#7
"Permisi, Mbak. Kalau mau naik bus kota nunggunya benar di sini, kan?" Sera yang kala itu tampak menatap lurus dengan pikiran kosongnya pun seketika tersadar begitu mendengar sebuah suara menyeru dirinya. "Gimana, Kak?" tanya Sera mencoba memastikan pertanyaan yang diajukan oleh gadis berusia lebih muda darinya itu. "Ini, Mbak. Saya mau tanya, apa benar kalau mau naik bus kota kita nunggunya di sini?" ulangi gadis itu lagi akan pertanyaannya. Sera pun lalu menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan. "Biasanya sebentar lagi bus kotanya bakalan datang, Kak," sahut Sera pada gadis itu. Tak berselang lama setelah kalimat yang diutarakan oleh Sera itu, bus kota pun akhirnya datang dan berhenti tepat di hadapan keduanya. Ucapan terima kasih tampak keluar dari mulut gadis yang bertanya pada Sera itu. Masih sama seperti sebelumnya, Sera hanya menganggukkan kepalanya pelan. Sera menatap kosong ke arah kursi duduk yang ada di bus itu. Terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya sebelum akhirnya, Sera mengambil tempat duduk paling akhir dan pojok. "Apa keputusan yang aku ambil sudah benar?" Sera bergumam di dalam batinnya. Entah mengapa tiba-tiba saja rasanya Sera menjadi ragu kala itu. Sepanjang perjalanan menuju arah pulang, Sera terus memikirkan keputusan anti mainstream yang ia ambil. Menikah untuk balas dendam? Sungguh, hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Sera sebelumnya. Hanya ada pernikahan sekali seumur hidup bersama pria yang sangat dicintainya dan hidup bahagia bersama hingga maut memisahkan. Hanya ada pernikahan yang indah itu saja yang selama ini hinggap di dalam pemikiran Sera. Akan tetapi, kini pemikiran itu seketika lenyap dan musnah. Bergantikan dengan pernikahan yang harus terjadi demi terbalasnya dendam. Sera tau, balas dendam bukanlah suatu hal yang dapat dibenarkan. Akan tetapi, jika Sera tetap diam dan membiarkan kedua matanya menyaksikan betapa Brian hidup bahagia tanpa ada beban seperti dirinya. Tentu saja, Sera tidak akan menerima semua kenyataan itu. Sera merasa itu tidak adil. Tak heran, jika akhirnya ia menerima begitu saja penawaran tak masuk akal dari Leon itu."Aku gak boleh ragu. Apa yang sudah aku putuskan, pasti semuanya sudah benar. Semoga semua akan berjalan dengan sebaik-baiknya." Sera bergumam mengakhiri. Lama Sera hanyut dalam khayalan dan imajinasinya akan keputusan gila yang ia ambil, tak terasa bus yang ditumpanginya pun sudah berhenti tepat di halte bus. Sera kemudian turun dari bus itu sembari berjalan santai menuju ke arah rumah, tempatnya tinggal sekarang ini.Jika dihitung jarak antara rumah Lydia dengan halte bus ini mungkin berjarak sekitar 200 meter. Tidak jauh memang, tapi untuk ukuran wanita berbadan dua seperti Sera sekarang mungkin cukup jauh. "Keputusanmu sudah benar, Sera. Ayolah pikiran! Jangan lagi memikirkan hal itu. Sudah cukup!" Sera memejamkan matanya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Wanita itu tampak berusaha keras untuk melupakan keputusan yang dibuatnya itu. Ditengah perjalanannya, tiba-tiba saja muncul pemikiran tentang apakah ia akan memberitahukan hal ini pada sang sahabat atau tidak. Cukup lama Sera bertahan pada pemikirannya, sekitar 5 menit setelahnya tepat ketika langkah kakinya berhenti di hadapan sebuah rumah milik Lydia itu. Barulah keputusan diambil oleh wanita itu. "Aku tidak mungkin merahasiakannya dari Lydia. Lydia perlu tahu hal ini," putus Sera pada akhirnya.***"Wangi dan segar banget rasanya setelah tadi mandi." Sera mencium aroma tubuhnya sendiri yang menurutnya begitu harum. Tampak setelah itu, kedua sorot mata Sera memandang ke arah jam dinding yang ada di atas rak televisi di rumah Lydia itu. "Hmm.. sekitar 30 menit lagi baru si Lydia pulang. Pasti akan membosankan jika tidak ada aktivitas yang aku kerjakan. Kira-kira, aku ngapain ya biar gak bosan?" Sera tampak bergumam seraya mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya di dagunya. Sera pun kemudian terlihat mulai menyapu pandangannya pada seluruh sudut rumah milik sahabatnya itu. "Bersih-bersih sepertinya bukan hal yang buruk." Sera lalu menganggukkan kepalanya sejenak seraya melebarkan senyuman di wajahnya. Ia kemudian bergegas mulai merapikan segala pernak-pernik yang ada di rumah Lydia itu. Lantai yang dirasanya tampak kotor itu pun mulai Sera sapu bahkan juga pel. Kini, rumah Lydia benar-benar terlihat bersih dan begitu terawat. "Huek!" Tiba-tiba saja, perut Sera terasa tidak enak. Buru-buru wanita itu bergegas menuju kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Sera berpegangan pada gagang pintu kamar mandi itu. Rasanya tubuhnya kini tak mampu menopang bobotnya lagi. Kakinya lemas dan kepalanya terasa pusing. Padahal dulu, Sera sangat berharap saat ia mengalami mual begini akan ada Brian yang setia menemaninya, merawatnya dan menjaganya. Namun, semua itu hanya khayalan yang tak pernah akan terwujudkan. "Sera? Aku pulang!" seru Lydia dari arah pintu masuk rumahnya. Tanpa bertanya lagi, darimana Lydia tau jika Sera sudah pulang ke rumah. Tentu hal itu dapat diketahui oleh wanita itu dari sandal dan juga pintu rumahnya yang tak terkunci lagi.Lydia terlihat cemas begitu membuka rumah tapi tak juga menemukan sang sahabat. "Sera!"Lydia berseru khawatir ketika mendapati sang sahabat yang tampak bersandar lemas di pintu kamar mandinya itu. Buru-buru Lydia membantu sang sahabat untuk duduk di ruang tamu rumahnya. "Kamu tuh ngeyelan banget ya, Sera. Udah dibilangin istirahat aja, gak usah kerja apa pun. Sekarang sakit lagi, kan?!" Lydia tampak memandang sang sahabat kesal. Pasalnya, Sera memang begitu batu setiap kali diperingati oleh Lydia. Sera tersenyum dengan wajah pucatnya, ia mencoba untuk menenangkan emosi sang sahabat."Aku gak apa-apa kok, Lydia. Justru kalo lagi hamil gak boleh mageran," sahut Sera membuat Lydia hanya bisa menghela nafas panjang. Ia lalu mencoba mengalihkan pembicaraan diantara keduanya. "Oh ya, ini aku bawa makanan favorit kamu. Sekarang mending kita makan aja ya." Lydia berseru sembari mengambil bungkus makanan yang dibelinya.Bagaimanapun juga saat hamil tentunya Sera tak boleh sampai banyak pikiran, mengingat ocehan Lydia yang takutnya terlalu banyak hingga membuat wanita itu memikirkannya. Lydia tentu tidak ingin sampai hal itu terjadi. "Biar aku yang ambil piringnya." Lydia langsung berdiri dan bergegas pergi menuju dapur. Ia tidak ingin sampai Sera bergerak kemana pun lagi. Sera tersenyum mendapati sang sahabat yang begitu perhatian padanya."Terima kasih! Terima kasih banyak Lydia buat makanannya," ucap Sera berterima kasih. Keduanya pun lantas mulai makan lahap makanan yang dibeli oleh Lydia. Sesekali, mereka saling bertukar kisah tentang apa yang terjadi hari ini. "Senang deh denger kamu dapat nilai bagus di kampus," sahut Sera meletakkan piring kotornya. "Biar aku yang cuci nanti." Lydia langsung menegaskan. "Lydia. Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan.""Bicaralah," sahut Lydia santai."Jadi, aku…." Lydia sontak terbelalak begitu mendengar seluruh cerita yang diutarakan oleh sang sahabat. Ia benar-benar tak habis pikir jika Sera akan mengambil keputusan begitu."Ka–kamu serius?" tanyanya tak percaya.