"Honey? Apa semuanya baik-baik saja?" Ruby merasa heran dengan sang kekasih yang justru hanya diam sedari tadi.Hingga tak lama setelahnya. Tiba-tiba saja panggilan video call yang baru saja terhubung itu pun lantas dimatikan begitu saja oleh Leon tanpa menanggapi kalimat pernyataan maupun pertanyaan dari Ruby. "What? Dia matiin telpon dari aku?" tanya Ruby berdialog dengan dirinya sendiri. Sejenak, Ruby tampak memikirkan alasan dibalik sang kekasih mematikan sambungan telepon mereka itu. Apakah pria itu tidak merasa senang dengan kalimatnya yang menyatakan jika ia akan ke Indonesia bulan depan? "Apa dia tidak suka jika aku datang ke Indonesia? Ah, ayolah. Mana mungkin kekasihmu itu akan menolak kedatanganmu, Ruby." Ruby kemudian menjawab sendiri pertanyaan yang muncul di dalam dirinya. Lagipula mana mungkin Leon akan mengacuhkan dirinya saat nanti wanita itu berada di negara pria
"Huh? Oke. Aku akan dat—"Sera membelalakkan matanya kesal. Baru saja ia akan menyelesaikan kalimatnya, pria itu justru sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon secara sepihak."Astaga … apakah ini adil? Dia bahkan mengganggu waktu tidurku. Sedangkan aku? Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku tapi dia bahkan seenaknya mematikan teleponnya. Dasar pria angkuh!" Sera memberengut marah.Rasanya ingin sekali ia bersikeras untuk tetap melanjutkan tujuan awalnya yakni tidur dengan lelap. Alih-alih menemui pria arogan yang kerap semena-mena padanya itu. Akan tetapi, mengingat siapa sosok Leon dan betapa berpengaruhnya Leon di ibukota tempatnya tinggal ini membuat Sera lantas mengurungkan niatnya. Bergegas Sera keluar dari kamarnya dan menemui sosok pria yang katanya sudah menunggu di depan rumah kontrakannya. "Kalau bukan karena kosan ini punya orang dan takut Lydia bakalan diusir, aku pasti gak akan menghiraukannya." Sera menggerutu sepanjang jalan dirinya melangkah menuju pintu l
"Tapi sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Satu hal yang saya tau, di mana saat sebuah perjanjian telah diikrarkan. Hanya ada satu kata yang bisa menjadi jawabannya yakni menepatinya." Sera terdengar mulai mengajukan protesnya pada pria dengan wajah dingin di hadapannya itu.Jika pria bernama Leon itu dapat bersikeras pada kebenaran yang dipegangnya maka Sera juga seharusnya bertingkah demikian."Pak! Halo? Pak! Anda masih ada di dalam tubuh besar ini, kan?" Sera melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah pria itu. Leon yang baru sadar dari lamunannya pun sontak menggelengkan kepalanya cepat. "Beraninya kamu?!" sentak Leon menatap tajam wanita yang dianggapnya tidak sopan itu.Sera menelan salivanya begitu kasar. Entah mengapa, setiap kali mendapati kalimat tegas yang keluar dari mulut Leon begini rasanya nafas Sera tercekat saat itu juga."Menurut pembelajaran yang dulu pernah saya dapatkan saat berada di bangku sekolah." Sera lantas memberi jarak antara dirinya dan juga Leon. Ras
"Hoam… tidurku rasanya benar-benar nyenyak dan menyegarkan." Sera lantas menggeliatkan tubuhnya cukup lama. Kedua tangannya sengaja ia bentangkan ke udara hingga tak lama terdengar suara pertemuan antar tulang itu yang seketika beradu mengisi suasana di sekitarnya. Huoekkk!Tak lupa, rutinitas pagi yang tak pernah luput dari hari Sera ialah rasa mual pada perutnya itu. Bergegas Sera turun dari tempat tidurnya dan berlari ke kamar mandi. Masih pagi memang tapi seluruh cairan bahkan apapun yang semalam dikonsumsi oleh Sera kini telah habis tuntas, dikeluarkan oleh wanita itu. "Sampai kapankah aku akan terus mual begini? Perutku rasanya benar-benar gak nyaman," gumam Sera memejamkan matanya sambil menahan nyeri.Ia kemudian duduk sejenak di ujung tempat tidurnya itu mencoba menenangkan perutnya yang tampak tak bisa diajak kompromi itu. "Senyenyak apa pun aku tertidur. Setiap pagi pasti akan tetap saja sama. Memiliki masalah dengan mual dan muntah ini." Sera berdecak tak menyangka j
"Apa Pak Leon sudah menunggu di butik yang akan kita tuju?" Tepat saat Sera menyadari mobil mewah yang membawanya itu sudah begitu dekat dengan tempat tujuannya pun, barulah wanita itu berani menanyakan hal yang sudah mengganjal dalam dirinya sedari tadi.Tampak bagaimana Alex yang masih fokus pada kemudinya, terlihat mulai menganggukkan kepalanya perlahan."Sudah, Nona. Tuan Leon sudah menunggu kedatangan kita berdua dari beberapa waktu lalu," balas Alex membuat Sera kini kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat duduk di mobil itu.Sera benar-benar merasa bosan dengan suasana dingin dan canggung di mobil itu. Entah bawaan dari bayi yang sedang dikandungnya atau apa, rasanya Sera tak ingin diam begini terus-terusan."Apa butik yang kita tuju masih jauh?" tanya Sera tepat 30 detik setelah pertanyaannya sebelumnya. "Sebentar lagi, Nona. Kita akan segera sampai," balas Alex dengan nada suara ramahnya. Sera terlihat mendekatkan tubuhnya di antara dua kursi yang ada di jok de
"Tuan? Bagaimana gaunnya?" tanya Alex sambil menggerakkan telapak tangan di depan wajah Leon."Cantik." Leon masih tak sadarkan diri, saat dirinya begitu terpesona dengan sosok yang memakai gaun itu. Ia lantas tersadar dan menepuk pelan pipinya.'Astaga, bodoh! Apa yang kamu katakan tadi, Leon?' rutuknya dalam hati."Gaunnya sangat cantik untuk ukuran orang biasa sepertimu," tukas Leon yang kini seakan kembali ke setelan awalnya. Mode datar.Sera terkesiap mendapat jawaban begitu menohok dari Leon. Padahal dia sempat salah tingkah saat Leon menatapnya tanpa berkedip beberapa menit yang lalu. 'Cih, apaan! Bilang aja kalau gaun ini gak pantas untuk ukuran gadis miskin sepertiku, kan?' Sera menggerutu dalam hati, sementara Alex justru menangkap maksud lain dari jawaban Leon."Apakah perlu mengganti gaunnya, Tuan?" tanya ajudan Leon. Sera jelas saja tercengang, dia yakin sekali kalau jawaban Leon akan sama saja.
