YUDHISTIRA menghela napas panjang. Di tengah kemacetan yang kini mengular di hadapannya, sesekali pria itu melirik ke samping. Ada sebuah buket bunga yang sengaja disiapkannya untuk sang ibu.[Bee ❤: Mas, lagi di mana? Kok nggak ada kabar sejak semalam?]Yudhistira menerbitkan senyuman. Pria itu lantas meraih earphone-nya, kemudian memasangnya di telinga. Mencoba menghubungi Julia detik itu juga."Kangen, ya?" ujar Yudhistira begitu panggilannya tersambung dengan perempuan itu.Julia mencebikkan bibirnya di seberang sana. "Mas di mana, sih? Seneng banget ngilang-ngilangan, ya?""Bilang kangen dulu, dong Bee. Kali aja habis itu, tiba-tiba aja aku ada di samping kamu."Julia mendesah pelan. "Emang kamu anggota The Eternal?"Yudhistira terkekeh. "Lagi apa, Bee?""Lagi nungguin kabar pacar tapi nggak kunjung kasih kabar!" sungut perempuan itu dari seberang sana.Yudhistira menarik ujung bibirnya ke atas, tak langsung menjawab, lantaran lampu sudah menyala hijau. Pria itu lantas menginjak
YUDHISTIRA tertegun. Dia tidak pernah menyangka jika Lalisa akan bertindak sejauh ini. Datang dan menemui ibunya bukanlah satu hal yang pernah diharapkannya dari perempuan itu, terlebih saat dia pernah ditinggalkan olehnya di masa lalu. Kini tidak ada yang tersisa lagi untuknya."Mama istirahat, ya? Minggu depan aku bakalan ngajak Julia ke sini, hm? Mama pasti jauh lebih tahu bagaimana ngomongin soal rencana pernikahanku sama dia langsung. Pokoknya aku nurut Mama aja."Marsya menggenggam tangannya Yudhistira dengan erat. "Mama nggak pernah lihat senyum kamu selebar ini, Sayang.""Emang biasanya kayak apa, Ma?"Perempuan itu menggeleng. "Beda pokoknya. Mama jadi nggak sabar pengen ketemu sama Julia, Sayang." Lalu pandangan Marsya bergerak ke samping, menatap Lalisa yang berdiri tak jauh darinya. "Kamu akan antar Lalisa pulang juga, kan?"Yudhistira menoleh ke arah Lalisa selama beberapa saat, sebelum kembali menoleh ke arah ibunya. "Yudhistira mau bicara sebentar sama Lalisa, Ma. Sekar
JULIA mendudukkan dirinya di salah satu sudut kafe yang ada di bilangan Jakarta. Pikirannya berkecamuk, suara Lalisa dan Yudhistira kemarin-kemarin kini terngiang di kepalanya.Ada saat di mana Julia menganggap bahwa Yudhistira benar-benar sudah tidak menganggap Lalisa ada—hanya sebagai mantannya, tapi pemandangan yang dilihatnya tadi, membuat Julia harus memikirkan kembali kejujuran kekasihnya itu.Tadinya, Julia ingin memberinya kejutan. Jarak dari kediamannya menuju Sanatorium Dharmawangsa tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit, dan dia akan tiba di sana.Selama ini Julia mencoba melawan Lalisa. Mencoba menyadarkan di mana tempat sang mantan Yudhistira itu seharusnya. Tapi kenyataan bahwa dia harus melihat pemandangan seperti tadi, hatinya terasa perih.Julia menghela napas panjang. Mengabaikan semua panggilan-panggilan yang masuk ke dalam ponselnya—terutama panggilan dari Yudhistira, perempuan itu perlu mendinginkan pikirannya untuk sementara."J
[Aku nggak apa-apa kok, Sa. Thanks, ya.]Julia lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya, lalu kembali fokus dengan yang lainnya.Waktu sudah menunjuk angka delapan malam saat Yudhistira akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan beberapa jam yang lalu."Biar saya yang jagain Pak Yudhistira, Pak. Kata dokter kondisi Pak Yudhistira sudah mulai stabil. Tinggal nunggu dia sadar. Pak Arjuna, Pak Bayusuta, sama Pak Antasena pasti sibuk, kan? Tanggal merah seperti ini kalian pasti ada acara masing-masing. Saya ditinggal nggak apa-apa, kok.”"Saya nggak ada jadwal kencan, kok Jul." Arjuna mengangkat wajahnya dari layar ponselnya untuk menoleh ke arah Julia."Apalagi saya… saya sudah menolak permintaan panggilan dari wanita manapun,” sambung Bayusuta dengan cepat."Dasar tukang tebar benih!" sungut Julia kepada dua pria yang ada di hadapannya, lalu menoleh ke arah Antasena. "Pak Antasena diam saja? Pasti ada acara, kan? Ditinggal saja nggak apa-apa, Pak."Antasena manggut-manggut. "Sebe
“Sasi hari ini udah lahiran. Kita ke rumah sakit sekarang atau bagaimana?” Suara Arjuna membuat Bayusuta dan Julia yang tengah berdiskusi perihal pekerjaan lantas menoleh.Julia yang tadinya fokus dengan laporannya, lantas menegakkan posisi berdirinya. “Serius, Pak? Caesar, kan ya?”“Iya, Jul. Anaknya kembar.” Arjuna lantas meraih gagang telepon, mencoba menghubungi Yudhistira dan Antasena yang sibuk di ruangan masing-masing agar segera merapat ke ruangan Bayusuta.“Aduh, pasti ganteng sama cantik kayak orang tuanya,” katanya kemudian.Bayusuta mencebikkan bibir. “Yakali, Jul. Bibitnya aja unggul gitu. Bebeb Sasi udah cantik dari lahir. Mahesa menang kaya doang sebenarnya, gantengan juga saya!” kelakarnya tak terima.“Kalau gantengan Bapak, nggak mungkin nikahnya belakangan dong, Pak? Mana diobral pula! Buruan cari calon istri biar nggak kelihatan nggak laku gitu,” cibir Julia dengan entengnya.“Sembarangan! Mentang-mentang kamu udah punya pacar!” sungut Bayusuta tak terima, sementara
"Gimana rencana pernikahan lo sama Julia?" tembak Mahesa begitu mereka tiba di luar ruang rawat Sasi dan duduk di sana. "Beneran udah yakin sama Julia?""Lo ngetes keseriusan gue sama sekretaris lo?" Yudhistira terkekeh. "Come on, Sa. Gue bahkan udah sempat ketemu sama papanya Julia untuk meminta restu, dan direstuin."Mahesa mengedikkan bahu. "In case lo kumat-kumatan lagi. Gue masih belum percaya aja kalau lo sama Julia.""Sama kalau soal itu. Jadi gimana keputusannya? Kapan gue last day?" tanya Yudhistira memastikan."Lo kayaknya pengen banget hengkang dari kantor, ya? Udah ngerasa nggak butuh digaji atau ada perusahaan lain yang kasih gaji lo lebih gede?" sindir Mahesa dengan tenang.Yudhistira seketika tergelak. "Gue udah nggak sabar pengen nikah, Sa."Mahesa menaikkan satu alisnya ke atas. "Nggak sabar pengen bikin anak?""Kalau itu… udah gue cicil. Nggak mau aja kesaing sama lo. Lo udah ada dua, gue juga pengen minimal bikin satu.""Kabar nyokap lo gimana?""Sehat. Akhir-akhir
"Oh, jadi tadi Mas mampir ke panti dulu?"Yudhistira yang tadinya fokus dengan ponselnya, lantas tertegun begitu melihat penampilan Julia.Julia baru saja menyelesaikan riasannya, dan saat ini berjalan mendekatinya dengan satu tangannya yang sibuk memasang anting."Mas?"Baru sedetik kemudian, Yudhistira mengerjap. "Ya gimana, Bee?""Mas ngalamun, ya?""Nggak, kok. Kamu tadi bilang apa?""Mas habis dari jenguk Tante Marsya, ya?"Yudhistira lantas mengangguk. "Iya, Bee. Tadi aku mampir ke panti bentar buat nganterin makanan kesukaan Mama, baru setelah itu ke sini."Pria itu lantas bangkit dari duduknya. Lalu berjalan mendekati Julia yang tampak kesulitan memasang antingnya."Mas, tolong dong!""Harus ditolong banget?""Aku nggak bisa ngunci ini, Mas. Mas nggak mau nolongin?" sungut perempuan itu kesal.Yudhistira menghela napas, tapi akhirnya dia membantu Julia mengenakan anting yang dikenakannya. "Kamu lupa terakhir kali kamu minta tolong aku buat kucirin rambut kamu, terus berakhir j
Setelah memberikan selamat kepada Gauri dan suaminya, Julia dan Yudhistira akhirnya memisahkan diri dengan teman-temannya yang lain.Suasana yang mendadak berubah menjadi canggung, lantaran Julia jarang berkumpul dengan teman-temannya. Akhirnya mereka memilih untuk menghabiskan sisa waktu yang ada di salah satu sudut ruang ballroom.Keduanya duduk berhadapan di salah satu kursi yang sengaja ditata di bagian ruangan tersebut. Ruangan itu langsung menghadap ke arah kolam renang hotel.Yudhistira sedang menikmati kopinya, sementara Julia menikmati es krim rasa coco pandan dengan wajah yang menggemaskan.Sesekali Yudhistira tersenyum melihat bagaimana ekspresi Julia yang sedikit-sedikit berubah. Hatinya bahagia sekaligus hangat.Sadar jika tengah diperhatikan, perempuan itu melirik ke arah Yudhistira. "Kenapa, sih ngeliatnya gitu banget?""Emang nggak boleh?""Boleh, sih. Tapi bayar, ya?""Besok aku lunasin di depan penghulu," jawab Yudhistira dengan entengnya."Bisaan banget, ya?""Mau g