Jim terbangun dengan napas memburu. Buliran keringat terlihat berbintik di sekitar dahi serta ujung hidungnya. Tangannya yang juga basah oleh keringat dingin pun meraba tempat di sampingnya yang sudah kosong tanpa penghuni.
Sial! Bagaimana bisa dia seberengsek ini? Apa yang akan terjadi, jika keluarga besarnya mengetahui perbuatan bejatnya kepada Angel nanti? Jim mengusap wajahnya kasar. Dia ingat benar apa saja yang sudah terjadi di kamar ini dan dia pun lekas bangkit dari tempat tidur dengan kondisi tubuh setengah dingin. Dia harus membersihkan diri dan lekas mencari Angel yang sudah dia ... tiduri. *** “Jim! Kau sudah bangun?” Bianca Lee. Wanita paling populer di sekolah yang selama beberapa bulan terakhir menjadi kekasih Jim, datang menemui hanya dengan memakai jubah mandi. Tinggi jubah itu hanya sebatas paha dan begitu saja gadis itu mencuri perhatian. "Kemana kau semalam? Aku mencarimu ke semua tempat tetapi kau menghilang." Gerutuan Bianca, membuat Jim tersenyum sebentar. Niatannya mencari Angelina pun begitu saja tertunda. Lagi pula, si gadis manja yang sudah dia sentuh dengan rakusnya itu tidak akan berani kemana-mana. Si lemah yang selalu menempelinya bagai benalu itu, pasti sebentar lagi datang. "Aku langsung tidur, Bi." sedikit tercekat Jim mengulum bibir. 'dengan Angelina yang aku benci' lanjutnya dalam hati. Jika Bianca sampai tahu yang terjadi, hubungan ini tentu akan berakhir. "Rasanya mengantuk sekali setelah bersenang-senang." Jim mengusap pipi putih Bianca dan Bianca membalasnya dengan kecupan seperti biasa. "Aku tahu kau pasti kelelahan." Senyum manis dan sikap dewasa gadis itulah yang berhasil menarik perhatiannya dan jika dibandingkan dengan Angelina si menyusahkan, tentu saja berbanding 360 derajat. Intinya, apa pun yang Angelina lakukan selalu membuatnya muak. “Oiya, hari ini kita akan pulang. Acara perpisahan kelulusan kita sudah selesai. Dan setelahnya, kita akan berpi—“ “Shh! Tidak akan pernah, Bi. Perpisahan ini tidak akan pernah menjadi perpisahan untuk hubungan kita.” Jim segera membawa gadis itu ke dalam pelukan. Rasa tak rela berpisah dengan gadis manis yang selalu membuatnya senang dan merasa nyaman. Sekali lagi sangat berbeda dengan Angelina yang mengekorinya bagai anak ayam. “Aku mencintaimu, Bianca dan aku pastikan kita kuliah di universitas yang sama. Aku tidak akan pernah membiarkanmu jauh dariku dan setelah kuliah kita selesai, kita akan segera menikah. Aku janji, hanya kau satu-satunya wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. “Hiks!” Tak jauh dari mereka, ada Angelina yang menutup mulutnya kuat-kuat. Berusaha menahan isakan saat perkataan Jim lagi-lagi mematahkan hati. Untuk ke sekian kali menghancurkan mimpi-mimpi. Bodoh! Kau memang bodoh Angelina! Harusnya kau sadar diri, Jika Jim tidak akan pernah membalas perasaanmu sekali pun kau menyerahkan diri. Jim tidak akan pernah menghargai karena yang Jim cintai hanya Bianca seorang diri. Angel menekan dadanya kuat-kuat. Rasa ingin berteriak dan merutuk diri sekalipun akhirnya dia memilih pergi. Kenyataanya, di hadapan Jim dia tetaplah seonggok boneka yang tidak memiliki hati. Serupa benalu yang tidak berarti dan harus tersingkir. Tak! Angelina tersentak. Dikejutkan oleh suara tempat sampah yang terbuka tak jauh dari tempatnya. Refleks, dia pun membasuh wajah. Berusaha menetralkan kulit wajahnya yang mendadak panas. “Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku mengingat kenangan buruk itu sekarang?” 5 tahun memang sudah berlalu dan kilasan buruk itu memang kerap kali datang tanpa kenal waktu. Sialnya setiap kali ingatan itu muncul, rasa sesaknya masih saja ikut. Masih dengan rasa yang sama padahal pria itu sudah dia buang jauh-jauh. Tanpa tersisa sedikit pun, walau hanya seberkas perasaan rindu. Benci? Tentu tidak perlu ditanya lagi. Meski hubungannya dengan Jim tetaplah saudara setelah Jim menyakiti, tentu saja situasinya tidak akan sama lagi. Pria itu telah menjadi asing dan beruntungnya, selama 5 tahun ini tidak pernah ada pertemuan walaupun sekali. “Angel kenapa kau lama sekali!?" Suara Levy yang memekakkan telinga terdengar. Spontan membuat Angel melihat kaca besar di depannya untuk memastikan rona merah di kedua pipinya hilang. Angel menghadap. Disertai senyuman dia menyambut Levy yang sudah menunggu dengan tampang sangar sembari bersedekap dada. Raut wajah kesal Levy sekarang, sungguh seperti induk singa yang siap menerkam. “Hampir 2 jam kau berada di toilet, Angelina. Ya Tuhan … apa saja yang kau lakukan? Apa kau pingsan?" Levy menghembuskan napas pelan. "kelas kita bahkan sudah selesai.” Angel tersenyum tanpa dosa. Terlihat tangguh di depan semua orang memang telah berhasil menutupi luka yang ada. "Aku sedang tidak mood. Maaf." “Maaf apanya? Kau tidak tahu saja jika dosen pengganti itu benar datang." Raut wajah serius Levy, justru Angel jawab dengan candaan. "Ya tidak apa-apa. Masih ada lain waktu 'kan? lagi pula aku belum siap melihat kursi kekuasaan pak Marko ditempati orang lain." Levy meringis. Hampir saja dia mengetuk kening Angel yang 2 jam terakhir telah membuat suasana kelas seperti dunia vampir. “Aku lapar. Kita ke kantin, yuk?” “Hari ini no makan-makan karena kau sedang dalam masalah besar, Angelina.” Levy bersuara dan si tersangka hanya merespons dengan mengerutkan sebelah alisnya. “Masalah? Masalah apa? Perasaan aku tidak membuat masalah dengan siapa-siapa." Angel menutup bibir Levy yang hendak menjawab seraya melanjutkan, "kita bicarakan masalah besar nya di kantin saja sambil makan-makan ya? Demi Tuhan, aku lapar." Sekali lagi Levy menghembuskan napas kasar. Baiklah tidak apa-apa. Mari kita beri waktu sejenak agar Angelina bisa bernapas bebas sebelum tahu masalah besar yang sudah menunggunya.Perancis, 2 tahun yang lalu. Seorang pria dengan setelan jas mahalnya membuka kaca mobil yang berada di sampingnya kemudian melarikan tatapannya ke luar jendela. Tidak banyak perubahan yang terjadi di sana. Semuanya masih sama seperti yang terekam di memori masa kecilnya. Kedatangannya ke negara itu lagi, adalah demi menemui seseorang yang harus dia beri pelajaran karena sudah melakukan kesalahan fatal. Sudah beberapa bulan berlalu, dan duka itu semakin membuat rasa penyesalan tentang ke tidak becusan nya sebagai seorang kakak, terlampau di coret oleh arang hitam. Ya, dia adalah Davio William Alucard. Pembawaannya yang dingin dan tak tersentuh, membuatnya nyaris sempurna kala menuruni sikap tiga pria penguasa melegenda di keluarganya. Alexander, yang arogan dengan julukan king Devil. Maxime, yang dingin penyandang gelar The King Of London, dan ayah Dave sendiri. Peter Scott, yang tak tersentuh sebagai pemegang Thrones tertinggi, The King Of The World yang disegani. Seda
Jim menatap lurus ke depan. Tak peduli dengan kehebohan mahasiswi yang terjadi di sepanjang dia melangkahkan kaki melewati koridor universitas yang terkenal di negeri dengan julukan The Smoke ini. Dia baru masuk universitas sekali, dan siswi menyebalkan yang berani meninggalkan kelasnya, sudah membuatnya menjadi bahan tontonan publik. Bagaimana tidak? Layaknya seperti pria kurang kerjaan, saat ini dia tengah menarik kursi mahasiwi itu ke tengah lapangan basket yang sialnya berada di lantai bawah. Belum kesialan baru di mana dia mendapati jika lift tidak bisa digunakan. Akhirnya, mau tidak mau dia harus melewati tangga darurat dengan raut wajah kesal menahan marah. Rasanya, ingin sekali dia menyantap mahasiswi itu mentah-mentah. "Benar-benar hari yang menyebalkan." Jim menghela napasnya kasar. Salahnya juga kenapa harus merepotkan dirinya dengan hal tak penting ini. Akan tetapi, demi menjaga kedisiplinan serta predikat dosen killer yang harus dia dapatkan selama beberapa bulan
