"Julie seharian ini baik-baik saja, kan Mbak?" tanya Yudhistira kepada Mbak Ira, pria itu baru saja membereskan piring-piring yang digunakan untuk makan malamnya tadi."Baik, kok Mas Yudhistira. Malah udah kelihatan bugar dan segar habis potong rambut tadi,” jawab Mbak Ira kemudian.Yudhistira mengangguk, lalu menoleh ke arah Julia yang saat ini tengah duduk di sofa dengan setoples keripik kentang di pangkuannya, dengan tatapannya terarah pada kotak catur di atas mejanya. Perempuan itu sedang menyusun papan tersebut, lantaran setelah ini mereka akan bermain."Makasih banyak udah bantu saya jagain Julie, ya Mbak.""Sama-sama Mas Yudhistira, lagian saya kalau di rumah juga nggak banyak yang dikerjakan. Sekarang di sini saya bisa melakukan banyak kerjaan, rasanya senang. Mbak Julie ini pacarnya Mas Yudhistira gitu, ya?”"Iya, Mbak Ira. Rencananya saya pengen ngajak dia nikah.”"Wah, saya ikut bahagia, Mas. Semoga juga Ibu lekas pulih dan membaik, ya Mas. Rasanya kangen sekali, sudah bert
YUDHISTIRA sadar betul apa yang harus dilakukannya saat ini. Biar bagaimanapun Julia adalah tujuan hidupnya sekarang. Maka dia perlu memastikan apa yang hendak dilakukannya nanti bisa berjalan sesuai dengan rencananya.Yudhistira mengangkat tangannya ke depan. Lalu mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Tak berselang lama, suara langkah seseorang dari dalam terdengar. Yudhistira mundur selangkah, bersamaan dengan pintu yang ada di hadapannya terbuka. Memunculkan Sasi yang tengah berbadan dua, dengan senyuman memukaunya."Mas Yudhistira?""Hai, Sasi. Apa kabar?""Baik, Mas. Mas Yudhistira apa kabar?""Baik juga. Mahesa ada?"Sasi mengangguk kecil. "Ada, Mas. Barusan banget kami baru selesai sarapan. Sekarang Mas Mahesa lagi di taman belakang sambil baca koran. Masuk, Mas.""Iya."Sasi mendorong pintu ke belakang dan membiarkan Yudhistira melangkah masuk ke dalam. Semenjak Mahesa dirawat di rumah sakit selama sebulan, lalu dia diizinkan untuk pulang, ini pertama kalinya Yudhistira meng
"Mbak Julia, udah sehat beneran, kan? Sakit apa, sih Mbak?""Sakit hati, Ray."Rayya mencebikkan bibirnya. Lalu memutar matanya seperti yang selalu dilakukannya. "Kan udah ada penawarnya. Gosip di kantor, mah nggak usah diambil ati kali, Mbak. Netizen mah diiyain juga mingkem, kok.""Iya, Ray. Saya mah bodo amat, kok. Tapi kamu pasti kaget, ya?""Jelas lah, Mbak!" sungut Rayya berpura-pura kesal. "Dari lantai satu sampai lantai lima puluh dua, coba bayangkan dong! Cuma saya doang yang dekat sama Mbak Julia, kan? Bisa-bisanya Mbak nggak bilang kalau udah ada pacar! Udah gitu pacarnya salah satu BoD di sini pula!""Dekat karena biar kaku gampang nyari info soal Pak Mahesa, kan, Ray?""Dih, Mbak Julia kok nyinyir kayak netizen, sih?" Rayya lantas memindahkan potongan bistik ke piring Julia, lalu tersenyum. "Mbak harus makan yang banyak. Ngelawan netizen yang suka nyinyir butuh tenaga, lho."Julia terkekeh. Dari sekian staf Diamond Group yang ada di gedung yang sama, memang hanya Rayya ya
Julia menghela napas panjang. Tatapannya nanar ke depan, menatap pemandangan kota Jakarta yang terlihat indah, tapi tidak dengan pikirannya yang terlihat kacau.Saat perempuan itu tenggelam oleh pikirannya, ponselnya berdering. Julia merogoh saku celananya, lalu cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan tersebut."Ya, Pak?""Jul, where are you?""Di rooftop, Pak. Bapak perlu sesuatu? Saya turun seka—""Nggak usah, Jul. Kamu lagi istirahat, kan? Nanti saja."Usai mengakhiri panggilannya, Julia menghela napas. Perempuan itu lantas menyimpan ponselnya, lalu bergegas bersiap-siap untuk turun tapi keberadaan Arjuna sudah lebih dulu membuat langkah Julia terhenti."Pak Arjuna nyari saya?""Nggak, kok Jul. Saya juga mau cari angin."Julia manggut-manggut lalu menoleh ke depan. Keduanya kembali tenggelam dalam keterdiaman, sibuk dengan pikiran masing-masing. "Saya juga nggak rela kalau Yudhistira resign, kok Jul."Suara Arjuna membuat Julia mengerjapkan matanya. Perempuan itu lantas men
