Tak menyangka akan menjadi seperti ini Diva segera menghubungi Elvan. Tanpa menunggu lama telpon itu tersambung. “Maaf, semalam aku lupa memberitahumu kalau aku akan mematikan kedua nomerku sementara. Apa kamu sudah melihatnya, hehm?” Elvan berkata lebih dulu saat menerima panggilan Diva. “Aku … aku tidak menyangka malah jadi seperti ini. Van, apa kamu yang mengerjakannya sendiri semalaman ini?” tanya Diva dengan debaran jantung yang cukup kuat karena perasaan yang campur aduk. “Sendiri? Aku tidak sendiri, tapi bersama dengan tim.” Ucapan Elvan ini membuat Diva kagum dengan kejujuran Elvan. Bagaimana tidak, kalau dia mau, bisa saja Elvan mengatakan Dia mengerjakannya sendiri, kan? Bukankah itu bisa lebih menarik perhatian Diva dan terkesan sebagai sosok pahlawan sejati dalam serial super hero?“Tapi Van … apa ini tidak berlebihan ya?” Diva berkata dengan sedikit tercekat. “Berlebihan? Apa menurutmu itu sudah berlebihan?” Elvan bertanya dengan nada datar. Diva menarik napas dalam.
Darmawan sangat terkejut dengan berita viral yang menyangkut anaknya. Dia sangat geram saat seseorang menghubungi dan memberikan link video padanya. Tangannya terkepal kuat menyaksikan tindakan tidak bermoral anaknya. “Dasar anak tak tahu diuntung!” geramnya. Dia lalu menghubungi beberapa anak buahnya untuk mencari dimana keberadaan anak itu sekarang. Setelah menunggu beberapa saat, Darmawan mendapatkan panggilan masuk. “Saya sudah menemukan lokasi Tuan Anggala, Tuan Besar.” “Baiklah, kita pergi ke sana sekarang!” Darmawan berkata dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Darmawan mendatangi Anggala ke tempat yang dimaksud. Anggala selama ini tidak pernah pulang ke rumah, dia memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri, namun belakangan terkadang dia tidak juga kembali ke rumahnya, melainkan ke beberapa aset pribadi miliknya yang bahkan Darmawan tidak tahu apa saja yang dipunyai oleh anaknya tersebut. “Tunggu sebentar Tuan, karena posisinya masih dalam keadaan live, Anda lebi
Diva datang lebih cepat ke kantornya hari ini, selain hotelnya punya jarak yang cukup dekat, dia hanya ingin melihat video kehancuran Anggala dengan lebih leluasa.“Pagi Diva! Sepertinya pagi ini kamu cerah banget. Apa ada hal yang menyenangkan?” Winda menegurnya.Diva hanya tersenyum menanggapinya.“Kamu sedang liat apaan?” Winda mendekati Diva, dia penasaran dengan wajah Diva yang serius memperhatikan layar ponselnya tadi.“Ini ….”“Oh, itu chef Ang ya?” tanya Winda lagi.Diva mengangguk, karena Winda sudah melihatnya, tidak mungkin dia bohong. Lagipula video ini sudah sangat-sangat membuat banyak pihak terkejut dan membuat heboh jagat maya.“Ih, aku gak nyangka banget ternyata dia benar-benar seorang maniak. Ternyata korbannya banyak! Gila, selama ini ternyata mereka lebih memilih bungkam karena katanya keluarga Chef Ang ini orang yang cukup kuat. Kabarnya orang tuanya adalah pejabat.” Winda memulai menceritakan gosip panas ini.Diva hanya menganggukkan kepalanya saja, dia tidak be
“Terima kasih bantuanmu semalam.” Elvan berkata datar lalu menarik kursi yang ada di hadapan Miko “Apaan sih, seperti orang lain saja. Lagipula aku senang karena bisa membantumu. Aku hanya tidak menyangka kalau ternyata teman satu lingkunganmu bisa segila itu.” Miko berkata sembari menyesap kopinya. Elvan menyandarkan punggungnya ke kursi lalu melipat tangannya di depan dada. Miko melirik ke arah Elvan sekilas lalu lanjut melihat ponselnya. “Ngantuk El?” Elvan tidak menjawab. Miko lalu meletakkan ponselnya ke atas meja dan melihat ke arah Elvan dengan tatapan serius. “Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?” “Ya sesuai prosedur saja, aku pikir permintaan Pak Sudarso ini adalah hal yang wajar. Sudah kupertimbangkan semuanya dan kupikir kita akan deal dengan beliau hari ini.” Elvan berkata dengan tenang dengan mata yang terpejam. “Bukan masalah Pak Sudarso El, melainkan tentang urusanmu dengan si Anggala. Apa yang akan kamu lakukan setelah ini. Kamu tahu sendiri dia tidak akan t