“Jadi, ada masalah apa? Kau bisa mengatakannya sekarang,” ucap Angel sambil mengunyah steik yang dipesannya. Saat ini, mereka sudah berada di kantin universitas. “Kau sadar tidak, jika kau itu tidak kembali ke kelas, saat dosen baru kita--?” “Masuk ke kelas kemudian memperkenalkan dirinya?” potong Angel dengan cepat sehingga membuat Levy menganggukkan kepala dengan wajah seriusnya. “100% persen sadar, Levy. Aku masih terlalu muda untuk kehilangan fungsi ingatanku.” "Lalu kenapa kau tidak muncul? Apa kau tahu akibat dari kecerobohanmu tadi?” “Apa?” “Kursimu dosen itu pindahkan ke ...,” Levy menjeda kalimatnya. Matanya melirik ke kanan kiri, memastikan jika tidak ada penguping di dekat sini. Bagaimana pun, dosen baru itu sudah pasti berhasil mencuri perhatian beberapa mahasiswi. “Ke lapangan basket, Angel." “Whatt the--?!” Angel tersentak luar biasa sampai-sampai pekikannya membuat beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya. “kau serius?" Levy mengangguk dengan wajah mengerucu
"Angel! Kenapa bisa telat sih!?” Wanita berambut panjang nan bergelombang yang terburu duduk dengan napas terputus-putus itu hanya nyengir kuda sembari mengipas wajahnya yang kepanasan. Berlarian dari gerbang menuju kelasnya bukan perkara mudah. Letaknya lumayan berjauhan apalagi dia harus naik tangga karena lift sedang bermasalah. “Sorry, Levy. Ada insiden kecil tadi,” jawabnya sembari menarik napas kasar. Gerak bola matanya yang indah, terpaksa melihat tugas kuliah yang sedang Levy pegang. “Pak Marko memberikan tugas lagi?” desahnya dengan wajah putus asa. Hidup sebagai mahasiswi di tengah kesibukan yang menerpa tentulah tidak mudah. Tuk!Levy mengetuk kening Angel yang sedikit basah oleh bintik keringat. “Jangan bilang kau lupa jika hari ini kita ada kuis, Angelina.” “Astaga ya Tuhan ...,” Angel menelungkupkan wajahnya ke meja. Kerucutkan bibir yang selalu Angel tunjukkan saat putus asa pun terlihat. “Nah, kan ... Aku sudah hafal sama penyakit kronismu yang bernama lupa itu
“Jadi, ada masalah apa? Kau bisa mengatakannya sekarang,” ucap Angel sambil mengunyah steik yang dipesannya. Saat ini, mereka sudah berada di kantin universitas. “Kau sadar tidak, jika kau itu tidak kembali ke kelas, saat dosen baru kita--?” “Masuk ke kelas kemudian memperkenalkan dirinya?” potong Angel dengan cepat sehingga membuat Levy menganggukkan kepala dengan wajah seriusnya. “100% persen sadar, Levy. Aku masih terlalu muda untuk kehilangan fungsi ingatanku.” "Lalu kenapa kau tidak muncul? Apa kau tahu akibat dari kecerobohanmu tadi?” “Apa?” “Kursimu dosen itu pindahkan ke ...,” Levy menjeda kalimatnya. Matanya melirik ke kanan kiri, memastikan jika tidak ada penguping di dekat sini. Bagaimana pun, dosen baru itu sudah pasti berhasil mencuri perhatian beberapa mahasiswi. “Ke lapangan basket, Angel." “Whatt the--?!” Angel tersentak luar biasa sampai-sampai pekikannya membuat beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya. “kau serius?" Levy mengangguk dengan wajah mengerucu
