Mereka baru saja menginjakkan kaki di kediaman Julia. Setelah mendapatkan izin dari Dokter Wilson, akhirnya Julia diperbolehkan untuk pulang."Bee, kamu butuh sesuatu?" tanya Yudhistira saat sudah tiba di kamar perempuan itu.Julia menggeleng. Entah mengapa semenjak dia dirawat di rumah sakit, Yudhistira benar-benar banyak bicara sekarang."Mas, aku udah nggak apa-apa. Jangan berlebihan, deh.""Tapi kamu baru aja pulang dari rumah sakit, Bee. Udah, deh jangan ngeyel. Kamu istirahat, okay? Kalau perlu apa-apa, bilang aja. Aku mau nyiapin makan malam buat kamu.""Eh? Mas mau nyiapin apa?" cegah Julia saat pria itu hendak berdiri."Apa lagi memangnya? Bubur atau sup misalnya?""Emang kamu bisa masak, Mas? Jangan aneh-aneh, deh. Kalau aku malah jadi keracunan gimana?""Nggak akan, Bee. Mana mungkin aku ngeracunin kamu. Daripada aku racun, mending aku nikahin, kan?""Bisaan banget, sih?"Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di wajah Julia, lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut."W
"Mas, apaan sih pakai video call segala?"Suara teguran Julia dari seberang sana, membuat Yudhistira lantas terkekeh. Pria itu menerbitkan senyumannya begitu melihat wajah Julia."Kangen, Bee. Emang nggak boleh video call, ya?"Julia terkekeh. "Ya boleh. Mas lagi sarapan, ya?""Iya, Bee. Kamu sendiri yang nyuruh aku buat mengatur pola makanku, kan? Sekarang aku selalu nurutin apa kata kamu. Kamu lagi di mana, sih?"Aku lagi di belakang rumah, Mas. Tadi habis lihat Mbak Ira nyiramin tanaman-tanaman di belakang rumah, akunya jadi pengen ikut gerak.”“Astaga, Bee. Kamu bukannya harus istirahat, ya? Jangan melakukan apa-apa, biar Mbak Ira yang melakukannya.”“Iya, iya. Ini aku juga udah duduk, kok Mas. Sebenarnya aku udah sehat, Mas. I swear, I feel better right now” Julia tersenyum kecil. Meskipun dia diharuskan beristirahat di rumah, Julia merasa tak lagi kesepian lantaran ada Mbak Ira yang sementara waktu menemaninya di rumah. Yudhistira sengaja menyewa seorang asisten rumah tangga sej
“Kenapa muka lo ditekuk kayak lipatan lemak gitu?” Yudhistira menghela napas. Membiarkan Arjuna, Bayusuta, dan Antasena duduk di sofa ruangannya dengan satu tangannya yang memegang segelas kopi masing-masing. Ketiganya baru saja selesai waktu istirahatnya di Despresso Coffee, sementara Yudhistira memilih untuk tidak bergabung dengan mereka lantaran masih ada laporan yang harus dikerjakannya.“Semenjak Julia nggak masuk, nggak ada yang beliin kopi gue,” kelakar Bayusuta dengan entengnya.“Beli sendiri lo!” sungut Yudhistira terlihat kesal.“Iye, iyeee. Nyebelin amat lo lama-lama. Emang biasanya Julia yang beliin kita kopi, kan?”“Kalian ngapain di sini, sih? Nggak ada kerjaan apa?” tanya Yudhistira heran.“Mau ngehibur lo yang lagi bete,” jawab Bayusuta dengan enteng. “Itu si Nenek Sihir pagi-pagi ngapain nemuin lo tadi?”“Nggak apa-apa.” Yudhistira mendesah lelah, lalu bangkit dari duduknya dan langsung bergabung dengan sahabatnya di sofa. “By the way, kapan project dengan Pak Anwar
"Julie seharian ini baik-baik saja, kan Mbak?" tanya Yudhistira kepada Mbak Ira, pria itu baru saja membereskan piring-piring yang digunakan untuk makan malamnya tadi."Baik, kok Mas Yudhistira. Malah udah kelihatan bugar dan segar habis potong rambut tadi,” jawab Mbak Ira kemudian.Yudhistira mengangguk, lalu menoleh ke arah Julia yang saat ini tengah duduk di sofa dengan setoples keripik kentang di pangkuannya, dengan tatapannya terarah pada kotak catur di atas mejanya. Perempuan itu sedang menyusun papan tersebut, lantaran setelah ini mereka akan bermain."Makasih banyak udah bantu saya jagain Julie, ya Mbak.""Sama-sama Mas Yudhistira, lagian saya kalau di rumah juga nggak banyak yang dikerjakan. Sekarang di sini saya bisa melakukan banyak kerjaan, rasanya senang. Mbak Julie ini pacarnya Mas Yudhistira gitu, ya?”"Iya, Mbak Ira. Rencananya saya pengen ngajak dia nikah.”"Wah, saya ikut bahagia, Mas. Semoga juga Ibu lekas pulih dan membaik, ya Mas. Rasanya kangen sekali, sudah bert
