“Pak Sudarso sudah datang!” Elvan melihat ke arah mata Miko memandang. Pria tua itu berjalan menghampiri mereka. Elvan dan Miko dengan cepat berdiri dari tempatnya dan menyambut kedatangan pria itu. “Bagaimana perjalanannya, Pak?” tanya Elvan berbasa-basi. Pria itu tersenyum dan menjawab, “Sangat nyaman sekali.” “Silakan duduk, Pak!” Miko berkata pada orang yang memang mereka tunggu kedatangannya sejak tadi. Sudarso mengangguk dan mengambil tempat kosong diantara mereka. “Pak Elvan, apa kekasihmu itu menyukainya?” tanya Sudarso pada Elvan. “Dia … menyukainya, Pak. Terima kasih juga atas bantuan Bapak waktu itu.” Elvan berkata dengan nada tenang dan tersenyum sekilas. Kalau mengingat kejadiannya, menurut Elvan itu adalah sebuah keajaiban yang sangat nyata. Diva sepertinya memang memberi keberuntungan. Setelah bertemu Diva entah kenapa takdir seperti berpihak padanya. “El, kita mau cari dimana lagi barang itu? Jelas tidak mungkin kita menemukan orang yang sudah membeli perhiasan
Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati, seperti itulah kira-kira pepatah mengatakannya! Elvan benar-benar sangat beruntung kali ini, karena tragedi gelang itu, akhirnya tidak hanya gelang yang dia dapatkan tapi juga kontrak untuk hak paten diperoleh juga. “Pak Elvan, apa sedang memikirkan sesuatu?” Suara Sudarso menarik lamuan Elvan yang mengingat hal itu. “Ah, maaf Pak Sudarso, Saya benar-benar sangat berterima kasih sekali pada Bapak, karena bantuan Bapak, tunangan saya sangat senang saat saya membawa itu untuknya.” Memang seperti itulah adanya. Walaupun ada hal yang dia berbohong sebagian, itu hanya untuk lebih mendramatisir saja. Miko melihat Elvan dengan tersenyum singkat. “Kontraknya sudah saya buat sesuai dengan kesepakatan kita hari itu, Saya tidak menyangka kalau Bapak secara langsung mau datang kemari.” Elvan menambahkan. “Saya tidak enak kalau Pak Elvan dan Pak Miko terus-terusan datang ke tempat saya. Lagipula, mendapatkan fasilitas dari Pak Elvan seperti ini me
Setelah kepergian Darmawan, Anggala yang marah nampak mengobrak-abrik isi penthouse ini, tempat yang awalnya memang sudah berantakan makin terlihat hancur. Dia sangat tidak terima dengan perbuatan Elvan padanya, Elvan sudah membuatnya seperti seorang pecundang, bahkan dirinya tidak menyangka kalau ayahnya juga tidak bisa memberikan dukungannya. Dia benar-benar tidak habis pikir Elvan bisa membaca pergerakannya. Elvan sudah merusak semua citra diri yang dia bangun sejak lama, menutup semua informasi tentang keluarganya, hingga membuat Ayahnya tidak akan merasa terancam dengan posisinya karena perbuatannya ini. “Elvan, awas saja kamu! Aku akan melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan! Ini akan menyakitkan untuk mereka semua! Kamu sudah berani mengacak semua rencanaku! Baiklah, lebih baik kita hancur bersama!” Teriaknya histeris dengan membanting semua barang yang terlihat oleh matanya. Napasnya terdengar memburu, menandakan pria itu masih ingin menumpahkan semua rasa amarahnya ya
“Diva ini bill pesanan makanan kita tadi.” Winda menyerahkan tagihan itu pada Diva sesaat makan siang mereka sudah sampai di kantor. “Ini pake uangnya Mbak Deska?” tanya Diva lagi. Winda mengangguk. “Okay, nanti aku akan memberikannya ke Mbak Dania setelah jam makan siang. Sekarang aku masih mengerjakan bagian ini, nanggung banget soalnya.” Diva mencari-cari alasan. Entah kenapa melakukan hubungan diam-diam seperti ini di kantor membuat Diva menjadi lebih berdebar-debar, rasanya sangat berbeda dengan sebelumnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Elvan tak henti membuat Diva merasa berbunga-bunga setiap saat mengingat prianya itu. “Awas nanti keselip, letak ditempat yang bener, lumayan soalnya harganya. Hahaha!” Winda terkekeh. “Beres, tenang saja,” jawab Diva singkat lalu meletakkan kertas tagihan itu ke dalam laci meja kerjanya dan dia kembali sibuk di depan komputernya. Tak terasa, perut Diva mulai keroncongan, Diva melirik jam tangannya, sudah nyaris selesai jam makan s
