#1
"Silakan akhiri hubungan kalian!" seru seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung ke atas layaknya seorang sosialita itu. Matanya menyorot sinis pada seorang gadis muda yang duduk menunduk di hadapannya."Ma, jangan keras-keras!" sergah lelaki muda yang duduk di kursi yang ada di sisinya."Gadis miskin dan udik sepertimu harusnya sadar dengan siapa bermain cinta! Bisa-bisanya kamu bermimpi menjadi ratu dengan memacari putraku!" kecamnya lagi. Gadis di hadapannya tak berkutik. Ia menahan bulir-bulir bening yang hendak jatuh sekuat tenaga."Tapi, Ma … Sera sedang mengandung bayiku!" sergah pemuda bernama Brian itu. Ia sungguh tak menyangka dengan reaksi mamanya yang tak hentinya melontarkan kata pedas pada Sera. Jauh dari ekspektasinya yang mengira mamanya akan merestui hubungan mereka."Diam kamu!" sentak wanita itu lagi. Kali ini tangan mulus yang mulai muncul keriput itu menggebrak meja hingga para pengunjung restoran itu menoleh. Menjadikan mereka bertiga sebagai tontonan gratis dan berakhir saling berbisik di meja mereka masing-masing. "Ini. Gugurkan bayi itu dan pergi jauh dari hidup Brian!" tegasnya angkuh seraya menyodorkan amplop yang cukup tebal ke arah Sera. Tubuhnya seketika menegang. Sera seakan mendapat kekuatan untuk mengangkat wajahnya dan membalas tatapan nyalang wanita pongah itu."Cukup, Nyonya! Berhenti menghinaku!" desisnya tertahan. Ia terus bertahan untuk mengendalikan amarahnya yang sudah sampai pada puncaknya."Beraninya kamu menggertakku! Lihatlah, Brian! Wanita seperti dia yang kamu pilih, hah! Sudah miskin, minim sopan santun pula!" "Sudah, Ma. Tolong … Brian malu jadi pusat perhatian karena suara mama yang keras!" protes Brian setengah berbisik. "Saya hanya meminta pertanggung jawaban Brian, putra anda! Dia yang menghamili saya, apa itu salah?" Suara Sera bergetar. Yakinlah, dia sudah berusaha menahan kobaran amarah dalam jiwanya. "Jelas! Jelas itu salah! Seharusnya kamu tahu diri dan jangan pernah memulai hubungan dengan anak saya! Kamu dan Brian bagaikan langit dan bumi! Jadi, harusnya kamu sadar dari awal kalau Brian hanya main-main denganmu!" Sera menatap Brian tajam. Ia merasa tertipu dan dibodohi dengan segala tingkah manis lelaki itu dulu, saat berusaha mendapatkan hatinya. Padahal dia begitu gigih menolak Brian kala itu, tapi Brian pun pantang menyerah untuk mendapatkan cinta Sera dulu. Brian menggeleng samar seakan mengatakan jika Sera tak boleh menelan mentah-mentah apa yang baru saja didengarnya."Kamu paham, 'kan? Dari awal hubungan kalian sudah salah. Jadi, akhiri saja, dan ambillah uang itu!" serunya keras.Sera tak gentar. Dia terus membalas tatapan Nyonya Danira, ibu dari lelaki yang sempat mengisi hatinya itu. Ia menghirup napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kecewa sudah pasti dirasakannya saat melihat Brian seakan tak berniat membela dan mengatakan jika hubungan mereka berawal dari cinta. Perasaan indah namun berduri itu bernama cinta. Kini, duri itu berhasil mencabik-cabiknya tanpa ampun."Baiklah, Nyonya. Saya akan pergi dari kehidupan Brian, dan saya berjanji tidak akan lagi mengganggu kehidupan kalian. Tapi, saya juga tidak mau menerima uang ini!" Sera meraih tumpukan uang itu lalu melemparnya kasar ke arah Nyonya Danira.Sontak wanita itu memelototkan matanya dan memaki Sera dengan berbagai macam hujatan. Emosinya meledak tak terima jika gadis miskin seperti Sera berani melempar uang itu padanya. "Ayo, kita pergi, Ma!" Brian berbisik seraya terus menahan tubuh Nyonya Danira untuk tidak merangsek menyerang Sera. Gadis itu bergeming di tempatnya. Ia seakan tak peduli jika kuku-kuku runcing milik Nyonya Danira mencakar pipi mulusnya. Atau tangannya berhasil menarik rambut-rambut di kulit kepalanya. Sera tak peduli. Rasa sakit yang ditimbulkan dari serangan itu tak sebanding dengan sakit yang telah menghujam seluruh ruang di hatinya. Hilang sudah kepercayaannya pada cinta juga pada makhluk bernama lelaki. Mereka sama saja, pikirnya.'Habis manis, sepah dibuang!' desisnya dalam hati. Tangannya mengepal kuat.Brian sudah berhasil menenangkan mamanya dan mereka kini sudah berada di luar restoran. Ia menatap sekilas Sera yang masih duduk termangu di dalam restoran itu. "Maafkan aku, Sera." Brian berucap lirih ketika dirinya tak dapat tegas dan melakukan sesuatu untuk mempertahankan Sera dan bayinya. Bayi tak berdosa itu harus ada karena mereka melakukannya dengan saling cinta dan penuh kepasrahan. *Sera masih termangu dengan tatapan kosongnya. Amplop berisi uang yang tak sedikit itu ia hiraukan. Batinnya menangis. Mengingat semua penghinaan untuknya. Ia masih menikmati kepahitannya dicampakkan dalam diam. Gadis itu memeluk meja dan menyembunyikan wajahnya di sana.Masih dapat ia dengar bisikan dari para pengunjung restoran itu membicarakan apa saja yang telah terjadi padanya. Ia memilih acuh dan berpura-pura tuli.Sementara itu, seorang pria dengan postur rahang tegas yang ditumbuhi sedikit bulu, menyunggingkan senyum penuh makna. Meskipun ia tak melihat langsung drama itu, tetapi dari tempatnya berada pun pria itu mampu menganalisa yang sedang terjadi di meja yang tepat berada di belakangnya. 'Kau masih sama seperti dulu. Arogan dan egois, Nyonya Danira.' Pria itu membatin dalam hatinya. Sebuah ide gila terbit seketika di benaknya.Derit kursi bergeser terdengar saat pria berpostur jangkung itu berdiri dari duduknya. Ia melangkah menghampiri sosok gadis putus asa yang masih bergelung dengan kepedihannya."Jangan lemah, dan balaskan dendammu pada wanita sombong tadi!" ujar pria itu to the point setelah mengambil posisi duduk di meja tempat Sera mencoba membuang lara di hatinya. Sera tersentak mendengar suara yang asing baginya itu. Ia mengangkat wajahnya, dan seketika mendapati raut wajah dingin dan tampak kejam dari pria di hadapannya. "Siapa kamu?" tanya Sera menautkan alisnya. Ia tidak mengenal pria itu tapi bagaimana bisa pria itu menyarankannya untuk balas dendam pada Nyonya Danira yang baru saja mempermalukannya. "Saya? Tidak penting kamu tahu siapa saya, yang jelas saya bisa membantumu kalau kamu mau!" Pria pemilik sorot mata tajam itu menawarkan bantuan. "Maaf, saya tidak kenal anda!" Sera kesal karena dia merasa aneh dengan sosok yang ada di hadapannya. Gadis itu pun bersiap untuk beranjak pergi. Ia meraih tas selempangnya dan lantas berdiri. Ia mengabaikan pria asing yang masih duduk dengan tenang di kursinya."Menikahlah dengan saya! Maka akan saya bantu menuntaskan balas dendammu pada wanita tadi, Nyonya Danira juga seluruh keluarganya!" ujar pria pemilik nama Leon itu.Mendengar nama itu disebut, Sera menghentikan langkahnya sejenak. Entah bagaimana ucapan pria itu membangkitkan gairahnya untuk membalas dendam pada keluarga Brian. Tapi …."Saya masih waras dan tidak mungkin menikahi orang yang tidak saya kenal. Permisi!" ketus Sera menatap tajam mata elang milik Leon. Tatapan mereka sempat beradu sejenak. Lalu, tanpa menoleh lagi Sera kembali menjejakkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Leon tertawa hambar. Pria itu semakin tertantang untuk membuat gadis itu menjadi miliknya. Bukan karena cinta, sesuatu yang manis itu tidak ada di dalam kamus hidupnya. Melainkan untuk sebuah dendam!"Sepertinya permainan ini akan sangat … menarik!" gumamnya sambil bersiul riang.#2Perlakuan kasar dan tak senonoh yang diberikan oleh Nyonya Danira masih terus membekas di dalam ingatannya. Seumur hidupnya, ia tidak akan pernah melupakan perlakuan buruk itu. "Kenapa? Kamu datang dan membuatku yakin. Tapi, sekarang. Kamu seolah lupa dengan semua tutur kata manis dan janji yang dulu pernah kau lontarkan padaku. Brengsek sekali kamu, Brian!" Sera berteriak frustrasi.Masih terasa hangat di dalam benaknya, bagaimana pria yang dulu datang dengan senegap cinta di hatinya itu hanya berdiri menatap dirinya tanpa melakukan pembelaan barang sedikit pun. Sudah jelas, mereka melakukan semua itu berdua. Tentu seharusnya yang bertanggung jawab atas janin yang ada dalam perutnya itu bukan hanya dirinya melainkan juga Brian.Buliran hangat yang tampak bening itu tak mampu lagi ditahan oleh Sera. Bulir-bulir itu mengalir tanpa henti membasahi seluruh wajahnya. Hancur sudah semua harapan Sera. Imajinanya yang dulu pernah liar, membayangkan kehidupan membahagiakan bersama denga
#3Ting! Pintu lift yang ditujukan ke arah lantai paling atas pun kini mulai terbuka lebar. Tampak jelas jika lift itu hanya digunakan khusus oleh seorang atasan yang memimpin perusahaan besar itu.Seorang pria dengan tubuh tegap dan gagahnya itu pun lantas keluar dari dalam lift khusus untuk dirinya."Selamat siang, Pak!" Secara berulang, kalimat sapaan itu terus saja terdengar di telinga Leon.Seperti biasanya, ia hanya menganggukkan kepalanya singkat tanpa mengatakan balasan apapun. Kakinya yang panjang tampak melangkah lebar menuju ke ruangan beratas namakan dirinya.Sorot matanya yang tajam mulai terlihat membuatnya menjadi angkuh. "Gadis yang menarik. Aku yakin, kamu pasti akan aku dapatkan. Nggak ada yang bisa menampikkan kenyataan yang valid ini," gumamnya pada diri sendiri. Leon menyeringai membuat garis guratan pada wajahnya yang kini tampak sulit untuk dimengerti artinya.Pandangannya pun kini mulai menyapu seluruh sudut ruangan kantor itu. Beberapa saat setelah pandang
#4Sementara itu, Lydia lalu mengiringi sang sahabat untuk masuk ke dalam kostnya. Ia merasa tidak enak dengan para tetangga yang mulai melihat aneh ke arah dirinya dan sang sahabat. Keduanya berpelukan diambang pintu dengan satu gadis yang menangis terisak penuh."Aku sama sekali nggak tau harus kayak gimana lagi, Lydia. Apa yang udah terjadi sekarang nggak bisa aku kontrol lagi. Semuanya seolah terjadi begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku udah nggak tau harus kayak gimana lagi. Hidupku semuanya sudah benar-benar berantakan sekali, Lydia." Tangisan Sera pun kembali pecah. Ia sama sekali tidak bisa menahan dirinya lagi. Wajahnya kini basah oleh air mata yang jatuh berduyun-duyun. Berulang kali, ia tampak mencoba untuk menenangkan diri namun lagi-lagi air matanya turun tanpa henti maupun dikomando."Apa yang sudah terjadi, Sera? Mengapa kamu bisa jadi seperti ini? Apa sesuatu besar yang kamu maksud saat ini? Berantakan? Apa maksudmu? Aku sama sekali nggak ngerti sama yang kamu maksud
#5"Pelayan!"Suara panggilan yang akhir-akhir ini sudah tak asing di telinga Sera pun seketika membuatnya bergegas menghampiri pelanggan itu."Baik, Pak. Anda ingin memesan menu apa saja? Akan saya catat dalam daftar pesanan anda," jawab Sera sembari membuka buku kecil yang senantiasa berada dalam genggamannya itu.Pria yang datang bersama dengan istrinya itu pun lantas mulai berdiskusi sejenak mengenai menu yang akan mereka pesan.Ada sekitar empat jenis menu yang kemudian dipesan oleh pelanggan restoran itu."Baik, Pak. Apakah ada yang mau ditambahkan lagi?" tanya Sera memastikan."Tidak ada lagi, Mbak. Cukup itu saja." Sera mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya berlalu meninggalkan sang pelanggan untuk mengantarkan kertas pesanan itu ke meja dapur."Untuk meja nomor 7 ya, Mbak." "Oke siap, Sera. Ditunggu, ya!" balas chef restoran itu ramah.Sudah berhari-hari lamanya, Sera menjalani pekerjaannya sebagai seorang pelayan di salah satu restoran di kotanya. Tentu saja, semua in
#6"Apa kamu menyetujuinya?" Sera bertanya hati-hati. Leon yang kala itu terdiam bermaksud memikirkan betapa puasnya ia dengan kenyataan jika Sera telah setuju akan tawarannya lantas tersadar. Ia lalu menatap sang wanita dengan sorot mata yang menyorot tajam. Sera tertegun sejenak, menatap lama wajah pria itu jujur saja benar-benar membuat Sera cukup merasa seram. Mengingat bagaimana wajahnya yang penuh akan raut jutek dan acuh tak acuhnya. Bisa Sera katakan, wajah Leon sangat mirip dengan karakter bos kaya raya berwajah menyeramkan dan dingin seperti di film-film biasanya. "Apa kamu pikir saya akan menolaknya?" tanya balik Leon dengan nada mematikan lawannya. Perlahan, tampak bagaimana Sera yang menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu. Saya … hanya ingin memastikannya saja," sahut Sera mencoba tenang. Ia tidak ingin sampai terlihat sedang takut di hadapan pria itu. Leon bergeming, mengandalkan wajah yang tampak sangar itu. Ia lantas menatap tak berkedip ke arah sang wanita.
#7"Permisi, Mbak. Kalau mau naik bus kota nunggunya benar di sini, kan?" Sera yang kala itu tampak menatap lurus dengan pikiran kosongnya pun seketika tersadar begitu mendengar sebuah suara menyeru dirinya. "Gimana, Kak?" tanya Sera mencoba memastikan pertanyaan yang diajukan oleh gadis berusia lebih muda darinya itu. "Ini, Mbak. Saya mau tanya, apa benar kalau mau naik bus kota kita nunggunya di sini?" ulangi gadis itu lagi akan pertanyaannya. Sera pun lalu menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan. "Biasanya sebentar lagi bus kotanya bakalan datang, Kak," sahut Sera pada gadis itu. Tak berselang lama setelah kalimat yang diutarakan oleh Sera itu, bus kota pun akhirnya datang dan berhenti tepat di hadapan keduanya. Ucapan terima kasih tampak keluar dari mulut gadis yang bertanya pada Sera itu. Masih sama seperti sebelumnya, Sera hanya menganggukkan kepalanya pelan. Sera menatap kosong ke arah kursi duduk yang ada di bus itu. Terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mul
#8"Aku dan dia sudah menyiapkan kontrak perjanjian pernikahannya. Ke depannya dia pasti akan kabarkan kapan waktu dan tempat kami menggelar pernikahan kami." Kini, Lydia semakin dibuat heran dengan pengakuan yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Entah apa yang telah merasuki akal dan pikiran dari wanita itu, Lydia sendiri pun sama sekali tidak mengetahuinya. Lydia benar-benar tak habis pikir dengan keputusan impulsif yang dikatakan oleh sang sahabat. "Lalu? Apa kamu yakin jika keputusan yang kamu ambil sekarang adalah keputusan yang tepat dan benar?" tanya Lydia memastikan. Sera terdiam sejenak, jika ditanya apakah ini keputusan yang benar atau tidak jujur Sera juga tidak mengerti. Namun yang pasti jika dirinya ingin balas dendam itu terbalaskan, hanya inilah jalan satu-satunya yang bisa Sera tempuh. "Aku gak begitu yakin tentang keputusan ini memang sudah benar atau tidak. Tapi yang aku tau, ini adalah satu-satunya keputusan yang bisa aku ambil jika aku ingin membalaskan den
Cukup lama Sera hanyut dalam pemikiran tentang alasan Leon menginginkan pernikahan kontrak bersama dengannya membuat wanita itu akhirnya menyerah untuk melakukannya. "Kamu yakin gak tau soal alasan dia mau melakukan pernikahan kontrak ini denganmu?" tanya Lydia tampak memastikan. Sera yang kala itu baru sadar dari lamunan memikirkan alasan Leon tampak mengalihkan pandangannya ke arah sang sahabat.Sera kemudian mengedikkan bahunya. Pasalnya selama pertemuan mereka. Leon nyatanya tak pernah mengatakan apa pun tentang alasan dirinya membalas dendam pada Nyonya Danira dan Brian."Aku pernah tanya sama dia, tepatnya pas pertemuan kami tadi. Tapi, sepertinya dia nggak ingin membahas apalagi memberitahukannya padaku." Sera berucap dengan gamblang. Itulah kenyataan yang ia dapat selama ini. Menurutnya, bukan masalah yang besar juga jika Leon tak ingin mengatakan alasan tersendiri dari diri pria itu."Terus kamu gak berusaha ngorek tentang alasan dia gitu?" tanya Lydia pada sang sahabat. D