#1"Silakan akhiri hubungan kalian!" seru seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung ke atas layaknya seorang sosialita itu. Matanya menyorot sinis pada seorang gadis muda yang duduk menunduk di hadapannya."Ma, jangan keras-keras!" sergah lelaki muda yang duduk di kursi yang ada di sisinya."Gadis miskin dan udik sepertimu harusnya sadar dengan siapa bermain cinta! Bisa-bisanya kamu bermimpi menjadi ratu dengan memacari putraku!" kecamnya lagi. Gadis di hadapannya tak berkutik. Ia menahan bulir-bulir bening yang hendak jatuh sekuat tenaga."Tapi, Ma … Sera sedang mengandung bayiku!" sergah pemuda bernama Brian itu. Ia sungguh tak menyangka dengan reaksi mamanya yang tak hentinya melontarkan kata pedas pada Sera. Jauh dari ekspektasinya yang mengira mamanya akan merestui hubungan mereka."Diam kamu!" sentak wanita itu lagi. Kali ini tangan mulus yang mulai muncul keriput itu menggebrak meja hingga para pengunjung restoran itu menoleh. Menjadikan mereka bertiga sebagai tontonan g
#2Perlakuan kasar dan tak senonoh yang diberikan oleh Nyonya Danira masih terus membekas di dalam ingatannya. Seumur hidupnya, ia tidak akan pernah melupakan perlakuan buruk itu. "Kenapa? Kamu datang dan membuatku yakin. Tapi, sekarang. Kamu seolah lupa dengan semua tutur kata manis dan janji yang dulu pernah kau lontarkan padaku. Brengsek sekali kamu, Brian!" Sera berteriak frustrasi.Masih terasa hangat di dalam benaknya, bagaimana pria yang dulu datang dengan senegap cinta di hatinya itu hanya berdiri menatap dirinya tanpa melakukan pembelaan barang sedikit pun. Sudah jelas, mereka melakukan semua itu berdua. Tentu seharusnya yang bertanggung jawab atas janin yang ada dalam perutnya itu bukan hanya dirinya melainkan juga Brian.Buliran hangat yang tampak bening itu tak mampu lagi ditahan oleh Sera. Bulir-bulir itu mengalir tanpa henti membasahi seluruh wajahnya. Hancur sudah semua harapan Sera. Imajinanya yang dulu pernah liar, membayangkan kehidupan membahagiakan bersama denga
#3Ting! Pintu lift yang ditujukan ke arah lantai paling atas pun kini mulai terbuka lebar. Tampak jelas jika lift itu hanya digunakan khusus oleh seorang atasan yang memimpin perusahaan besar itu.Seorang pria dengan tubuh tegap dan gagahnya itu pun lantas keluar dari dalam lift khusus untuk dirinya."Selamat siang, Pak!" Secara berulang, kalimat sapaan itu terus saja terdengar di telinga Leon.Seperti biasanya, ia hanya menganggukkan kepalanya singkat tanpa mengatakan balasan apapun. Kakinya yang panjang tampak melangkah lebar menuju ke ruangan beratas namakan dirinya.Sorot matanya yang tajam mulai terlihat membuatnya menjadi angkuh. "Gadis yang menarik. Aku yakin, kamu pasti akan aku dapatkan. Nggak ada yang bisa menampikkan kenyataan yang valid ini," gumamnya pada diri sendiri. Leon menyeringai membuat garis guratan pada wajahnya yang kini tampak sulit untuk dimengerti artinya.Pandangannya pun kini mulai menyapu seluruh sudut ruangan kantor itu. Beberapa saat setelah pandang
#4Sementara itu, Lydia lalu mengiringi sang sahabat untuk masuk ke dalam kostnya. Ia merasa tidak enak dengan para tetangga yang mulai melihat aneh ke arah dirinya dan sang sahabat. Keduanya berpelukan diambang pintu dengan satu gadis yang menangis terisak penuh."Aku sama sekali nggak tau harus kayak gimana lagi, Lydia. Apa yang udah terjadi sekarang nggak bisa aku kontrol lagi. Semuanya seolah terjadi begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku udah nggak tau harus kayak gimana lagi. Hidupku semuanya sudah benar-benar berantakan sekali, Lydia." Tangisan Sera pun kembali pecah. Ia sama sekali tidak bisa menahan dirinya lagi. Wajahnya kini basah oleh air mata yang jatuh berduyun-duyun. Berulang kali, ia tampak mencoba untuk menenangkan diri namun lagi-lagi air matanya turun tanpa henti maupun dikomando."Apa yang sudah terjadi, Sera? Mengapa kamu bisa jadi seperti ini? Apa sesuatu besar yang kamu maksud saat ini? Berantakan? Apa maksudmu? Aku sama sekali nggak ngerti sama yang kamu maksud
#5"Pelayan!"Suara panggilan yang akhir-akhir ini sudah tak asing di telinga Sera pun seketika membuatnya bergegas menghampiri pelanggan itu."Baik, Pak. Anda ingin memesan menu apa saja? Akan saya catat dalam daftar pesanan anda," jawab Sera sembari membuka buku kecil yang senantiasa berada dalam genggamannya itu.Pria yang datang bersama dengan istrinya itu pun lantas mulai berdiskusi sejenak mengenai menu yang akan mereka pesan.Ada sekitar empat jenis menu yang kemudian dipesan oleh pelanggan restoran itu."Baik, Pak. Apakah ada yang mau ditambahkan lagi?" tanya Sera memastikan."Tidak ada lagi, Mbak. Cukup itu saja." Sera mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya berlalu meninggalkan sang pelanggan untuk mengantarkan kertas pesanan itu ke meja dapur."Untuk meja nomor 7 ya, Mbak." "Oke siap, Sera. Ditunggu, ya!" balas chef restoran itu ramah.Sudah berhari-hari lamanya, Sera menjalani pekerjaannya sebagai seorang pelayan di salah satu restoran di kotanya. Tentu saja, semua in
#6"Apa kamu menyetujuinya?" Sera bertanya hati-hati. Leon yang kala itu terdiam bermaksud memikirkan betapa puasnya ia dengan kenyataan jika Sera telah setuju akan tawarannya lantas tersadar. Ia lalu menatap sang wanita dengan sorot mata yang menyorot tajam. Sera tertegun sejenak, menatap lama wajah pria itu jujur saja benar-benar membuat Sera cukup merasa seram. Mengingat bagaimana wajahnya yang penuh akan raut jutek dan acuh tak acuhnya. Bisa Sera katakan, wajah Leon sangat mirip dengan karakter bos kaya raya berwajah menyeramkan dan dingin seperti di film-film biasanya. "Apa kamu pikir saya akan menolaknya?" tanya balik Leon dengan nada mematikan lawannya. Perlahan, tampak bagaimana Sera yang menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu. Saya … hanya ingin memastikannya saja," sahut Sera mencoba tenang. Ia tidak ingin sampai terlihat sedang takut di hadapan pria itu. Leon bergeming, mengandalkan wajah yang tampak sangar itu. Ia lantas menatap tak berkedip ke arah sang wanita.
#7"Permisi, Mbak. Kalau mau naik bus kota nunggunya benar di sini, kan?" Sera yang kala itu tampak menatap lurus dengan pikiran kosongnya pun seketika tersadar begitu mendengar sebuah suara menyeru dirinya. "Gimana, Kak?" tanya Sera mencoba memastikan pertanyaan yang diajukan oleh gadis berusia lebih muda darinya itu. "Ini, Mbak. Saya mau tanya, apa benar kalau mau naik bus kota kita nunggunya di sini?" ulangi gadis itu lagi akan pertanyaannya. Sera pun lalu menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan. "Biasanya sebentar lagi bus kotanya bakalan datang, Kak," sahut Sera pada gadis itu. Tak berselang lama setelah kalimat yang diutarakan oleh Sera itu, bus kota pun akhirnya datang dan berhenti tepat di hadapan keduanya. Ucapan terima kasih tampak keluar dari mulut gadis yang bertanya pada Sera itu. Masih sama seperti sebelumnya, Sera hanya menganggukkan kepalanya pelan. Sera menatap kosong ke arah kursi duduk yang ada di bus itu. Terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mul
#8"Aku dan dia sudah menyiapkan kontrak perjanjian pernikahannya. Ke depannya dia pasti akan kabarkan kapan waktu dan tempat kami menggelar pernikahan kami." Kini, Lydia semakin dibuat heran dengan pengakuan yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Entah apa yang telah merasuki akal dan pikiran dari wanita itu, Lydia sendiri pun sama sekali tidak mengetahuinya. Lydia benar-benar tak habis pikir dengan keputusan impulsif yang dikatakan oleh sang sahabat. "Lalu? Apa kamu yakin jika keputusan yang kamu ambil sekarang adalah keputusan yang tepat dan benar?" tanya Lydia memastikan. Sera terdiam sejenak, jika ditanya apakah ini keputusan yang benar atau tidak jujur Sera juga tidak mengerti. Namun yang pasti jika dirinya ingin balas dendam itu terbalaskan, hanya inilah jalan satu-satunya yang bisa Sera tempuh. "Aku gak begitu yakin tentang keputusan ini memang sudah benar atau tidak. Tapi yang aku tau, ini adalah satu-satunya keputusan yang bisa aku ambil jika aku ingin membalaskan den