Diva yang mulai geram mendengar ucapan Rey dan Winda ini akhirnya bicara dengan setenang mungkin, “Sebenarnya, kalian selalu mengatakan Pak Elvan dan Bu Marissa bertunangan, apa kalian sudah mendapatkan konfirmasi yang jelas dari kedua belah pihak?” Kedua rekannya ini diam sejenak lalu Winda pun menjawab, “Memang tidak ada fakta yang kuat selain dugaan kita saja, tetapi rasanya tidak mungkin kalau berita itu tidak benar.” Diva menaikkan sebelah alisnya, “Atas dasar apa kalian mengatakan hal itu?” “Itu karena ….” TING! Suara lift terdengar, menandakan mereka sudah sampai di lantai ruang kerja Elvan. “Apa sebaiknya kita langsung tanya saja nanti?” Rey terkekeh, seolah itu hanya candaan saja. “Kamu mau tanya?” Diva menyipitkan matanya melihat ke arah Rey. “Ya kalau nyali gak tiba-tiba menciut melihat tatapan tajam Pak Elvan! Haha!” jawab Rey masih sambil terkekeh. Mereka keluar dari lift dan berjalan ke arah ruangan Elvan. Saat mereka tiba di sana, ternyata Elvan sedang bicara pa
Elvan mendatangi Hartono di ruang kerjanya, wajah pria paruh baya itu tidak terlihat cerah, namun tidak juga tidak terlihat mendung. Saat melihat sosok Elvan masuk, pria itu menatap dengan dingin ke arah cucunya itu. “Penjelasan apa yang ingin kamu sampaikan dengan Kakek karena insiden kemarin?” Elvan sudah menebak kenapa pria itu mencarinya. Walaupun hal itu sudah dia atasi, tetap saja, masalah kemarin sudah menyinggung ke arah keluarga mereka, pasti ini akan menjadi perhatian Hartono. “Seperti yang kakek sudah ketahui sendiri, begitulah keadaannya, aku harus menjelaskan apa lagi?” Elvan lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan Hartono. Pria itu masih melihat ke arah Elvan dengan tatapan tajam. “Sebenarnya, kenapa kamu tidak bisa menahan diri? Sudah Kakek katakan berkali-kali jangan pernah terlibat masalah apapun, tapi kemarin, kamu malah memukul habis-habisan anak Darmawan itu?” Elvan tidak langsung menjawab, dirinya hanya menyeringai singkat. “Menurut kakek saat seseoran
“Katakan kalau kita sedang tidak bermimpi!” Rey berkata pada kedua rekannya sesaat setelah Elvan keluar dari ruangan itu. “Tidak Rey, ini nyata.” Winda berkata dengan antusias sambil merogoh ponselnya dan mengambil gambar. “Sini, Div, kita foto bareng! Kapan lagi kesempatan makan di ruangan bos kita! Temen-temen pasti pada ngiri entar.” Winda tak hentinya mengambil foto dirinya sendiri sambil menikmati makanan mereka. Diva hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan berkata, “Ya kapan lagi juga kalian menumbalkanku untuk selalu duluan menghadapi Pak Bos, kan?” Mendengar Diva mengatakan hal itu membuat Winda dan Rey menjadi tersenyum tidak enak hati. “Itu … tapi adik bungsu, kamu 'kan tunangan halunya Pak Bos, jadi gak apa-apalah. Ini juga demi keselamatan dan kemaslahatan kita bersama. Lagian sepertinya Pak Bos juga tidak terlalu gimana-gimana juga kan sama kamu.” Winda berkata dengan wajah cengengesan. “Ish! Kalian ini, ngomongin aku tunangan halu, enak aja!” Diva ingin protes
Suasana tiba-tiba menjadi hening dan terasa suram untuk mereka. Diva menjawab ucapan Elvan, “Ba … ik Pak.” Setelah itu, mereka langsung keluar dengan cepat. “Tuh, kan Div, kamu bikin masalah sih,” ucap Winda saat mereka berada di luar ruangan sambil berbisik. “Diva ... Diva, udah dibilangin juga jangan berlaku tidak sopan. Kali ini kamu pasti kena ceramah panjang lebar di dalam nanti.” Rey ikut menambahkan, wajahnya juga mengisyaratkan kekhawatiran untuk Diva. “Iya, iya, mau bagaimana lagi. Eh, kalian tunggu aku dong, aku mau bungkus makanannya dulu sama Mbak Dania.” Alih-alih merasa takut, Diva malah memberikan respon yang cukup membuat keduanya terkejut. “Kamu gak ngerasa kalau Pak Elvan itu mau ceramahin kamu masalah makanan itu?” Winda berkata sambil mengerutkan keningnya dalam. Hal ini membuat Diva sedikit cemberut. “Masa sih? Tadi kupikir Pak Elvan biasa aja ngomongnya. Apa dia terlihat semenyeramkan itu?” "Diva ...." Rey ingin berteriak geram karena Diva sangat santai se
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk