Jim menatap lurus ke depan. Tak peduli dengan kehebohan mahasiswi yang terjadi di sepanjang dia melangkahkan kaki melewati koridor universitas yang terkenal di negeri dengan julukan The Smoke ini.
Dia baru masuk universitas sekali, dan siswi menyebalkan yang berani meninggalkan kelasnya, sudah membuatnya menjadi bahan tontonan publik. Bagaimana tidak? Layaknya seperti pria kurang kerjaan, saat ini dia tengah menarik kursi mahasiwi itu ke tengah lapangan basket yang sialnya berada di lantai bawah. Belum kesialan baru di mana dia mendapati jika lift tidak bisa digunakan. Akhirnya, mau tidak mau dia harus melewati tangga darurat dengan raut wajah kesal menahan marah. Rasanya, ingin sekali dia menyantap mahasiswi itu mentah-mentah. "Benar-benar hari yang menyebalkan." Jim menghela napasnya kasar. Salahnya juga kenapa harus merepotkan dirinya dengan hal tak penting ini. Akan tetapi, demi menjaga kedisiplinan serta predikat dosen killer yang harus dia dapatkan selama beberapa bulan ke depan agar tak ada seorang pun yang berani macam-macam, memberi mahasiswi itu hukuman tentulah tidak boleh dia sia-siakan. Biar semua orang tahu, siapa pun yang berani mengusik ketenangannya selama menjadi dosen pengganti di universitas ini, akan mendapat hukuman setimpal seperti mahasiswi pemilik kursi ini. Jim melepaskan pegangannya pada lengan kursi yang dia jinjing sehingga membuat kursi itu tergeletak cukup sadis. Baginya, membawa kursi itu sampai ke tengah lapangan tidak ada apa-apanya, pun mengangkat 20 kursi sekalipun, ototnya lebih dari mampu untuk melakukannya. Akan tetapi, untuk ukuran seorang mahasiswi yang lemah, pastilah hukuman yang dia berikan kali ini akan memberikan efek jera. Tak lama kemudian, beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang penasaran akan kelanjutan drama baru antara dosen baru itu dengan pemilik kursi yang tak lain adalah Angelina, mulai berdatangan. Mereka bahkan memadati kursi penonton seolah ingin menyaksikan sebuah pertandingan. Hal baru ini tentu saja membuat mereka penasaran, apa saja yang akan dilakukan oleh dosen baru yang mendikte dirinya sebagai dosen anti masalah itu ketika bertemu dengan si biang masalah yang sampai saat ini belum kelihatan batang hidungnya. "Ke mana perginya Angelina? Kenapa dia belum muncul juga?" "Si Levy sudah memberitahunya atau belum sih?" "Aduh, malah aku yang deg-degan menunggu kelanjutan drama ini." Bisik-bisik di kursi tribun memadati. Rasa tak sabar menunggu Angelina datang, bahkan sampai membuat mereka melihat ke beberapa pintu masuk. Tak ingin melewatkan satu detik pun dari kelanjutan drama ini berlangsung. Jim mulai jengah menunggu. Dia pun melihat jam tangan elegan yang melingkar di pergelangan tangannya, dan menunjukkan jika dia sudah menunggu sekitar setengah jam yang lalu dan ini sangat membuang-buang waktu. Jika bukan karena sebuah tantangan, mana mau dia menyibukkan diri dengan menjadi dosen dan berhadapan dengan manusia-manusia kekanakan seperti yang berada di depannya sekarang? Pekerjaan kantornya menunggu dan jauh lebih menghasilkan dari pada ini semua. Sebenarnya, tanpa gelar dosen pun dia sudah berhasil membuat semua orang tunduk dan tak berani walau untuk sekadar mengangkat kepala. Tapi sekarang? Lagi-lagi rahang Jim mengetat. Kelas sudah bubar sejak 45 menit yang lalu dan waktu istirahat juga sudah hampir habis. Tapi kenapa pemilik kursi itu belum juga menampakkan diri? Dia sudah merelakan waktu, tenaga, dan juga menjadi bahan tontonan para mahasiswi yang membuatnya jengah. Lalu berada di mana pemilik kursi sekarang? Apa dia takut sehingga tak berani menemuinya? Jim memilih duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Mengatur pernapasannya yang mulai berembus kasar karena rasa jengkel yang membuat kepalanya berasap. Baru kali ini ada seseorang yang berani mempermainkannya dan itu pun sebanyak 2 kali dalam sehari. 15 menit Jim hanya akan menunggu si mahasiswi pembangkang itu selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit si pembangkang itu belum juga menemuinya di sini, maka jangan salahkan dia jika surat peringatan pertama akan melayang ke depan pintu rumahnya. "Whoo ... sepertinya, akan terjadi masalah besar." "Ya. Mahasiswi yang masuk ke dalam list hitam Mr. Jim belum juga datang." Mendengar grasah-grusuh para mahasiswa di sana jelas saja membuat kekesalan Jim meningkat 3 kali lipat. Jika saja, dia tidak menjaga citranya, sudah dia teriaki para mahasiswa itu untuk kembali ke kelas. "Ya Tuhan, ada apa dengan hari ini?" sekali lagi Jim membatin frustasi. Dia pun melarikan tatapannya ke sembarang arah. Berharap mahasiswi itu datang dan membuat kekesalannya mereda dengan minta maaf. Namun, tiba-tiba saja terdengar langkah kaki mendekat. Hal itu pun, membuat Jim menolehkan kepalanya ke asal sumber suara. Mendadak manik matanya berkilat tajam begitu siluet yang mendatanginya adalah seorang mahasiswi. Mahasiswi yang sudah pasti membuatnya darah tinggi. Tangan Jim yang berada di dalam saku celana mengepal begitu mahasiswi itu semakin mendekat. Dia tengah bersiap untuk melontarkan kata-kata mutiara yang sudah membuat panas rongga dada. Namun, pada kenyataannya adalah Jim harus mendapati jika keberadaannya kembali dipermainkan. “Maaf, Mr. Sa-saya hanya ingin memberi tahu jika te-teman saya tidak bisa menemui Anda. Dia sudah--” “Enough!” Mahasiswi yang tak lain adalah Levy, jelas saja tersentak saat mendengar suara Jim yang sarat akan ancaman menakutkan. Tak jauh berbeda dengannya, para penonton yang memadati tribun pun mendadak hening tanpa bersuara. Mereka tau, jika pria jangkung yang berdiri di sana tengah marah besar. Hukuman yang ingin dosen itu tunjukkan di hari pertamanya mengajar, malah gagal total karena si korban memilih lari tunggang langgang. “Dia akan menerima surat peringatan pertama dari saya. Menggenapi surat ke tiga, maka bersiaplah untuk dikeluarkan dari universitas ini detik itu juga!" Jangankan Levy, semua mahasiswa yang berada di sana ikut menelan salivanya kasar. Wajah mereka mendadak pias. Ancaman seperti ini, belum pernah ada selama mereka menjadi mahasiswa. Sekarang, mereka hanya bisa berdoa semoga saja mereka tidak pernah berurusan dengan dosen menakutkan yang entah dari mana datangnya. *** Merebahkan dirinya di atas kasur, adalah hal yang paling Jim nantikan setelah seharian ini. Menerima tantangan dengan menjadi dosen pengajar, ternyata bukan perkara mudah. Apalagi, di hari pertama dia masuk universitas, ada saja ulah-ulah para bocah yang membuatnya kesal. Jim bangkit dari posisinya tadi kemudian mengambil botol air mineral yang ada di atas nakas lantas meneguknya hingga tandas. Perutnya bergemuruh hebat karena dia belum makan apa pun sejak tadi siang. Di tempat ini pun dia tidak bisa menemukan apa-apa untuk dia makan karena dia tidak lagi memiliki pelayan seperti biasa. Mulai sekarang dia harus melakukan semuanya sendirian. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan lain-lainnya. Lantas kenapa semua ini bisa terjadi? Tentu saja karena tantangan dari paman Peter dan juga Davio yang mau tidak mau harus dia terima. Sekalipun enggan, sensasi dunia baru ini harus dia jelajahi sampai di selesai. Sampai dirinya berhasil keluar sebagai pemenang dan mendapatkan kuasa penuh atas perusahaan ayahnya. Langkah kaki Jim menapaki lantai yang dingin. Tubuh atletis nya terpampang--menampakkan dada bidang yang yang liat. Sebuah pemandangan indah yang menggiurkan walaupun sangat disayangkan ada bekas tertinggal di sana. "Angelina ...." Raut wajah Jim mendadak berubah. Ada kesalahan besar yang begitu saja menjungkir balikkan dunianya. Membuatnya kehilangan satu-satunya saudara wanita yang dia punya. Sahabat sekaligus korban kekejamannya dan entah berada di mana sekarang.“Jadi, ada masalah apa? Kau bisa mengatakannya sekarang,” ucap Angel sambil mengunyah steik yang dipesannya. Saat ini, mereka sudah berada di kantin universitas. “Kau sadar tidak, jika kau itu tidak kembali ke kelas, saat dosen baru kita--?” “Masuk ke kelas kemudian memperkenalkan dirinya?” potong Angel dengan cepat sehingga membuat Levy menganggukkan kepala dengan wajah seriusnya. “100% persen sadar, Levy. Aku masih terlalu muda untuk kehilangan fungsi ingatanku.” "Lalu kenapa kau tidak muncul? Apa kau tahu akibat dari kecerobohanmu tadi?” “Apa?” “Kursimu dosen itu pindahkan ke ...,” Levy menjeda kalimatnya. Matanya melirik ke kanan kiri, memastikan jika tidak ada penguping di dekat sini. Bagaimana pun, dosen baru itu sudah pasti berhasil mencuri perhatian beberapa mahasiswi. “Ke lapangan basket, Angel." “Whatt the--?!” Angel tersentak luar biasa sampai-sampai pekikannya membuat beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya. “kau serius?" Levy mengangguk dengan wajah mengerucu
"Angel! Kenapa bisa telat sih!?” Wanita berambut panjang nan bergelombang yang terburu duduk dengan napas terputus-putus itu hanya nyengir kuda sembari mengipas wajahnya yang kepanasan. Berlarian dari gerbang menuju kelasnya bukan perkara mudah. Letaknya lumayan berjauhan apalagi dia harus naik tangga karena lift sedang bermasalah. “Sorry, Levy. Ada insiden kecil tadi,” jawabnya sembari menarik napas kasar. Gerak bola matanya yang indah, terpaksa melihat tugas kuliah yang sedang Levy pegang. “Pak Marko memberikan tugas lagi?” desahnya dengan wajah putus asa. Hidup sebagai mahasiswi di tengah kesibukan yang menerpa tentulah tidak mudah. Tuk!Levy mengetuk kening Angel yang sedikit basah oleh bintik keringat. “Jangan bilang kau lupa jika hari ini kita ada kuis, Angelina.” “Astaga ya Tuhan ...,” Angel menelungkupkan wajahnya ke meja. Kerucutkan bibir yang selalu Angel tunjukkan saat putus asa pun terlihat. “Nah, kan ... Aku sudah hafal sama penyakit kronismu yang bernama lupa itu
Jim terbangun dengan napas memburu. Buliran keringat terlihat berbintik di sekitar dahi serta ujung hidungnya. Tangannya yang juga basah oleh keringat dingin pun meraba tempat di sampingnya yang sudah kosong tanpa penghuni. Sial! Bagaimana bisa dia seberengsek ini? Apa yang akan terjadi, jika keluarga besarnya mengetahui perbuatan bejatnya kepada Angel nanti? Jim mengusap wajahnya kasar. Dia ingat benar apa saja yang sudah terjadi di kamar ini dan dia pun lekas bangkit dari tempat tidur dengan kondisi tubuh setengah dingin. Dia harus membersihkan diri dan lekas mencari Angel yang sudah dia ... tiduri. *** “Jim! Kau sudah bangun?” Bianca Lee. Wanita paling populer di sekolah yang selama beberapa bulan terakhir menjadi kekasih Jim, datang menemui hanya dengan memakai jubah mandi. Tinggi jubah itu hanya sebatas paha dan begitu saja gadis itu mencuri perhatian. "Kemana kau semalam? Aku mencarimu ke semua tempat tetapi kau menghilang." Gerutuan Bianca, membuat Jim tersenyum se
Perancis, 2 tahun yang lalu. Seorang pria dengan setelan jas mahalnya membuka kaca mobil yang berada di sampingnya kemudian melarikan tatapannya ke luar jendela. Tidak banyak perubahan yang terjadi di sana. Semuanya masih sama seperti yang terekam di memori masa kecilnya. Kedatangannya ke negara itu lagi, adalah demi menemui seseorang yang harus dia beri pelajaran karena sudah melakukan kesalahan fatal. Sudah beberapa bulan berlalu, dan duka itu semakin membuat rasa penyesalan tentang ke tidak becusan nya sebagai seorang kakak, terlampau di coret oleh arang hitam. Ya, dia adalah Davio William Alucard. Pembawaannya yang dingin dan tak tersentuh, membuatnya nyaris sempurna kala menuruni sikap tiga pria penguasa melegenda di keluarganya. Alexander, yang arogan dengan julukan king Devil. Maxime, yang dingin penyandang gelar The King Of London, dan ayah Dave sendiri. Peter Scott, yang tak tersentuh sebagai pemegang Thrones tertinggi, The King Of The World yang disegani. Seda
“Jadi, ada masalah apa? Kau bisa mengatakannya sekarang,” ucap Angel sambil mengunyah steik yang dipesannya. Saat ini, mereka sudah berada di kantin universitas. “Kau sadar tidak, jika kau itu tidak kembali ke kelas, saat dosen baru kita--?” “Masuk ke kelas kemudian memperkenalkan dirinya?” potong Angel dengan cepat sehingga membuat Levy menganggukkan kepala dengan wajah seriusnya. “100% persen sadar, Levy. Aku masih terlalu muda untuk kehilangan fungsi ingatanku.” "Lalu kenapa kau tidak muncul? Apa kau tahu akibat dari kecerobohanmu tadi?” “Apa?” “Kursimu dosen itu pindahkan ke ...,” Levy menjeda kalimatnya. Matanya melirik ke kanan kiri, memastikan jika tidak ada penguping di dekat sini. Bagaimana pun, dosen baru itu sudah pasti berhasil mencuri perhatian beberapa mahasiswi. “Ke lapangan basket, Angel." “Whatt the--?!” Angel tersentak luar biasa sampai-sampai pekikannya membuat beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya. “kau serius?" Levy mengangguk dengan wajah mengerucu
Jim menatap lurus ke depan. Tak peduli dengan kehebohan mahasiswi yang terjadi di sepanjang dia melangkahkan kaki melewati koridor universitas yang terkenal di negeri dengan julukan The Smoke ini. Dia baru masuk universitas sekali, dan siswi menyebalkan yang berani meninggalkan kelasnya, sudah membuatnya menjadi bahan tontonan publik. Bagaimana tidak? Layaknya seperti pria kurang kerjaan, saat ini dia tengah menarik kursi mahasiwi itu ke tengah lapangan basket yang sialnya berada di lantai bawah. Belum kesialan baru di mana dia mendapati jika lift tidak bisa digunakan. Akhirnya, mau tidak mau dia harus melewati tangga darurat dengan raut wajah kesal menahan marah. Rasanya, ingin sekali dia menyantap mahasiswi itu mentah-mentah. "Benar-benar hari yang menyebalkan." Jim menghela napasnya kasar. Salahnya juga kenapa harus merepotkan dirinya dengan hal tak penting ini. Akan tetapi, demi menjaga kedisiplinan serta predikat dosen killer yang harus dia dapatkan selama beberapa bulan
Perancis, 2 tahun yang lalu. Seorang pria dengan setelan jas mahalnya membuka kaca mobil yang berada di sampingnya kemudian melarikan tatapannya ke luar jendela. Tidak banyak perubahan yang terjadi di sana. Semuanya masih sama seperti yang terekam di memori masa kecilnya. Kedatangannya ke negara itu lagi, adalah demi menemui seseorang yang harus dia beri pelajaran karena sudah melakukan kesalahan fatal. Sudah beberapa bulan berlalu, dan duka itu semakin membuat rasa penyesalan tentang ke tidak becusan nya sebagai seorang kakak, terlampau di coret oleh arang hitam. Ya, dia adalah Davio William Alucard. Pembawaannya yang dingin dan tak tersentuh, membuatnya nyaris sempurna kala menuruni sikap tiga pria penguasa melegenda di keluarganya. Alexander, yang arogan dengan julukan king Devil. Maxime, yang dingin penyandang gelar The King Of London, dan ayah Dave sendiri. Peter Scott, yang tak tersentuh sebagai pemegang Thrones tertinggi, The King Of The World yang disegani. Seda
Jim terbangun dengan napas memburu. Buliran keringat terlihat berbintik di sekitar dahi serta ujung hidungnya. Tangannya yang juga basah oleh keringat dingin pun meraba tempat di sampingnya yang sudah kosong tanpa penghuni. Sial! Bagaimana bisa dia seberengsek ini? Apa yang akan terjadi, jika keluarga besarnya mengetahui perbuatan bejatnya kepada Angel nanti? Jim mengusap wajahnya kasar. Dia ingat benar apa saja yang sudah terjadi di kamar ini dan dia pun lekas bangkit dari tempat tidur dengan kondisi tubuh setengah dingin. Dia harus membersihkan diri dan lekas mencari Angel yang sudah dia ... tiduri. *** “Jim! Kau sudah bangun?” Bianca Lee. Wanita paling populer di sekolah yang selama beberapa bulan terakhir menjadi kekasih Jim, datang menemui hanya dengan memakai jubah mandi. Tinggi jubah itu hanya sebatas paha dan begitu saja gadis itu mencuri perhatian. "Kemana kau semalam? Aku mencarimu ke semua tempat tetapi kau menghilang." Gerutuan Bianca, membuat Jim tersenyum se
"Angel! Kenapa bisa telat sih!?” Wanita berambut panjang nan bergelombang yang terburu duduk dengan napas terputus-putus itu hanya nyengir kuda sembari mengipas wajahnya yang kepanasan. Berlarian dari gerbang menuju kelasnya bukan perkara mudah. Letaknya lumayan berjauhan apalagi dia harus naik tangga karena lift sedang bermasalah. “Sorry, Levy. Ada insiden kecil tadi,” jawabnya sembari menarik napas kasar. Gerak bola matanya yang indah, terpaksa melihat tugas kuliah yang sedang Levy pegang. “Pak Marko memberikan tugas lagi?” desahnya dengan wajah putus asa. Hidup sebagai mahasiswi di tengah kesibukan yang menerpa tentulah tidak mudah. Tuk!Levy mengetuk kening Angel yang sedikit basah oleh bintik keringat. “Jangan bilang kau lupa jika hari ini kita ada kuis, Angelina.” “Astaga ya Tuhan ...,” Angel menelungkupkan wajahnya ke meja. Kerucutkan bibir yang selalu Angel tunjukkan saat putus asa pun terlihat. “Nah, kan ... Aku sudah hafal sama penyakit kronismu yang bernama lupa itu