Jim menatap lurus ke depan. Tak peduli dengan kehebohan mahasiswi yang terjadi di sepanjang dia melangkahkan kaki melewati koridor universitas yang terkenal di negeri dengan julukan The Smoke ini. Dia baru masuk universitas sekali, dan siswi menyebalkan yang berani meninggalkan kelasnya, sudah membuatnya menjadi bahan tontonan publik. Bagaimana tidak? Layaknya seperti pria kurang kerjaan, saat ini dia tengah menarik kursi mahasiwi itu ke tengah lapangan basket yang sialnya berada di lantai bawah. Belum kesialan baru di mana dia mendapati jika lift tidak bisa digunakan. Akhirnya, mau tidak mau dia harus melewati tangga darurat dengan raut wajah kesal menahan marah. Rasanya, ingin sekali dia menyantap mahasiswi itu mentah-mentah. "Benar-benar hari yang menyebalkan." Jim menghela napasnya kasar. Salahnya juga kenapa harus merepotkan dirinya dengan hal tak penting ini. Akan tetapi, demi menjaga kedisiplinan serta predikat dosen killer yang harus dia dapatkan selama beberapa bulan
Perancis, 2 tahun yang lalu. Seorang pria dengan setelan jas mahalnya membuka kaca mobil yang berada di sampingnya kemudian melarikan tatapannya ke luar jendela. Tidak banyak perubahan yang terjadi di sana. Semuanya masih sama seperti yang terekam di memori masa kecilnya. Kedatangannya ke negara itu lagi, adalah demi menemui seseorang yang harus dia beri pelajaran karena sudah melakukan kesalahan fatal. Sudah beberapa bulan berlalu, dan duka itu semakin membuat rasa penyesalan tentang ke tidak becusan nya sebagai seorang kakak, terlampau di coret oleh arang hitam. Ya, dia adalah Davio William Alucard. Pembawaannya yang dingin dan tak tersentuh, membuatnya nyaris sempurna kala menuruni sikap tiga pria penguasa melegenda di keluarganya. Alexander, yang arogan dengan julukan king Devil. Maxime, yang dingin penyandang gelar The King Of London, dan ayah Dave sendiri. Peter Scott, yang tak tersentuh sebagai pemegang Thrones tertinggi, The King Of The World yang disegani. Seda
Jim terbangun dengan napas memburu. Buliran keringat terlihat berbintik di sekitar dahi serta ujung hidungnya. Tangannya yang juga basah oleh keringat dingin pun meraba tempat di sampingnya yang sudah kosong tanpa penghuni. Sial! Bagaimana bisa dia seberengsek ini? Apa yang akan terjadi, jika keluarga besarnya mengetahui perbuatan bejatnya kepada Angel nanti? Jim mengusap wajahnya kasar. Dia ingat benar apa saja yang sudah terjadi di kamar ini dan dia pun lekas bangkit dari tempat tidur dengan kondisi tubuh setengah dingin. Dia harus membersihkan diri dan lekas mencari Angel yang sudah dia ... tiduri. *** “Jim! Kau sudah bangun?” Bianca Lee. Wanita paling populer di sekolah yang selama beberapa bulan terakhir menjadi kekasih Jim, datang menemui hanya dengan memakai jubah mandi. Tinggi jubah itu hanya sebatas paha dan begitu saja gadis itu mencuri perhatian. "Kemana kau semalam? Aku mencarimu ke semua tempat tetapi kau menghilang." Gerutuan Bianca, membuat Jim tersenyum se
"Angel! Kenapa bisa telat sih!?” Wanita berambut panjang nan bergelombang yang terburu duduk dengan napas terputus-putus itu hanya nyengir kuda sembari mengipas wajahnya yang kepanasan. Berlarian dari gerbang menuju kelasnya bukan perkara mudah. Letaknya lumayan berjauhan apalagi dia harus naik tangga karena lift sedang bermasalah. “Sorry, Levy. Ada insiden kecil tadi,” jawabnya sembari menarik napas kasar. Gerak bola matanya yang indah, terpaksa melihat tugas kuliah yang sedang Levy pegang. “Pak Marko memberikan tugas lagi?” desahnya dengan wajah putus asa. Hidup sebagai mahasiswi di tengah kesibukan yang menerpa tentulah tidak mudah. Tuk!Levy mengetuk kening Angel yang sedikit basah oleh bintik keringat. “Jangan bilang kau lupa jika hari ini kita ada kuis, Angelina.” “Astaga ya Tuhan ...,” Angel menelungkupkan wajahnya ke meja. Kerucutkan bibir yang selalu Angel tunjukkan saat putus asa pun terlihat. “Nah, kan ... Aku sudah hafal sama penyakit kronismu yang bernama lupa itu