“Div, aku sudah ada di kafe dengan Miko.” Elvan berkata saat sambungan telepon mereka terhubung. Jelas hal ini membuat wanita itu tersenyum mendengarnya. “Apa kamu sedang memberikan laporan terupdate?” Diva menanggapinya dengan santai. “Ya, kupikir kamu harus tahu, apa perlu aku mengirimkan foto juga sebagai bahan laporannya?” Elvan berkata dengan nada datar. Hal ini benar-benar membuat Diva tidak tahan untuk terkekeh. “Van, apa kamu sedang memberikan laporan kepada atasanmu?” Diva berkata dengan santai. “Apa tidak perlu?” tanya Elvan lagi. “Bukan, maksudku, aku tidak mengharuskanmu sampai detail seperti ini, aku tidak ingin hal ini membuatmu menjadi terbebani dan merasa kalau … aku mengikatmu terlalu kuat.” Diva berkata dengan tenang. Bukan tanpa alasan Diva berkata seperti ini. Dulu, Diva sering bertanya tentang kegiatan Nico, tetapi pria itu mengatakan kalau Diva adalah seorang yang posesif dan tidak percaya dengan pasangan, lalu Diva mencoba untuk berdamai, bahkan pernah
“Ternyata kelakuanmu benar-benar memalukan saja! Jangan katakan kali ini kamu dijebak lagi!” Darmawan berkata dengan nada emosi yang memuncak. Anggala masih diam. PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Anggala membuatnya terhuyung jatuh, darah segar menetes dari sudut bibirnya. Ini kali pertama Darmawan memperlakukannya dengan sangat kasar.“Sudah berapa sering kukatakan, kamu bisa melakukan apapun! Apapun Anggala! Tapi jangan sampai semua hal seperti ini mencuat ke luar! Berkali-kali alasan kamu dijebak karena menghamili wanita lain. Aku percaya padamu! Tapi ternyata … Kamu benar-benar membuatku kecewa!” Darmawan berkata dengan suara bergetar. Darmawan kembali teringat, kejadian tahun lalu, saat itu ada yang datang ke rumah mengaku kalau dirinya sedang hamil, tidak lama berselang keluarganya juga datang menuntut tanggung jawab dari anaknya. Kala itu Darmawan sangat marah sekali dengan Anggala, ditambah lagi hal ini adalah hal buruk yang mengancam posisinya jika sampai berita ini ke
“Wah ada Bu Marissa, tumben banget Bu Marissa ada di sini.” Farel berkata dengan nada antusias. “Eh iya benar.” Winda juga menambahkan. “Tuh, Div, itu dia tunangannya Pak Elvan, menurut kamu gimana?” Reni bertanya dengan Diva sambil tersenyum. Diva hanya diam, ingin rasanya dia menjawab tapi sepertinya tidak untuk sekarang. “Bu Marissa ini memang suka dateng ke sini ya?” Diva tidak menjawab, malah bertanya kembali. Reni mengangguk cepat. “Kita kan satu lantai sama bagian yang menangani anak-anak perusahaan, jadi sesekali dia memang suka ikutan briefing pagi juga. Biasanya kalau dia ke sini gak lama pasti Pak Elvan pergi berdua sama dia, untuk urusan deal-deal-an gitu.” “Oh ….” Diva merespon dengan datar. “Tapi kamu kok biasa aja sih? Menurutmu gimana penampilannya? Oke banget, kan? Gak kalah menarik sama bos kita. Menurutku wajar mereka bisa bersama.” Ucapan Reni barusan membuat mood Diva sedikit terganggu. Namun, sekali lagi, ini juga sudah menjadi keputusan dirinya, dia tidak
Diva masuk ke ruangannya, di sana dia sudah ditunggu dengan rekan-rekan satu timnya dengan wajah mereka yang terlihat cemas. “Kalian … kenapa ngeliatin begitu?” tanya Diva. “Diva, kamu tadi kenapa? Kamu gak diapa-apain sama Bu Marissa, kan?” tanya Reni dengan nada khawatir, disusul dengan yang lain juga yang ikut mengangguk. “Gak kenapa-napa kok,” jawab Diva datar. “Yakin kamu gak apa-apa?” Kali ini Winda turut menimpali. Diva hanya mengangguk santai. “Terus tadi kamu ngapain sama Bu Marissa? Apa dia melakukan–” “Udah kalian tenang aja, aku gak salah apapun kenapa harus takut, lagian jangan berlebihan. Dia hanya bertanya katanya dia seperti pernah mengenalku. Hanya itu saja.” Diva berbohong. “Yakin, tapi kenapa kamu ngomong seperti mikir-mikir dulu?” Deska kali ini bertanya pada Diva dengan bersedekap dada dan memandangnya dengan curiga. Diva diam sesaat, lalu berusaha untuk tenang dan menyesuaikan riak wajahnya. “Beneran kok Mbak, tadi dia bilang aku mirip dengan kenalannya
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk