"Oh, jadi tadi Mas mampir ke panti dulu?"Yudhistira yang tadinya fokus dengan ponselnya, lantas tertegun begitu melihat penampilan Julia.Julia baru saja menyelesaikan riasannya, dan saat ini berjalan mendekatinya dengan satu tangannya yang sibuk memasang anting."Mas?"Baru sedetik kemudian, Yudhistira mengerjap. "Ya gimana, Bee?""Mas ngalamun, ya?""Nggak, kok. Kamu tadi bilang apa?""Mas habis dari jenguk Tante Marsya, ya?"Yudhistira lantas mengangguk. "Iya, Bee. Tadi aku mampir ke panti bentar buat nganterin makanan kesukaan Mama, baru setelah itu ke sini."Pria itu lantas bangkit dari duduknya. Lalu berjalan mendekati Julia yang tampak kesulitan memasang antingnya."Mas, tolong dong!""Harus ditolong banget?""Aku nggak bisa ngunci ini, Mas. Mas nggak mau nolongin?" sungut perempuan itu kesal.Yudhistira menghela napas, tapi akhirnya dia membantu Julia mengenakan anting yang dikenakannya. "Kamu lupa terakhir kali kamu minta tolong aku buat kucirin rambut kamu, terus berakhir j
Setelah memberikan selamat kepada Gauri dan suaminya, Julia dan Yudhistira akhirnya memisahkan diri dengan teman-temannya yang lain.Suasana yang mendadak berubah menjadi canggung, lantaran Julia jarang berkumpul dengan teman-temannya. Akhirnya mereka memilih untuk menghabiskan sisa waktu yang ada di salah satu sudut ruang ballroom.Keduanya duduk berhadapan di salah satu kursi yang sengaja ditata di bagian ruangan tersebut. Ruangan itu langsung menghadap ke arah kolam renang hotel.Yudhistira sedang menikmati kopinya, sementara Julia menikmati es krim rasa coco pandan dengan wajah yang menggemaskan.Sesekali Yudhistira tersenyum melihat bagaimana ekspresi Julia yang sedikit-sedikit berubah. Hatinya bahagia sekaligus hangat.Sadar jika tengah diperhatikan, perempuan itu melirik ke arah Yudhistira. "Kenapa, sih ngeliatnya gitu banget?""Emang nggak boleh?""Boleh, sih. Tapi bayar, ya?""Besok aku lunasin di depan penghulu," jawab Yudhistira dengan entengnya."Bisaan banget, ya?""Mau g
"Mas Yudhistira!" teriak Julia dengan cepat, mendadak dia merasa cemas."Mau apa lo, Brengsek?!" sambar Yudhistira dengan tatapan tajam.Julia berusaha keras menahan Yudhistira untuk tidak murka dengan Aditya. Suasana mendadak berubah menjadi tegang saat pria itu hampir saja mendaratkan pukulan di wajah Aditya, sementara Julia sudah ketakutan karenanya."Mas, stop, Mas. Aditya nggak ngapa-ngapain aku. Dia cuma mau—""Mau apa?" potong Yudhistira dengan cepat."Mas, udah, ya? Lepasin Aditya dulu." Julia mencoba menenangkan kekasihnya. "Aditya nggak ngapa-ngapain aku, kok Mas. Dia nggak mungkin macam-macam sama aku,” ujar perempuan itu berusaha untuk meyakinkan pria itu.Baru setelahnya, Yudhistira melepaskan cengkramannya dari kerah Aditya. Mendorong pria itu agar menjauh, dan langsung menggenggam lengan Julia. Berusaha melindunginya lantaran dia takut kalau-kalau Aditya akan menyerangnya.“Kita pergi dari sini,” ujar Yudhistira dengan cepat.Namun baru saja pria itu hendak melangkahkan
Yudhistira membelokkan mobilnya menuju pelataran parkir di salah satu toko perhiasan yang ada di bilangan Jakarta. Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, keduanya lantas turun dari mobil. Yudhistira menjulurkan tangannya ke depan, menggandeng tangan Julia dengan posesif.“Kamu udah sempat bilang sama Om Nicolas belum, Bee?” tanya pria itu kemudian.“Belum, Mas. Nanti sampai rumah aja kali, ya aku telepon Papa? Kayaknya Papa juga lagi sibuk sekarang.”“Sibuk sama bisnisnya dengan teman yang dari Surabaya itu, ya?”Julia lantas menoleh. “Mas tahu dari mana? Papa cerita sama kamu, ya?”“Hm-mm. Waktu aku ke rumah kamu, Om Nicolas cerita banyak hal. Ya, begitulah ngobrolin soal bisnis.”“Papa tuh suka banget kalau ngomongin soal bisnis dan perekonomian negara. Kayaknya Mas sama Papa cocok, sih kalau udah sama-sama.”“Cocok jadi menantunya gitu, ya?” Sementara Julia memilih untuk tidak menjawab.Alih-alih menyiapkan lamaran yang romantis seperti yang selalu diidam-idamkan oleh keban
"Masih sakit?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira. Setelah pergulatan panas yang baru saja dilakukannya dengan Julia, mendadak pria itu berubah menjadi khawatir.Julia lantas menggeleng. "Nggak, kok Mas."Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Julia, lalu mengusap punggung Julia yang masih polos. Di luar sana hujan masih turun cukup deras. Udara dingin yang menyelinap masuk, membuat keduanya enggan beranjak. Bahkan Julia masih ingin melepaskan"Maaf, ya Bee. Aku tadi benar-benar nggak kontrol diri. Sampai-sampai aku lupa memastikan kondisi kamu,” bisiknya dengan nada khawatir.“Nggak, Mas. Sakitnya palingan cuma sedikit, kok.”Lalu Yudhistira menundukkan wajahnya. “Sedikit apa? Perlu ke dokter, nggak?”Julia sontak terkekeh. “Nggak usah berlebihan, Mas. Meskipun sakit, tapi lebih banyak enaknya, kok.”Dan ucapan Julia sontak membuat pria itu tertawa. Entah sudah berapa kali pelepasan dan Yudhistira tidak mampu mengendalikan dirinya. "Udah lama nggak
“Mas? Beneran Pak Antasena mau nikah sama cewek yang bukan pacarnya?”Yudhistira lantas menoleh ke samping, lalu terkekeh. “Iya, Bee.”“Wah, sinting semuanya!” Julia geleng-geleng kepala, masih tidak percaya dengan kegilaan orang-orang ini. “Emang pacarnya nggak mau diajak nikah, Mas?”“Nanti kamu tanya sama orangnya langsung aja gimana? Daripada kamu sibuk mikirin mereka yang gila, mending kamu mikirin aku aja?”“Mas!”“Sini, disayang dulu, dong.” Yudhistira menyentuh pipinya dengan jari telunjuknya, sementara tatapannya masih fokus ke depan.Julia terkekeh geli, namun dia juga tidak menolak. Perempuan itu bergerak mendekati Yudhistira, lalu mendaratkan kecupan singkat di wajahnya.“Semua tiket udah aku bantu online check-in tadi, Mas. Termasuk punya Mbak Pradnya. Terus punya Pak Bayusuta, Pak Arjuna, sama Pak Antasena juga udah. Semua include bagasi, tapi kata mereka nggak usah gitu. Terus untuk—”“Bee, really?”Julia mengerjap. “Kenapa?”“Ini semuanya kamu yang ngurusin?” tanya Yud
Akhirnya pesawat komersil yang terbang dari Jakarta mendarat sempurna di Yogyakarta malam itu. Suasana bandara terlihat sepi lantaran mereka sengaja mengambil penerbangan terakhir dari Jakarta. Mereka berjalan melewati pintu kedatangan, dan bergegas menuju ke area penjemputan.“Halo, Pa.”“Nduk, udah sampai di Jogja?”“Udah, Pa. Maaf belum sempat buka hp tadi, Papa. Baru banget turun dari pesawat ini.”“Alhamdulillah kalau begitu. Ini kamu langsung pulang ke rumah atau mau menginap di hotel dulu sama calon suami kamu?”Julia menerbitkan senyumannya. Agak asing saat mendengar Nicolas menyebut Yudhistira sebagai calon suaminya dari seberang sana. Hatinya mendadak terasa hangat.“Aku nginep di hotel dulu, Pa. Baru besok pagi Mas Yudhistira nganterin ke rumah. Acaranya besok malam, nggak apa-apa, kan kalau aku pulangnya besok pagi?”“Nggak apa-apa, Nduk. Papa cuma mau memastikan saja, sih. Lagian semua persiapan di rumah udah siap semua, kok Nduk. Papa juga udah mengundang Pak RT dan Pak
"Mas, bangun. Udah pagi."Suara serak Julia terdengar menyapa indera pendengaran Yudhistira. Perempuan itu menggoyangkan lengan Yudhistira yang tengah terlelap di sampingnya, pria itu hanya menggumam pelan.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap semalam. Perempuan itu tahu semalam mereka berbincang sampai larut.Dan akhirnya keduanya berakhir di atas ranjang, dengan posisi Yudhistira memeluknya semalaman. Tidak ada hal-hal yang menyenangkan yang bisa dilakukan Yudhistira—meskipun dia ingin, tapi dia sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Setidaknya sampai mereka menikah.Julia memberi jarak di antara mereka. Perempuan itu melipat satu tangannya ke atas kepala untuk dijadikan bantalan. Matanya tertuju pada Yudhistira. Dari dalam jarak sedekat ini, Julia bisa mengamati wajah kekasihnya dengan lekat.Bulu-bulu halus di sekitar wajahnya, bulu lentik matanya, juga tahi lalat yang ada di dekat hidungnya. Tangan Julia menjulur ke depan, meraih beberapa hel