***#8"Aku dan dia sudah menyiapkan kontrak perjanjian pernikahannya. Ke depannya dia pasti akan kabarkan kapan waktu dan tempat kami menggelar pernikahan kami." Kini, Lydia semakin dibuat heran dengan pengakuan yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Entah apa yang telah merasuki akal dan pikiran dari wanita itu, Lydia sendiri pun sama sekali tidak mengetahuinya. Lydia benar-benar tak habis pikir dengan keputusan impulsif yang dikatakan oleh sang sahabat. "Lalu? Apa kamu yakin jika keputusan yang kamu ambil sekarang adalah keputusan yang tepat dan benar?" tanya Lydia memastikan. Sera terdiam sejenak, jika ditanya apakah ini keputusan yang benar atau tidak jujur Sera juga tidak mengerti. Namun yang pasti jika dirinya ingin balas dendam itu terbalaskan, hanya inilah jalan satu-satunya yang bisa Sera tempuh. "Aku gak begitu yakin tentang keputusan ini memang sudah benar atau tidak. Tapi yang aku tau, ini adalah satu-satunya keputusan yang bisa aku ambil jika aku ingin membalaskan den
Cukup lama Sera hanyut dalam pemikiran tentang alasan Leon menginginkan pernikahan kontrak bersama dengannya membuat wanita itu akhirnya menyerah untuk melakukannya. "Kamu yakin gak tau soal alasan dia mau melakukan pernikahan kontrak ini denganmu?" tanya Lydia tampak memastikan. Sera yang kala itu baru sadar dari lamunan memikirkan alasan Leon tampak mengalihkan pandangannya ke arah sang sahabat.Sera kemudian mengedikkan bahunya. Pasalnya selama pertemuan mereka. Leon nyatanya tak pernah mengatakan apa pun tentang alasan dirinya membalas dendam pada Nyonya Danira dan Brian."Aku pernah tanya sama dia, tepatnya pas pertemuan kami tadi. Tapi, sepertinya dia nggak ingin membahas apalagi memberitahukannya padaku." Sera berucap dengan gamblang. Itulah kenyataan yang ia dapat selama ini. Menurutnya, bukan masalah yang besar juga jika Leon tak ingin mengatakan alasan tersendiri dari diri pria itu."Terus kamu gak berusaha ngorek tentang alasan dia gitu?" tanya Lydia pada sang sahabat. D
"I miss you so much, Honey!" Terdengar suara gemericik air yang menemani percakapan antara dua insan yang berbeda negara itu. "Aku juga sangat merindukanmu, Honey. Sangat amat merindukanmu." Suara bass yang begitu berat itu terdengar membalas ucapan yang diutarakan oleh wanitanya. Tampak wanita cantik dengan rambut coklat burgundy itu tengah berendam santai di dalam bathup di kamar mandinya. Dia adalah kekasih Leon yang memiliki nama Ruby. "Bagaimana dengan kabarmu, Honey?" tanya Ruby dari balik teleponnya. Sesekali, Ruby tampak memainkan kedua kakinya di dalam air itu. Menimbulkan suara air yang dapat didengar jelas oleh Leon yang ada di balik panggilan telepon itu."Menjadi lebih baik setelah mendengar suara indahmu, Honey." Leon berujar dengan kalimat menggodanya. Terlihat kini Ruby yang mulai tersipu malu mendengar gombalan dari sang kekasih. "Apa kau sedang mandi?" tanya Leon setelahnya. Ruby pun tampak mengangguk meski ia sadar sang pria tidak akan melihat tingkahnya i
"Honey? Apa semuanya baik-baik saja?" Ruby merasa heran dengan sang kekasih yang justru hanya diam sedari tadi.Hingga tak lama setelahnya. Tiba-tiba saja panggilan video call yang baru saja terhubung itu pun lantas dimatikan begitu saja oleh Leon tanpa menanggapi kalimat pernyataan maupun pertanyaan dari Ruby. "What? Dia matiin telpon dari aku?" tanya Ruby berdialog dengan dirinya sendiri. Sejenak, Ruby tampak memikirkan alasan dibalik sang kekasih mematikan sambungan telepon mereka itu. Apakah pria itu tidak merasa senang dengan kalimatnya yang menyatakan jika ia akan ke Indonesia bulan depan? "Apa dia tidak suka jika aku datang ke Indonesia? Ah, ayolah. Mana mungkin kekasihmu itu akan menolak kedatanganmu, Ruby." Ruby kemudian menjawab sendiri pertanyaan yang muncul di dalam dirinya. Lagipula mana mungkin Leon akan mengacuhkan dirinya saat nanti wanita itu berada di negara pria
"Huh? Oke. Aku akan dat—"Sera membelalakkan matanya kesal. Baru saja ia akan menyelesaikan kalimatnya, pria itu justru sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon secara sepihak."Astaga … apakah ini adil? Dia bahkan mengganggu waktu tidurku. Sedangkan aku? Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku tapi dia bahkan seenaknya mematikan teleponnya. Dasar pria angkuh!" Sera memberengut marah.Rasanya ingin sekali ia bersikeras untuk tetap melanjutkan tujuan awalnya yakni tidur dengan lelap. Alih-alih menemui pria arogan yang kerap semena-mena padanya itu. Akan tetapi, mengingat siapa sosok Leon dan betapa berpengaruhnya Leon di ibukota tempatnya tinggal ini membuat Sera lantas mengurungkan niatnya. Bergegas Sera keluar dari kamarnya dan menemui sosok pria yang katanya sudah menunggu di depan rumah kontrakannya. "Kalau bukan karena kosan ini punya orang dan takut Lydia bakalan diusir, aku pasti gak akan menghiraukannya." Sera menggerutu sepanjang jalan dirinya melangkah menuju pintu l
"Tapi sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Satu hal yang saya tau, di mana saat sebuah perjanjian telah diikrarkan. Hanya ada satu kata yang bisa menjadi jawabannya yakni menepatinya." Sera terdengar mulai mengajukan protesnya pada pria dengan wajah dingin di hadapannya itu.Jika pria bernama Leon itu dapat bersikeras pada kebenaran yang dipegangnya maka Sera juga seharusnya bertingkah demikian."Pak! Halo? Pak! Anda masih ada di dalam tubuh besar ini, kan?" Sera melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah pria itu. Leon yang baru sadar dari lamunannya pun sontak menggelengkan kepalanya cepat. "Beraninya kamu?!" sentak Leon menatap tajam wanita yang dianggapnya tidak sopan itu.Sera menelan salivanya begitu kasar. Entah mengapa, setiap kali mendapati kalimat tegas yang keluar dari mulut Leon begini rasanya nafas Sera tercekat saat itu juga."Menurut pembelajaran yang dulu pernah saya dapatkan saat berada di bangku sekolah." Sera lantas memberi jarak antara dirinya dan juga Leon. Ras
"Hoam… tidurku rasanya benar-benar nyenyak dan menyegarkan." Sera lantas menggeliatkan tubuhnya cukup lama. Kedua tangannya sengaja ia bentangkan ke udara hingga tak lama terdengar suara pertemuan antar tulang itu yang seketika beradu mengisi suasana di sekitarnya. Huoekkk!Tak lupa, rutinitas pagi yang tak pernah luput dari hari Sera ialah rasa mual pada perutnya itu. Bergegas Sera turun dari tempat tidurnya dan berlari ke kamar mandi. Masih pagi memang tapi seluruh cairan bahkan apapun yang semalam dikonsumsi oleh Sera kini telah habis tuntas, dikeluarkan oleh wanita itu. "Sampai kapankah aku akan terus mual begini? Perutku rasanya benar-benar gak nyaman," gumam Sera memejamkan matanya sambil menahan nyeri.Ia kemudian duduk sejenak di ujung tempat tidurnya itu mencoba menenangkan perutnya yang tampak tak bisa diajak kompromi itu. "Senyenyak apa pun aku tertidur. Setiap pagi pasti akan tetap saja sama. Memiliki masalah dengan mual dan muntah ini." Sera berdecak tak menyangka j
"Apa Pak Leon sudah menunggu di butik yang akan kita tuju?" Tepat saat Sera menyadari mobil mewah yang membawanya itu sudah begitu dekat dengan tempat tujuannya pun, barulah wanita itu berani menanyakan hal yang sudah mengganjal dalam dirinya sedari tadi.Tampak bagaimana Alex yang masih fokus pada kemudinya, terlihat mulai menganggukkan kepalanya perlahan."Sudah, Nona. Tuan Leon sudah menunggu kedatangan kita berdua dari beberapa waktu lalu," balas Alex membuat Sera kini kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat duduk di mobil itu.Sera benar-benar merasa bosan dengan suasana dingin dan canggung di mobil itu. Entah bawaan dari bayi yang sedang dikandungnya atau apa, rasanya Sera tak ingin diam begini terus-terusan."Apa butik yang kita tuju masih jauh?" tanya Sera tepat 30 detik setelah pertanyaannya sebelumnya. "Sebentar lagi, Nona. Kita akan segera sampai," balas Alex dengan nada suara ramahnya. Sera terlihat mendekatkan tubuhnya di antara dua kursi yang ada di jok de