“Mas? Beneran Pak Antasena mau nikah sama cewek yang bukan pacarnya?”Yudhistira lantas menoleh ke samping, lalu terkekeh. “Iya, Bee.”“Wah, sinting semuanya!” Julia geleng-geleng kepala, masih tidak percaya dengan kegilaan orang-orang ini. “Emang pacarnya nggak mau diajak nikah, Mas?”“Nanti kamu tanya sama orangnya langsung aja gimana? Daripada kamu sibuk mikirin mereka yang gila, mending kamu mikirin aku aja?”“Mas!”“Sini, disayang dulu, dong.” Yudhistira menyentuh pipinya dengan jari telunjuknya, sementara tatapannya masih fokus ke depan.Julia terkekeh geli, namun dia juga tidak menolak. Perempuan itu bergerak mendekati Yudhistira, lalu mendaratkan kecupan singkat di wajahnya.“Semua tiket udah aku bantu online check-in tadi, Mas. Termasuk punya Mbak Pradnya. Terus punya Pak Bayusuta, Pak Arjuna, sama Pak Antasena juga udah. Semua include bagasi, tapi kata mereka nggak usah gitu. Terus untuk—”“Bee, really?”Julia mengerjap. “Kenapa?”“Ini semuanya kamu yang ngurusin?” tanya Yud
Akhirnya pesawat komersil yang terbang dari Jakarta mendarat sempurna di Yogyakarta malam itu. Suasana bandara terlihat sepi lantaran mereka sengaja mengambil penerbangan terakhir dari Jakarta. Mereka berjalan melewati pintu kedatangan, dan bergegas menuju ke area penjemputan.“Halo, Pa.”“Nduk, udah sampai di Jogja?”“Udah, Pa. Maaf belum sempat buka hp tadi, Papa. Baru banget turun dari pesawat ini.”“Alhamdulillah kalau begitu. Ini kamu langsung pulang ke rumah atau mau menginap di hotel dulu sama calon suami kamu?”Julia menerbitkan senyumannya. Agak asing saat mendengar Nicolas menyebut Yudhistira sebagai calon suaminya dari seberang sana. Hatinya mendadak terasa hangat.“Aku nginep di hotel dulu, Pa. Baru besok pagi Mas Yudhistira nganterin ke rumah. Acaranya besok malam, nggak apa-apa, kan kalau aku pulangnya besok pagi?”“Nggak apa-apa, Nduk. Papa cuma mau memastikan saja, sih. Lagian semua persiapan di rumah udah siap semua, kok Nduk. Papa juga udah mengundang Pak RT dan Pak
"Mas, bangun. Udah pagi."Suara serak Julia terdengar menyapa indera pendengaran Yudhistira. Perempuan itu menggoyangkan lengan Yudhistira yang tengah terlelap di sampingnya, pria itu hanya menggumam pelan.Entah sampai pukul berapa akhirnya mereka memutuskan untuk terlelap semalam. Perempuan itu tahu semalam mereka berbincang sampai larut.Dan akhirnya keduanya berakhir di atas ranjang, dengan posisi Yudhistira memeluknya semalaman. Tidak ada hal-hal yang menyenangkan yang bisa dilakukan Yudhistira—meskipun dia ingin, tapi dia sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Setidaknya sampai mereka menikah.Julia memberi jarak di antara mereka. Perempuan itu melipat satu tangannya ke atas kepala untuk dijadikan bantalan. Matanya tertuju pada Yudhistira. Dari dalam jarak sedekat ini, Julia bisa mengamati wajah kekasihnya dengan lekat.Bulu-bulu halus di sekitar wajahnya, bulu lentik matanya, juga tahi lalat yang ada di dekat hidungnya. Tangan Julia menjulur ke depan, meraih beberapa hel
"Dari mana lo?"Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Arjuna. Kedua sahabat Yudhistira—Arjuna dan Bayusuta, tengah duduk-duduk santai di restoran pagi itu. Mereka sedang menikmati kopi setelah menikmati sarapan."Dari nganterin Julia pulang." Lalu pria itu menoleh ke sekitar. "Antasena ke mana?""Dia lagi keluar sama Anya tadi. Nggak tahu ke mana."Yudhistira tidak mengacuhkannya. Pria itu lantas berjalan mendekati buffet table untuk menikmati sarapan selagi masih ada waktu."Lo udah nyiapin mau bawa apa ke rumah Julia, Nyet?" tanya Bayusuta saat Yudhistira sudah duduk di hadapannya."Gue mau beli bunga buat dia nanti. Kenapa?""Damn! Lo pikir Julia bakalan kenyang makan bunga doang? Lo pasti udah mikirin mau bawa apa buat keluarga mereka juga, kan?"Yudhistira menggeleng. "Emangnya gue mesti bawa apa?" tanyanya dengan kening mengerut."Fuck! Lo gila apa gimana sih, D? Lo ngelamar anak orang, Anjir, bukan lagi ngajak bobo bareng dia. Nggak mungkin lo nggak bawa apa-apa, kan? Modal