YUDHISTIRA menghela napas panjang. Di tengah kemacetan yang kini mengular di hadapannya, sesekali pria itu melirik ke samping. Ada sebuah buket bunga yang sengaja disiapkannya untuk sang ibu.[Bee ❤: Mas, lagi di mana? Kok nggak ada kabar sejak semalam?]Yudhistira menerbitkan senyuman. Pria itu lantas meraih earphone-nya, kemudian memasangnya di telinga. Mencoba menghubungi Julia detik itu juga."Kangen, ya?" ujar Yudhistira begitu panggilannya tersambung dengan perempuan itu.Julia mencebikkan bibirnya di seberang sana. "Mas di mana, sih? Seneng banget ngilang-ngilangan, ya?""Bilang kangen dulu, dong Bee. Kali aja habis itu, tiba-tiba aja aku ada di samping kamu."Julia mendesah pelan. "Emang kamu anggota The Eternal?"Yudhistira terkekeh. "Lagi apa, Bee?""Lagi nungguin kabar pacar tapi nggak kunjung kasih kabar!" sungut perempuan itu dari seberang sana.Yudhistira menarik ujung bibirnya ke atas, tak langsung menjawab, lantaran lampu sudah menyala hijau. Pria itu lantas menginjak
YUDHISTIRA tertegun. Dia tidak pernah menyangka jika Lalisa akan bertindak sejauh ini. Datang dan menemui ibunya bukanlah satu hal yang pernah diharapkannya dari perempuan itu, terlebih saat dia pernah ditinggalkan olehnya di masa lalu. Kini tidak ada yang tersisa lagi untuknya."Mama istirahat, ya? Minggu depan aku bakalan ngajak Julia ke sini, hm? Mama pasti jauh lebih tahu bagaimana ngomongin soal rencana pernikahanku sama dia langsung. Pokoknya aku nurut Mama aja."Marsya menggenggam tangannya Yudhistira dengan erat. "Mama nggak pernah lihat senyum kamu selebar ini, Sayang.""Emang biasanya kayak apa, Ma?"Perempuan itu menggeleng. "Beda pokoknya. Mama jadi nggak sabar pengen ketemu sama Julia, Sayang." Lalu pandangan Marsya bergerak ke samping, menatap Lalisa yang berdiri tak jauh darinya. "Kamu akan antar Lalisa pulang juga, kan?"Yudhistira menoleh ke arah Lalisa selama beberapa saat, sebelum kembali menoleh ke arah ibunya. "Yudhistira mau bicara sebentar sama Lalisa, Ma. Sekar
JULIA mendudukkan dirinya di salah satu sudut kafe yang ada di bilangan Jakarta. Pikirannya berkecamuk, suara Lalisa dan Yudhistira kemarin-kemarin kini terngiang di kepalanya.Ada saat di mana Julia menganggap bahwa Yudhistira benar-benar sudah tidak menganggap Lalisa ada—hanya sebagai mantannya, tapi pemandangan yang dilihatnya tadi, membuat Julia harus memikirkan kembali kejujuran kekasihnya itu.Tadinya, Julia ingin memberinya kejutan. Jarak dari kediamannya menuju Sanatorium Dharmawangsa tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit, dan dia akan tiba di sana.Selama ini Julia mencoba melawan Lalisa. Mencoba menyadarkan di mana tempat sang mantan Yudhistira itu seharusnya. Tapi kenyataan bahwa dia harus melihat pemandangan seperti tadi, hatinya terasa perih.Julia menghela napas panjang. Mengabaikan semua panggilan-panggilan yang masuk ke dalam ponselnya—terutama panggilan dari Yudhistira, perempuan itu perlu mendinginkan pikirannya untuk sementara."J
[Aku nggak apa-apa kok, Sa. Thanks, ya.]Julia lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya, lalu kembali fokus dengan yang lainnya.Waktu sudah menunjuk angka delapan malam saat Yudhistira akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan beberapa jam yang lalu."Biar saya yang jagain Pak Yudhistira, Pak. Kata dokter kondisi Pak Yudhistira sudah mulai stabil. Tinggal nunggu dia sadar. Pak Arjuna, Pak Bayusuta, sama Pak Antasena pasti sibuk, kan? Tanggal merah seperti ini kalian pasti ada acara masing-masing. Saya ditinggal nggak apa-apa, kok.”"Saya nggak ada jadwal kencan, kok Jul." Arjuna mengangkat wajahnya dari layar ponselnya untuk menoleh ke arah Julia."Apalagi saya… saya sudah menolak permintaan panggilan dari wanita manapun,” sambung Bayusuta dengan cepat."Dasar tukang tebar benih!" sungut Julia kepada dua pria yang ada di hadapannya, lalu menoleh ke arah Antasena. "Pak Antasena diam saja? Pasti ada acara, kan? Ditinggal saja nggak apa-apa, Pak."Antasena manggut-manggut. "Sebe