"Baiklah, setelah makan kita akan pergi ke rumah orang tuamu. Setidaknya mereka harus tahu kalau kamu akan segera menikah," ucap Leon tegas.Sera hanya dapat menghirup dan membuang napasnya beberapa kali demi menetralkan emosinya pada Leon. Alex menatap iba ke arah Sera, pria itu seakan tahu jika ada hal yang tidak beres terjadi antara Sera dan orang tuanya."Tuan Leon, apa tak sebaiknya jika saya saya yang datang mewakili Nona Sera untuk memberitahukan pernikahan kalian?" tawar Alex tiba-tiba hingga membuat Sera menoleh ke arahnya.'Setidaknya pengawal Tuan Leon jauh lebih peka dan mengerti arti wajah senduku ini. Aku sungguh belum siap menghadapi ibu dan ayah saat ini.' Sera menggumam kecil dalam hatinya. "Tidak bisa! Saya dan dia yang harus datang sendiri untuk membahas hal penting seperti ini. Itu untuk menghormati kedua orang tuanya," tolak Leon tanpa berpikir dua kali. Menurutnya, keputusan yang keluar dari mulutnya adalah hal mutlak. Sehingga tidak ada satupun yang bisa meng
"Anda gak apa-apa?" tanya Sera panik. Sorot matanya tak bisa dibohongi kala itu jika dirinya tengah mengkhawatirkan nasib Leon.Padahal ada satu orang yang lebih pantas mendapat pukulan itu, yakni adalah Brian."Kalian sangat tak tahu malu berani menampakkan wajah kalian di rumah ini!" seru pria paruh baya itu Pak Rama tampak masih mengatur napasnya yang naik turun akibat amarah yang membuncah tatkala melihat sosok pria yang telah menghancurkan masa depan putrinya. Bagaimanapun seorang ayah tentu saja masih memikirkan nasib sang anak, walaupun kemarahan dan kekecewaannya belum sepenuhnya sirna. "A–ayah …," cicit Sera pelan sambil membantu Leon yang terjungkal akibat pukulan dari Pak Rama."Seharusnya kamu gak usah datang ke sini! Kalau memang kalian mau menikah, silakan saja, kami sudah gak peduli lagi dengan hidupmu! Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi!" cibir Bu Kinar semakin menyayat hati Sera.Leon dan Alex tak ayal terperangah dengan reaksi kedua orang tua Sera. Kini dia s
Bab TerakhirSera akhirnya tidak protes lagi, dan membiarkan Leon tidur sambil memeluk tubuhnya. Meskipun, dia tidak mengetahui alasan pria itu tiba-tiba melakukan itu padanya.'Aneh banget. Dia pasti lagi mabuk. Tapi, kok gak bau alkohol ya? Dia kenapa sih, tiba-tiba kayak gini.' Sera membatin dalam hati kecilnya. Leon tampak tertidur sangat pulas saat memeluk Sera. Entah mengapa ada rasa nyaman yang mengalir dalam dirinya sehingga dia tidak merasakan gelisah lagi, meski dirinya sedang tertidur.'Aku ingin memilikimu seutuhnya.' Leon berucap sebelum akhirnya pria itu benar-benar terlena dalam tidur lelapnya. Keesokan paginya, Sera terbangun lebih dahulu dan berusaha melepaskan tangan Leon yang masih melingkar di tubuhnya. Hampir semalaman rupanya mereka tidur dalam posisi berpelukan meskipun posisi tubuh Sera membelakangi Leon."Hufh … untung dia masih nyenyak tidurnya. Lebih baik aku siap-siap ngampus aja deh," gumam Sera memutuskan.Wanita itu turun dari ranjang dan melangkah per
"Aku akan coba hidup dengan layak, Tante. Terima kasih." Sera terisak, lalu Danira langsung memeluk erat Sera.Dia sungguh tulus saat mengucapkan harapan agar Sera bisa bahagia. Tidak ada lagi amarah, maupun kebencian di dalam hati Danira."Ingatlah, Sera. Apa yang sudah terjadi di masa lalu, jangan pernah kamu ingat lagi. Kamu harus melanjutkan hidup, dan kamu sangat layak untuk bahagia. Bayi ini … harus memiliki masa depan yang sangat baik." Danira bahkan mengelus perut Sera yang terasa membuncit. Ia paham sekali jika bayi yang dikandung Sera adalah cucu kandungnya. "Tante akan tetap menganggap bayi ini sebagai cucu Tante, Sera. Nggak apa-apa, kan?" pinta Danira."Iya, gak apa-apa, Tante. Aku gak keberatan sama sekali." Sera menyahut dengan tatapan harunya.Bagai ada bongkahan batu besar yang terangkat dari dadanya. Beban di sana seolah perlahan sirna. Sera tak pernah menyesal datang ke rumah duka ini, karena keberaniannya itu akhirnya membuahkan hal yang manis. Brian akhirnya dik
Leon tersenyum tipis saat membaca pesan dari Lydia. Ia lantas mengetik pesan balasan untuk sahabat istrinya itu.[Baiklah. Terima kasih sudah memberitahu saya.]Saat ini, beberapa pelayan Leon memang tengah diinterogasi oleh pria itu karena mereka tidak menyadari kalau Sera meninggalkan mansion beberapa waktu yang lalu."Kalian boleh bubar sekarang." Leon berucap datar. Ia rasa tak perlu lagi mengumpulkan mereka semua di sini karena dirinya sudah mengetahui keberadaan Sera. Leon melangkahkan kakinya kembali ke kamar dan memilih untuk beristirahat karena dia sudah tidak cemas lagi. Leon mengetahui Sera tidak ada di kamarnya saat dia hendak meminta maaf karena sudah berdebat seperti tadi dengan Sera. "Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa aku harus mencemaskannya?" gumam Leon dengan perasaan gamang yang menyelimuti hati.Keesokan paginya, Sera sudah bangun sejak jam 6 pagi dan dia sudah bersiap mengenakan pakaian berkabungnya untuk datang ke rumah duka. Lydia pun demikian, mau tak mau dem
Leon mendengus kesal. Pria itu sangat tidak suka dituduh seperti apa yang sedang dilakukan oleh Sera saat ini. Akan tetapi, Leon pun dilema karena tak bisa benar-benar marah pada Sera."Sudahlah, saya gak mau bahas masalah ini lagi. Dan satu lagi, saya gak suka dituduh dengan hal yang gak pernah saya lakukan! Terserah, kamu mau percaya atau nggak!" ucap Leon setelahnya pria itu memutus pandangannya dan langsung berlalu begitu saja dari hadapan Sera tanpa mau memperpanjang perdebatan mereka. Sera masih mematung di tempatnya. Ia juga tak mengerti kenapa seemosional ini saat mendengar kabar duka dari Brian. Bagaimanapun juga, pria itu adalah ayah biologis dari janin yang tengah dikandungnya, dan Sera seperti merasakan kesedihan saat mendengar Brian sudah tiada. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Sera merasa malu dan menyesal telah menuduh Leon seperti seorang penjahat. "Padahal dia bilang kalau Brian bunuh diri. Kenapa aku malah menuduhnya dan jadi berdebat," gumam Sera li
Tubuh wanita itu ambruk ke lantai. Ia seperti tak bertulang. Kabar kematian Brian sangat mendadak dan membuatnya amat sangat terpukul.Beliau bahkan belum mematikan sambungan telepon saking terkejutnya dan tidak begitu mendengarkan ucapan sang petugas yang membawa kabar duka itu."Bagaimana mungkin? Bagaimana anakku bisa meninggal. Tadi … tadi, beberapa jam yang lalu dia masih sehat dan menikmati makanan yang kubawa. Apa yang terjadi." Danira meraung-raung tanpa henti.Perasaannya bercampur aduk kini. Dia sungguh tak bisa berkata-kata lagi saking paniknya."Aku harus mengabari Hans!" ucapnya setelah kewarasannya kembali. Danira meraih ponselnya lalu segera mencari kontak sang suami untuk mengabari kematian Brian.Tetapi, Hans yang sedang menghadiri rapat penting membuatnya sama sekali tidak menerima panggilan dari Danira."Sial! Ke mana si tua bangka ini! Giliran ada hal urgent begini dia malah gak angkat telepon!" makinya saat sepuluh kali panggilannya tak juga diterima oleh Hans.Da
Zacky datang tepat waktu. Pria dengan naluri bodyguardnya itu jelas tak bisa diremehkan. Saat ia melihat ketiga wanita itu mengikuti Sera, Zacky langsung saja mengikuti mereka dan benar saja. Ketiga perempuan itu hendak melakukan sesuatu pada Sera."Siapa kamu, hah! Lepasin nggak!" pekik Putri tak terima saat tangan halusnya tertahan oleh tangan kekar nan kasar milik Zacky."Jangan pernah menyentuh sehelai rambut Nona Sera!" seru Zacky seraya menghempaskan tangan Putri.Perempuan itu sempat terhuyung bahkan meringis kesakitan padahal Zacky tak menggunakan seluruh kekuatannya."Sialan! Kamu bodyguardnya, hah! Dasar perempuan pengecut, licik!" maki Putri sambil menyorot tajam ke arah Sera."Memang benar dia bodyguardku! Sayangnya, kamu perempuan! Jadi, dia gak akan memukulmu!" Sera tak mau kalah dengan tatapan mengintimidasi dari Putri. Keduanya tampak saling beradu tatapan tajam. "Kurang ajar! Dasar wanita murahan, kamu memang pantas punya jodoh om-om tua yang jelek! Jangan pernah gan
Danira membuang napasnya kasar. Wanita itu menatap tajam sang suami yang telah tega menamparnya."Apa pun akan kulakukan untuk menemukan mereka," ucap Hans yakin."Lalu gimana dengan nasibku dan Brian, Mas?" Danira bertanya menimpali. Bagaimanapun, Danira bukanlah apa-apa jika tanpa kehadiran Hans. "Apa kamu gak mengerti juga! Untuk apa aku mempertahankan sebuah aib dalam keluargaku. Kalian akan kucoret dari kartu keluargaku! Mengerti!" Hans membalas tatapan tajam Danira. Wanita itu terkesiap dan tidak menyangka jika Hans akan secepat itu mendepaknya."Ck, aku gak yakin merek masih hidup!" sinis Danira sengaja memancing kemarahan Hans. Tujuan lainnya adalah agar Hans berpikir kalau mungkin saja istri pertama dan putranya sudah meninggal."Jaga mulutmu, Danira. Mereka gak mungkin—""Gak ada hal yang gak mungkin di dunia ini, Mas. Lagipula, apa kamu lupa sudah berapa tahun lamanya kamu membuang dan mencampakkan mereka tanpa sepeser harta pun. Istrimu waktu itu sakit-sakitan, dan putram
"Hari ini kamu boleh pulang," ucap Leon pada Sera. "Benarkah?" "Apa aku pernah bohong dan gak serius?" Leon malah balik bertanya.Sera menggeleng samar, lalu ia pun mulai bergerak untuk membereskan barang-barangnya."Kamu sudah baik-baik saja, kan? Gak ada yang terasa sakit lagi?" tanya Leon. "Gak ada, Leon. Aku sudah baik-baik saja," ucap Sera seadanya. Wanita itu bahkan tidak menatap mata Leon saat berbicara dengannya. Entah apalagi yang akan terjadi ke depannya, setelah Leon sudah jelas mengibarkan bendera perang dengan Brian dan keluarganya. Sera bahkan tak punya keberanian untuk membahas rencana mereka selanjutnya. "Sudah siap?" Leon bertanya lagi ketika melihat Sera sudah selesai membereskan semua barangnya."Iya, sudah selesai." "Baiklah, ayo kita pulang." Leon menggandeng tangan Sera. Wanita itu sempat menatap bingung uluran tangan Leon yang sangat mendadak itu."Orang-orang di rumah sakit ini tahu kalau kita pasangan suami istri. Akan aneh kalau mereka lihat kita gak ga
"Mungkin iya, tapi mungkin juga anda ingat siapa saya." Leon menatap wanita yang paling dibencinya dengan tatapan tajam."Katakan, siapa kamu!" ucap Nyonya Danira lagi terdengar memaksa."Coba Anda ingat-ingat siapa saya." Leon sama sekali tak gentar untuk memprovokasi Nyonya Danira."Heh, jangan macam-macam ya sama saya! Saya gak punya waktu buat ngeladenin orang gak jelas kayak kamu! Cepat katakan aja siapa kamu sebenarnya!" ucap Nyonya Danira terdengar sangat arogan."Sayang sekali, tapi saya hanya berharap anda akan mengingat saya! Permisi!" ucap Leon dengan senyum remeh menghiasi wajahnya."Hei, tunggu! Katakan kamu siapa! Dan saya peringatkan supaya kamu jangan main-main dengan saya! Hei!" teriak Nyonya Danira yang masih penasaran dengan sosok pria tadi yang terlibat masalah dengan Brian.Leon terus melanjutkan langkahnya dan tidak memedulikan teriakan Nyonya Danira yang terus memanggil namanya. Ia mengayun langkahnya menuju ke mobil, dan langsung melajukannya menuju ke rumah sa