Yudhistira baru saja keluar dari mandi setelah lima belas menit lamanya dia menghabiskan waktu di dalam sana untuk membersihkan diri. Satu tangannya masih berada di atas kepalanya, rambutnya yang masih basah membuat pria itu terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya.Seharian ini dia sibuk menyiapkan segalanya. Beruntung ada teman-temannya yang mau direpotkan sampai sejauh ini, hati Yudhistira mendadak hangat sekaligus lega.Pria itu lantas meraih ponselnya di atas nakas. Mencoba menghubungi Julia di seberang sana, hatinya rindu. Yudhistira melekatkan benda pipih itu ke telinga, lalu sedetik kemudian suara Julia terdengar di seberang sana.“Halo, Mas,” sapa perempuan itu dari seberang sana."Bee, lagi ngapain?" tanya Yudhistira."Lagi mastiin persiapan acara, Mas. Udah siap semuanya, sih. Tinggal nunggu Mas sama yang lainnya datang aja nanti.”“Aku ganggu nggak?”“Nggak kok, Mas. Udah selesai semuanya.”“Ada banyak orang yang bakalan datang, ya Bee?” tanya Yudhistira mendadak gugup.“
Julia mengembuskan napasnya dengan perlahan usai panggilannya dengan Yudhistira berakhir. Perempuan itu menatap dirinya melalui pantulan kaca. Tanpa adanya persiapan, acara lamaran ini akan dilangsungkan dan hal itu membuat Julia merasa sedikit gugup.Mungkin memang terkesan mendadak, tapi Julia sama sekali tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Yudhistira yang ingin mempersuntingnya segera. Julia tersenyum kecil saat mengingat bagaimana pria itu terus mendesaknya, sampai pada akhirnya dia sendiri yang bicara dengan Nicolas dan menyatakan niat baiknya. Malam ini akan menjadi malam bersejarah bagi Julia. Dipinang oleh seorang pria yang berhasil membuatnya jatuh cinta hanya dalam sekejap, sungguh tidak ada dalam bayangannya.Dengan balutan dress dengan kombinasi batik, Julia terlihat begitu cantik dan memesona. Sementara rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja hingga menyentuh pundaknya.Perhatian perempuan itu lantas teralihkan saat tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk s
“Mbak Julie!” Mendengar namanya dipanggil, Julia lantas menghentikan langkahnya lalu menoleh. Dan mendapati Divya tengah berlari menghampirinya.“Hai, Div? Ada apa?” tanya Julia dengan kening mengerut.“Mbak Julie mau ke mana?”“Mau bikin kopi di pantry. Ada apa?”“Ikut,” rengek perempuan itu dengan manja. “Yuk!” Julia sempat mengerutkan keningnya, namun dia memilih untuk tidak bertanya. Keduanya melangkah beriringan menuju pantry kantor detik itu juga. “Kamu nggak sibuk, Div?”Perempuan bawel nan polos itu menggeleng. “Nggak, Mbak. Pak Bayusuta kan sibuk pacaran terus. Alasan doang aja dia lunch meeting, padahal mah, ngabisin dana kantor buat jajan sama pacar-pacarnya!” ujar Divya bersungut-sungut kesal. “Pacaran? Sejak kapan dia punya pacar, Div? Bukannya gosipnya sama kamu, ya?”Divya mencebikkan bibir. “Idih, Mbak. Kalau sama cowok macam Pak Bayusuta yang hobinya minta tolong dibeliin karet di supermarket, mending nggak, deh Mbak.”Divya masih mengingat jelas saat pertama kaliny
Yudhistira terkekeh saat Mahesa membanting pintu pantry sembari menahan wajah kesalnya. Pria itu menoleh ke arah Julia lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir perempuan itu."Mumpung si Anak Singa udah nggak ada, mau dilanjut lagi?"Seketika Julia membelalak. "Mas!"Yudhistira terkekeh. Dia meraih sejumput rambut perempuan itu, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Wajah Julia yang terlihat sedikit berantakan membuat Yudhistira tidak habis pikir dengan tindakannya barusan."Aku tunggu di kantin nanti jam satu ya, Bee. Makan siang bareng sama sekalian bahas persiapan pernikahan kita.""Harus banget dibahas di kantor?""Kalau bahasnya di rumah kamu atau di apartemenku, bisa-bisa malah bahas yang lain-lain, Bee." Yudhistira mengerling nakal ke arah Julia. "Nggak tahu aja kalau nunggu dua bulan lamanya itu berasa kayak dua abad! Kasian yang di bawah sana udah meronta-ronta pengen diajak goyang.""Astaga, Mas! Yang ini dulu gimana? Pak Mahesa pasti ngamuk sama aku," ujar Julia dengan