[Aku nggak apa-apa kok, Sa. Thanks, ya.]Julia lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya, lalu kembali fokus dengan yang lainnya.Waktu sudah menunjuk angka delapan malam saat Yudhistira akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan beberapa jam yang lalu."Biar saya yang jagain Pak Yudhistira, Pak. Kata dokter kondisi Pak Yudhistira sudah mulai stabil. Tinggal nunggu dia sadar. Pak Arjuna, Pak Bayusuta, sama Pak Antasena pasti sibuk, kan? Tanggal merah seperti ini kalian pasti ada acara masing-masing. Saya ditinggal nggak apa-apa, kok.”"Saya nggak ada jadwal kencan, kok Jul." Arjuna mengangkat wajahnya dari layar ponselnya untuk menoleh ke arah Julia."Apalagi saya… saya sudah menolak permintaan panggilan dari wanita manapun,” sambung Bayusuta dengan cepat."Dasar tukang tebar benih!" sungut Julia kepada dua pria yang ada di hadapannya, lalu menoleh ke arah Antasena. "Pak Antasena diam saja? Pasti ada acara, kan? Ditinggal saja nggak apa-apa, Pak."Antasena manggut-manggut. "Sebe
“Sasi hari ini udah lahiran. Kita ke rumah sakit sekarang atau bagaimana?” Suara Arjuna membuat Bayusuta dan Julia yang tengah berdiskusi perihal pekerjaan lantas menoleh.Julia yang tadinya fokus dengan laporannya, lantas menegakkan posisi berdirinya. “Serius, Pak? Caesar, kan ya?”“Iya, Jul. Anaknya kembar.” Arjuna lantas meraih gagang telepon, mencoba menghubungi Yudhistira dan Antasena yang sibuk di ruangan masing-masing agar segera merapat ke ruangan Bayusuta.“Aduh, pasti ganteng sama cantik kayak orang tuanya,” katanya kemudian.Bayusuta mencebikkan bibir. “Yakali, Jul. Bibitnya aja unggul gitu. Bebeb Sasi udah cantik dari lahir. Mahesa menang kaya doang sebenarnya, gantengan juga saya!” kelakarnya tak terima.“Kalau gantengan Bapak, nggak mungkin nikahnya belakangan dong, Pak? Mana diobral pula! Buruan cari calon istri biar nggak kelihatan nggak laku gitu,” cibir Julia dengan entengnya.“Sembarangan! Mentang-mentang kamu udah punya pacar!” sungut Bayusuta tak terima, sementara
"Gimana rencana pernikahan lo sama Julia?" tembak Mahesa begitu mereka tiba di luar ruang rawat Sasi dan duduk di sana. "Beneran udah yakin sama Julia?""Lo ngetes keseriusan gue sama sekretaris lo?" Yudhistira terkekeh. "Come on, Sa. Gue bahkan udah sempat ketemu sama papanya Julia untuk meminta restu, dan direstuin."Mahesa mengedikkan bahu. "In case lo kumat-kumatan lagi. Gue masih belum percaya aja kalau lo sama Julia.""Sama kalau soal itu. Jadi gimana keputusannya? Kapan gue last day?" tanya Yudhistira memastikan."Lo kayaknya pengen banget hengkang dari kantor, ya? Udah ngerasa nggak butuh digaji atau ada perusahaan lain yang kasih gaji lo lebih gede?" sindir Mahesa dengan tenang.Yudhistira seketika tergelak. "Gue udah nggak sabar pengen nikah, Sa."Mahesa menaikkan satu alisnya ke atas. "Nggak sabar pengen bikin anak?""Kalau itu… udah gue cicil. Nggak mau aja kesaing sama lo. Lo udah ada dua, gue juga pengen minimal bikin satu.""Kabar nyokap lo gimana?""Sehat. Akhir-akhir
"Oh, jadi tadi Mas mampir ke panti dulu?"Yudhistira yang tadinya fokus dengan ponselnya, lantas tertegun begitu melihat penampilan Julia.Julia baru saja menyelesaikan riasannya, dan saat ini berjalan mendekatinya dengan satu tangannya yang sibuk memasang anting."Mas?"Baru sedetik kemudian, Yudhistira mengerjap. "Ya gimana, Bee?""Mas ngalamun, ya?""Nggak, kok. Kamu tadi bilang apa?""Mas habis dari jenguk Tante Marsya, ya?"Yudhistira lantas mengangguk. "Iya, Bee. Tadi aku mampir ke panti bentar buat nganterin makanan kesukaan Mama, baru setelah itu ke sini."Pria itu lantas bangkit dari duduknya. Lalu berjalan mendekati Julia yang tampak kesulitan memasang antingnya."Mas, tolong dong!""Harus ditolong banget?""Aku nggak bisa ngunci ini, Mas. Mas nggak mau nolongin?" sungut perempuan itu kesal.Yudhistira menghela napas, tapi akhirnya dia membantu Julia mengenakan anting yang dikenakannya. "Kamu lupa terakhir kali kamu minta tolong aku buat kucirin rambut kamu, terus berakhir j
