Yudhistira membelokkan mobilnya menuju pelataran parkir di salah satu toko perhiasan yang ada di bilangan Jakarta. Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, keduanya lantas turun dari mobil. Yudhistira menjulurkan tangannya ke depan, menggandeng tangan Julia dengan posesif.“Kamu udah sempat bilang sama Om Nicolas belum, Bee?” tanya pria itu kemudian.“Belum, Mas. Nanti sampai rumah aja kali, ya aku telepon Papa? Kayaknya Papa juga lagi sibuk sekarang.”“Sibuk sama bisnisnya dengan teman yang dari Surabaya itu, ya?”Julia lantas menoleh. “Mas tahu dari mana? Papa cerita sama kamu, ya?”“Hm-mm. Waktu aku ke rumah kamu, Om Nicolas cerita banyak hal. Ya, begitulah ngobrolin soal bisnis.”“Papa tuh suka banget kalau ngomongin soal bisnis dan perekonomian negara. Kayaknya Mas sama Papa cocok, sih kalau udah sama-sama.”“Cocok jadi menantunya gitu, ya?” Sementara Julia memilih untuk tidak menjawab.Alih-alih menyiapkan lamaran yang romantis seperti yang selalu diidam-idamkan oleh keban
"Masih sakit?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira. Setelah pergulatan panas yang baru saja dilakukannya dengan Julia, mendadak pria itu berubah menjadi khawatir.Julia lantas menggeleng. "Nggak, kok Mas."Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Julia, lalu mengusap punggung Julia yang masih polos. Di luar sana hujan masih turun cukup deras. Udara dingin yang menyelinap masuk, membuat keduanya enggan beranjak. Bahkan Julia masih ingin melepaskan"Maaf, ya Bee. Aku tadi benar-benar nggak kontrol diri. Sampai-sampai aku lupa memastikan kondisi kamu,” bisiknya dengan nada khawatir.“Nggak, Mas. Sakitnya palingan cuma sedikit, kok.”Lalu Yudhistira menundukkan wajahnya. “Sedikit apa? Perlu ke dokter, nggak?”Julia sontak terkekeh. “Nggak usah berlebihan, Mas. Meskipun sakit, tapi lebih banyak enaknya, kok.”Dan ucapan Julia sontak membuat pria itu tertawa. Entah sudah berapa kali pelepasan dan Yudhistira tidak mampu mengendalikan dirinya. "Udah lama nggak
“Mas? Beneran Pak Antasena mau nikah sama cewek yang bukan pacarnya?”Yudhistira lantas menoleh ke samping, lalu terkekeh. “Iya, Bee.”“Wah, sinting semuanya!” Julia geleng-geleng kepala, masih tidak percaya dengan kegilaan orang-orang ini. “Emang pacarnya nggak mau diajak nikah, Mas?”“Nanti kamu tanya sama orangnya langsung aja gimana? Daripada kamu sibuk mikirin mereka yang gila, mending kamu mikirin aku aja?”“Mas!”“Sini, disayang dulu, dong.” Yudhistira menyentuh pipinya dengan jari telunjuknya, sementara tatapannya masih fokus ke depan.Julia terkekeh geli, namun dia juga tidak menolak. Perempuan itu bergerak mendekati Yudhistira, lalu mendaratkan kecupan singkat di wajahnya.“Semua tiket udah aku bantu online check-in tadi, Mas. Termasuk punya Mbak Pradnya. Terus punya Pak Bayusuta, Pak Arjuna, sama Pak Antasena juga udah. Semua include bagasi, tapi kata mereka nggak usah gitu. Terus untuk—”“Bee, really?”Julia mengerjap. “Kenapa?”“Ini semuanya kamu yang ngurusin?” tanya Yud
Akhirnya pesawat komersil yang terbang dari Jakarta mendarat sempurna di Yogyakarta malam itu. Suasana bandara terlihat sepi lantaran mereka sengaja mengambil penerbangan terakhir dari Jakarta. Mereka berjalan melewati pintu kedatangan, dan bergegas menuju ke area penjemputan.“Halo, Pa.”“Nduk, udah sampai di Jogja?”“Udah, Pa. Maaf belum sempat buka hp tadi, Papa. Baru banget turun dari pesawat ini.”“Alhamdulillah kalau begitu. Ini kamu langsung pulang ke rumah atau mau menginap di hotel dulu sama calon suami kamu?”Julia menerbitkan senyumannya. Agak asing saat mendengar Nicolas menyebut Yudhistira sebagai calon suaminya dari seberang sana. Hatinya mendadak terasa hangat.“Aku nginep di hotel dulu, Pa. Baru besok pagi Mas Yudhistira nganterin ke rumah. Acaranya besok malam, nggak apa-apa, kan kalau aku pulangnya besok pagi?”“Nggak apa-apa, Nduk. Papa cuma mau memastikan saja, sih. Lagian semua persiapan di rumah udah siap semua, kok Nduk. Papa juga udah mengundang Pak RT dan Pak
"Mas, bangun. Udah pagi."Suara serak Julia terdengar menyapa indera pendengaran Yudhistira. Perempuan itu menggoyangkan lengan Yudhistira yang tengah terlelap di sampingnya, pria itu hanya menggumam pelan.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap semalam. Perempuan itu tahu semalam mereka berbincang sampai larut.Dan akhirnya keduanya berakhir di atas ranjang, dengan posisi Yudhistira memeluknya semalaman. Tidak ada hal-hal yang menyenangkan yang bisa dilakukan Yudhistira—meskipun dia ingin, tapi dia sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Setidaknya sampai mereka menikah.Julia memberi jarak di antara mereka. Perempuan itu melipat satu tangannya ke atas kepala untuk dijadikan bantalan. Matanya tertuju pada Yudhistira. Dari dalam jarak sedekat ini, Julia bisa mengamati wajah kekasihnya dengan lekat.Bulu-bulu halus di sekitar wajahnya, bulu lentik matanya, juga tahi lalat yang ada di dekat hidungnya. Tangan Julia menjulur ke depan, meraih beberapa hel
"Dari mana lo?"Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Arjuna. Kedua sahabat Yudhistira—Arjuna dan Bayusuta, tengah duduk-duduk santai di restoran pagi itu. Mereka sedang menikmati kopi setelah menikmati sarapan."Dari nganterin Julia pulang." Lalu pria itu menoleh ke sekitar. "Antasena ke mana?""Dia lagi keluar sama Anya tadi. Nggak tahu ke mana."Yudhistira tidak mengacuhkannya. Pria itu lantas berjalan mendekati buffet table untuk menikmati sarapan selagi masih ada waktu."Lo udah nyiapin mau bawa apa ke rumah Julia, Nyet?" tanya Bayusuta saat Yudhistira sudah duduk di hadapannya."Gue mau beli bunga buat dia nanti. Kenapa?""Damn! Lo pikir Julia bakalan kenyang makan bunga doang? Lo pasti udah mikirin mau bawa apa buat keluarga mereka juga, kan?"Yudhistira menggeleng. "Emangnya gue mesti bawa apa?" tanyanya dengan kening mengerut."Fuck! Lo gila apa gimana sih, D? Lo ngelamar anak orang, Anjir, bukan lagi ngajak bobo bareng dia. Nggak mungkin lo nggak bawa apa-apa, kan? Modal
Yudhistira baru saja keluar dari mandi setelah lima belas menit lamanya dia menghabiskan waktu di dalam sana untuk membersihkan diri. Satu tangannya masih berada di atas kepalanya, rambutnya yang masih basah membuat pria itu terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya.Seharian ini dia sibuk menyiapkan segalanya. Beruntung ada teman-temannya yang mau direpotkan sampai sejauh ini, hati Yudhistira mendadak hangat sekaligus lega.Pria itu lantas meraih ponselnya di atas nakas. Mencoba menghubungi Julia di seberang sana, hatinya rindu. Yudhistira melekatkan benda pipih itu ke telinga, lalu sedetik kemudian suara Julia terdengar di seberang sana.“Halo, Mas,” sapa perempuan itu dari seberang sana."Bee, lagi ngapain?" tanya Yudhistira."Lagi mastiin persiapan acara, Mas. Udah siap semuanya, sih. Tinggal nunggu Mas sama yang lainnya datang aja nanti.”“Aku ganggu nggak?”“Nggak kok, Mas. Udah selesai semuanya.”“Ada banyak orang yang bakalan datang, ya Bee?” tanya Yudhistira mendadak gugup.“
Julia mengembuskan napasnya dengan perlahan usai panggilannya dengan Yudhistira berakhir. Perempuan itu menatap dirinya melalui pantulan kaca. Tanpa adanya persiapan, acara lamaran ini akan dilangsungkan dan hal itu membuat Julia merasa sedikit gugup.Mungkin memang terkesan mendadak, tapi Julia sama sekali tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Yudhistira yang ingin mempersuntingnya segera. Julia tersenyum kecil saat mengingat bagaimana pria itu terus mendesaknya, sampai pada akhirnya dia sendiri yang bicara dengan Nicolas dan menyatakan niat baiknya. Malam ini akan menjadi malam bersejarah bagi Julia. Dipinang oleh seorang pria yang berhasil membuatnya jatuh cinta hanya dalam sekejap, sungguh tidak ada dalam bayangannya.Dengan balutan dress dengan kombinasi batik, Julia terlihat begitu cantik dan memesona. Sementara rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja hingga menyentuh pundaknya.Perhatian perempuan itu lantas teralihkan saat tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk s