan dari Shinta. Bersamaan dengan suara pintu yang dibuka seseorang, membuat Antasena lantas membalikkan badan, kemudian tertegun.Jeda selama beberapa saat Antasena terdiam. Tatapannya tertuju pada sosok perempuan yang saat ini tengah berdiri di samping Disha. Langkahnya agak sedikit terseok lantaran Pradnya tidak terbiasa mengenakan high heels. "Gimana, Mas?"Suara Dhisa kontan membuat Antasena mengerjap dengan cepat. Pria itu lantas bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati mereka.“Seperti yang Mas minta tadi, saya hanya memberikan polesan natural di wajahnya. Dan sedikit menata rambutnya biar sedikit rapi saja. Saya juga menambahkan anting buat dia. Kalau menurut saya, sih nggak berlebihan, ya? Mas Sena gimana?”Pradnya menundukkan wajahnya, memindai penampilannya yang sedikit aneh menurutnya
"Nona Cappuccino?"Pradnya membelalakkan matanya, lalu menoleh ke arah Antasena yang kini menatapnya."Kamu… di sini?" tanyanya saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari perempuan itu."Hai, Mas Satya. Apa kabar?" tanya Pradnya dengan gugup."Anya kenal sama Satya juga?"Pradnya menoleh ke arah Shinta, lalu mengangguk. "Iy-ya, Tante. Saya sempat ketemu sama Mas Satya sebelumnya.""Mama mau ke dalam nemuin Kakek sama Papa? Sekalian aku mau ngenalin Anya sama mereka," sahut Antasena dengan cepat."Jadi… Nona Cappuccino ini cewek baru lo, Bang?""Hm-mm. Lebih tepatnya calon istri gue," ujar Antasena meralat ucapan adiknya."Wah, apa selama ini gue nggak ada di bumi, ya? Dari supermodel terkenal, kini selera lo menurun drastis. Bukan karena Nona Cappuccino ini nggak pantas buat lo, sih. Lebih tepatnya dia terlalu lugu untuk masuk dalam daftar cewek selera lo.""Lo nggak kenal dekat gue sayangnya, Sat. Jadi kalau lo nggak tahu apa-apa soal gue, mending lo nggak usah bicara.""Hebat sekali,
"Jadi… kamu beneran pacarnya Abang saya, ya?"Suara vokal Satya kontan membuat Pradnya yang tadinya tengah sibuk melahap udang dan cuminya, lantas menoleh.Perempuan itu menarik tissue yang ada di atas meja untuk mengusap mulutnya, lalu mengerjap."Mas Satya…""Kamu terlihat sangat berbeda, Nona.""Panggil saya Anya saja, Mas," ujar Pradnya dengan sungkan."Well, Anya. Saya nggak nyangka kalau dunia akan sesempit ini. Saya nggak tahu kalau kamu bisa kenal sama Bang Sena."Pradnya yang tampak kebingungan menjawabnya, lantas mengangguk. "Saya juga nggak menyangka, Mas.""Sejak kapan kamu kenal Bang Sena, Nya? Setahu saya… dia dulu pacaran sama Priya?""Sekitar enam bulan belakangan ini, Mas. Tapi kalau soal Mas Sena dengan Mbak Priya, saya nggak tahu menahu."Satya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menyantap sate udang yang baru saja selesai dipanggang di sana. "Padahal baru besok saya rencananya mampir ke kafe kamu, Nya. Saya pengen minum americano buatan kamu lagi," kata pria it
"Ayah, habis selesai cuci darah nanti Anya pengen ngomong?"Tatapan Donny tertoleh ke arah putri sulungnya. "Ada apa, Sayang?""Nanti saja. Sekarang Ayah aku antar ke dalam, ya. Aku tunggu di depan kayak biasanya."Donny tak lagi bertanya. Menuruti perkataan Pradnya, keduanya melangkah menuju ke sebuah ruangan di mana ada seorang perawat yang telah menunggu mereka di sana."Tolong ya, Sus.""Baik, Mbak Anya," balas sang suster yang telah mengenal baik Pradnya.Donny digandeng oleh seorang perawat memasuki sebuah ruangan, sementara Pradnya menunggu di taman seperti biasanya.Hemodialisis biasanya memakan waktu kurang lebih tiga sampai empat jam. Biasanya Pradnya menghabiskan waktunya di taman rumah sakit. Hanya duduk termenung, tanpa ingin melakukan apa-apa di sana. Atau sesekali perempuan itu menghabiskan waktunya dengan berbincang dengan pasien rumah sakit yang kebetulan berada di taman.Pradnya menghela napas panjang. Semenjak dia memutuskan untuk menjadi istri pura-pura Antasena, p
"Halo, Ya? Ada apa?""Kamu jadi ke Jogja malam ini?" tanya Priya dari seberang sana."Iya," jawab Antasena dengan singkat."Sama Anya?""Hm-mm."Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Kenapa harus ngajak Anya? Bukannya dia harus kerja?""Dia calon istriku kalau kamu lupa," ralat Antasena dengan tatapannya fokus ke depan."Calon istri pura-pura lebih tepatnya," ralat Priya dari seberang sana."Kenapa? Kamu menyesal karena telah menyodorkan Anya untuk aku jadikan istri?""Sen… well, okay. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Tapi ingat sama janji kamu, kan? Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia!"Antasena menghela napas panjang. "Apa menurutmu dengan mengajakmu menikah, itu artinya aku nggak sayang sama kamu?"Sementara Priya tidak menjawab dari seberang sana."Aku lagi di jalan. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di sana."Tanpa menunggu jawaban dari Priya di seberang sana, Antasena sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya.Pria itu lantas membelokkan mobilnya menuju k