Setelah memberikan selamat kepada Gauri dan suaminya, Julia dan Yudhistira akhirnya memisahkan diri dengan teman-temannya yang lain.Suasana yang mendadak berubah menjadi canggung, lantaran Julia jarang berkumpul dengan teman-temannya. Akhirnya mereka memilih untuk menghabiskan sisa waktu yang ada di salah satu sudut ruang ballroom.Keduanya duduk berhadapan di salah satu kursi yang sengaja ditata di bagian ruangan tersebut. Ruangan itu langsung menghadap ke arah kolam renang hotel.Yudhistira sedang menikmati kopinya, sementara Julia menikmati es krim rasa coco pandan dengan wajah yang menggemaskan.Sesekali Yudhistira tersenyum melihat bagaimana ekspresi Julia yang sedikit-sedikit berubah. Hatinya bahagia sekaligus hangat.Sadar jika tengah diperhatikan, perempuan itu melirik ke arah Yudhistira. "Kenapa, sih ngeliatnya gitu banget?""Emang nggak boleh?""Boleh, sih. Tapi bayar, ya?""Besok aku lunasin di depan penghulu," jawab Yudhistira dengan entengnya."Bisaan banget, ya?""Mau g
"Mas Yudhistira!" teriak Julia dengan cepat, mendadak dia merasa cemas."Mau apa lo, Brengsek?!" sambar Yudhistira dengan tatapan tajam.Julia berusaha keras menahan Yudhistira untuk tidak murka dengan Aditya. Suasana mendadak berubah menjadi tegang saat pria itu hampir saja mendaratkan pukulan di wajah Aditya, sementara Julia sudah ketakutan karenanya."Mas, stop, Mas. Aditya nggak ngapa-ngapain aku. Dia cuma mau—""Mau apa?" potong Yudhistira dengan cepat."Mas, udah, ya? Lepasin Aditya dulu." Julia mencoba menenangkan kekasihnya. "Aditya nggak ngapa-ngapain aku, kok Mas. Dia nggak mungkin macam-macam sama aku,” ujar perempuan itu berusaha untuk meyakinkan pria itu.Baru setelahnya, Yudhistira melepaskan cengkramannya dari kerah Aditya. Mendorong pria itu agar menjauh, dan langsung menggenggam lengan Julia. Berusaha melindunginya lantaran dia takut kalau-kalau Aditya akan menyerangnya.“Kita pergi dari sini,” ujar Yudhistira dengan cepat.Namun baru saja pria itu hendak melangkahkan
Yudhistira membelokkan mobilnya menuju pelataran parkir di salah satu toko perhiasan yang ada di bilangan Jakarta. Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, keduanya lantas turun dari mobil. Yudhistira menjulurkan tangannya ke depan, menggandeng tangan Julia dengan posesif.“Kamu udah sempat bilang sama Om Nicolas belum, Bee?” tanya pria itu kemudian.“Belum, Mas. Nanti sampai rumah aja kali, ya aku telepon Papa? Kayaknya Papa juga lagi sibuk sekarang.”“Sibuk sama bisnisnya dengan teman yang dari Surabaya itu, ya?”Julia lantas menoleh. “Mas tahu dari mana? Papa cerita sama kamu, ya?”“Hm-mm. Waktu aku ke rumah kamu, Om Nicolas cerita banyak hal. Ya, begitulah ngobrolin soal bisnis.”“Papa tuh suka banget kalau ngomongin soal bisnis dan perekonomian negara. Kayaknya Mas sama Papa cocok, sih kalau udah sama-sama.”“Cocok jadi menantunya gitu, ya?” Sementara Julia memilih untuk tidak menjawab.Alih-alih menyiapkan lamaran yang romantis seperti yang selalu diidam-idamkan oleh keban
"Masih sakit?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Yudhistira. Setelah pergulatan panas yang baru saja dilakukannya dengan Julia, mendadak pria itu berubah menjadi khawatir.Julia lantas menggeleng. "Nggak, kok Mas."Yudhistira mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Julia, lalu mengusap punggung Julia yang masih polos. Di luar sana hujan masih turun cukup deras. Udara dingin yang menyelinap masuk, membuat keduanya enggan beranjak. Bahkan Julia masih ingin melepaskan"Maaf, ya Bee. Aku tadi benar-benar nggak kontrol diri. Sampai-sampai aku lupa memastikan kondisi kamu,” bisiknya dengan nada khawatir.“Nggak, Mas. Sakitnya palingan cuma sedikit, kok.”Lalu Yudhistira menundukkan wajahnya. “Sedikit apa? Perlu ke dokter, nggak?”Julia sontak terkekeh. “Nggak usah berlebihan, Mas. Meskipun sakit, tapi lebih banyak enaknya, kok.”Dan ucapan Julia sontak membuat pria itu tertawa. Entah sudah berapa kali pelepasan dan Yudhistira tidak mampu mengendalikan dirinya. "Udah lama nggak