YUDHISTIRA sadar betul apa yang harus dilakukannya saat ini. Biar bagaimanapun Julia adalah tujuan hidupnya sekarang. Maka dia perlu memastikan apa yang hendak dilakukannya nanti bisa berjalan sesuai dengan rencananya.Yudhistira mengangkat tangannya ke depan. Lalu mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Tak berselang lama, suara langkah seseorang dari dalam terdengar. Yudhistira mundur selangkah, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya terbuka. Memunculkan Sasi yang tengah berbadan dua, dengan senyuman memukaunya."Mas Yudhistira?""Hai, Sasi. Apa kabar?""Baik, Mas. Mas Yudhistira apa kabar?""Baik juga. Mahesa ada?"Sasi mengangguk kecil. "Ada, Mas. Barusan banget kami baru selesai sarapan. Sekarang Mas Mahesa lagi di taman belakang sambil baca koran. Masuk, Mas.""Iya."Sasi mendorong pintu ke belakang dan membiarkan Yudhistira melangkah masuk ke dalam. Semenjak Mahesa dirawat di rumah sakit selama sebulan, lalu dia diizinkan untuk pulang, ini pertama kalinya Yudhistira meng
"Mbak Julia, udah sehat beneran, kan? Sakit apa, sih Mbak?""Sakit hati, Ray."Rayya mencebikkan bibirnya. Lalu memutar matanya seperti yang selalu dilakukannya. "Kan udah ada penawarnya. Gosip di kantor, mah nggak usah diambil ati kali, Mbak. Netizen mah diiyain juga mingkem, kok.""Iya, Ray. Saya mah bodo amat, kok. Tapi kamu pasti kaget, ya?""Jelas lah, Mbak!" sungut Rayya berpura-pura kesal. "Dari lantai satu sampai lantai lima puluh dua, coba bayangkan dong! Cuma saya doang yang dekat sama Mbak Julia, kan? Bisa-bisanya Mbak nggak bilang kalau udah ada pacar! Udah gitu pacarnya salah satu BoD di sini pula!""Dekat karena biar kaku gampang nyari info soal Pak Mahesa, kan, Ray?""Dih, Mbak Julia kok nyinyir kayak netizen, sih?" Rayya lantas memindahkan potongan bistik ke piring Julia, lalu tersenyum. "Mbak harus makan yang banyak. Ngelawan netizen yang suka nyinyir butuh tenaga, lho."Julia terkekeh. Dari sekian staf Diamond Group yang ada di gedung yang sama, memang hanya Rayya ya
Julia menghela napas panjang. Tatapannya nanar ke depan, menatap pemandangan kota Jakarta yang terlihat indah, tapi tidak dengan pikirannya yang terlihat kacau.Saat perempuan itu tenggelam oleh pikirannya, ponselnya berdering. Julia merogoh saku celananya, lalu cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan tersebut."Ya, Pak?""Jul, where are you?""Di rooftop, Pak. Bapak perlu sesuatu? Saya turun seka—""Nggak usah, Jul. Kamu lagi istirahat, kan? Nanti saja."Usai mengakhiri panggilannya, Julia menghela napas. Perempuan itu lantas menyimpan ponselnya, lalu bergegas bersiap-siap untuk turun tapi keberadaan Arjuna sudah lebih dulu membuat langkah Julia terhenti."Pak Arjuna nyari saya?""Nggak, kok Jul. Saya juga mau cari angin."Julia manggut-manggut lalu menoleh ke depan. Keduanya kembali tenggelam dalam keterdiaman, sibuk dengan pikiran masing-masing. "Saya juga nggak rela kalau Yudhistira resign, kok Jul."Suara Arjuna membuat Julia mengerjapkan matanya. Perempuan itu lantas men
YUDHISTIRA menghela napas panjang. Di tengah kemacetan yang kini mengular di hadapannya, sesekali pria itu melirik ke samping. Ada sebuah buket bunga yang sengaja disiapkannya untuk sang ibu.[Bee ❤: Mas, lagi di mana? Kok nggak ada kabar sejak semalam?]Yudhistira menerbitkan senyuman. Pria itu lantas meraih earphone-nya, kemudian memasangnya di telinga. Mencoba menghubungi Julia detik itu juga."Kangen, ya?" ujar Yudhistira begitu panggilannya tersambung dengan perempuan itu.Julia mencebikkan bibirnya di seberang sana. "Mas di mana, sih? Seneng banget ngilang-ngilangan, ya?""Bilang kangen dulu, dong Bee. Kali aja habis itu, tiba-tiba aja aku ada di samping kamu."Julia mendesah pelan. "Emang kamu anggota The Eternal?"Yudhistira terkekeh. "Lagi apa, Bee?""Lagi nungguin kabar pacar tapi nggak kunjung kasih kabar!" sungut perempuan itu dari seberang sana.Yudhistira menarik ujung bibirnya ke atas, tak langsung menjawab, lantaran lampu sudah menyala hijau. Pria itu lantas menginjak