Tunggu siang menjelang sore ya, kelanjutannya. Jangan lupa tinggalin komentar manis kalian dong... salam hangat 💕Vanvan💕 😘
Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati, seperti itulah kira-kira pepatah mengatakannya! Elvan benar-benar sangat beruntung kali ini, karena tragedi gelang itu, akhirnya tidak hanya gelang yang dia dapatkan tapi juga kontrak untuk hak paten diperoleh juga. “Pak Elvan, apa sedang memikirkan sesuatu?” Suara Sudarso menarik lamuan Elvan yang mengingat hal itu. “Ah, maaf Pak Sudarso, Saya benar-benar sangat berterima kasih sekali pada Bapak, karena bantuan Bapak, tunangan saya sangat senang saat saya membawa itu untuknya.” Memang seperti itulah adanya. Walaupun ada hal yang dia berbohong sebagian, itu hanya untuk lebih mendramatisir saja. Miko melihat Elvan dengan tersenyum singkat. “Kontraknya sudah saya buat sesuai dengan kesepakatan kita hari itu, Saya tidak menyangka kalau Bapak secara langsung mau datang kemari.” Elvan menambahkan. “Saya tidak enak kalau Pak Elvan dan Pak Miko terus-terusan datang ke tempat saya. Lagipula, mendapatkan fasilitas dari Pak Elvan seperti ini me
Setelah kepergian Darmawan, Anggala yang marah nampak mengobrak-abrik isi penthouse ini, tempat yang awalnya memang sudah berantakan makin terlihat hancur. Dia sangat tidak terima dengan perbuatan Elvan padanya, Elvan sudah membuatnya seperti seorang pecundang, bahkan dirinya tidak menyangka kalau ayahnya juga tidak bisa memberikan dukungannya. Dia benar-benar tidak habis pikir Elvan bisa membaca pergerakannya. Elvan sudah merusak semua citra diri yang dia bangun sejak lama, menutup semua informasi tentang keluarganya, hingga membuat Ayahnya tidak akan merasa terancam dengan posisinya karena perbuatannya ini. “Elvan, awas saja kamu! Aku akan melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan! Ini akan menyakitkan untuk mereka semua! Kamu sudah berani mengacak semua rencanaku! Baiklah, lebih baik kita hancur bersama!” Teriaknya histeris dengan membanting semua barang yang terlihat oleh matanya. Napasnya terdengar memburu, menandakan pria itu masih ingin menumpahkan semua rasa amarahnya ya
“Diva ini bill pesanan makanan kita tadi.” Winda menyerahkan tagihan itu pada Diva sesaat makan siang mereka sudah sampai di kantor. “Ini pake uangnya Mbak Deska?” tanya Diva lagi. Winda mengangguk. “Okay, nanti aku akan memberikannya ke Mbak Dania setelah jam makan siang. Sekarang aku masih mengerjakan bagian ini, nanggung banget soalnya.” Diva mencari-cari alasan. Entah kenapa melakukan hubungan diam-diam seperti ini di kantor membuat Diva menjadi lebih berdebar-debar, rasanya sangat berbeda dengan sebelumnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Elvan tak henti membuat Diva merasa berbunga-bunga setiap saat mengingat prianya itu. “Awas nanti keselip, letak ditempat yang bener, lumayan soalnya harganya. Hahaha!” Winda terkekeh. “Beres, tenang saja,” jawab Diva singkat lalu meletakkan kertas tagihan itu ke dalam laci meja kerjanya dan dia kembali sibuk di depan komputernya. Tak terasa, perut Diva mulai keroncongan, Diva melirik jam tangannya, sudah nyaris selesai jam makan s
Diva yang mulai geram mendengar ucapan Rey dan Winda ini akhirnya bicara dengan setenang mungkin, “Sebenarnya, kalian selalu mengatakan Pak Elvan dan Bu Marissa bertunangan, apa kalian sudah mendapatkan konfirmasi yang jelas dari kedua belah pihak?” Kedua rekannya ini diam sejenak lalu Winda pun menjawab, “Memang tidak ada fakta yang kuat selain dugaan kita saja, tetapi rasanya tidak mungkin kalau berita itu tidak benar.” Diva menaikkan sebelah alisnya, “Atas dasar apa kalian mengatakan hal itu?” “Itu karena ….” TING! Suara lift terdengar, menandakan mereka sudah sampai di lantai ruang kerja Elvan. “Apa sebaiknya kita langsung tanya saja nanti?” Rey terkekeh, seolah itu hanya candaan saja. “Kamu mau tanya?” Diva menyipitkan matanya melihat ke arah Rey. “Ya kalau nyali gak tiba-tiba menciut melihat tatapan tajam Pak Elvan! Haha!” jawab Rey masih sambil terkekeh. Mereka keluar dari lift dan berjalan ke arah ruangan Elvan. Saat mereka tiba di sana, ternyata Elvan sedang bicara pa
Elvan mendatangi Hartono di ruang kerjanya, wajah pria paruh baya itu tidak terlihat cerah, namun tidak juga tidak terlihat mendung. Saat melihat sosok Elvan masuk, pria itu menatap dengan dingin ke arah cucunya itu. “Penjelasan apa yang ingin kamu sampaikan dengan Kakek karena insiden kemarin?” Elvan sudah menebak kenapa pria itu mencarinya. Walaupun hal itu sudah dia atasi, tetap saja, masalah kemarin sudah menyinggung ke arah keluarga mereka, pasti ini akan menjadi perhatian Hartono. “Seperti yang kakek sudah ketahui sendiri, begitulah keadaannya, aku harus menjelaskan apa lagi?” Elvan lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan Hartono. Pria itu masih melihat ke arah Elvan dengan tatapan tajam. “Sebenarnya, kenapa kamu tidak bisa menahan diri? Sudah Kakek katakan berkali-kali jangan pernah terlibat masalah apapun, tapi kemarin, kamu malah memukul habis-habisan anak Darmawan itu?” Elvan tidak langsung menjawab, dirinya hanya menyeringai singkat. “Menurut kakek saat seseoran
“Katakan kalau kita sedang tidak bermimpi!” Rey berkata pada kedua rekannya sesaat setelah Elvan keluar dari ruangan itu. “Tidak Rey, ini nyata.” Winda berkata dengan antusias sambil merogoh ponselnya dan mengambil gambar. “Sini, Div, kita foto bareng! Kapan lagi kesempatan makan di ruangan bos kita! Temen-temen pasti pada ngiri entar.” Winda tak hentinya mengambil foto dirinya sendiri sambil menikmati makanan mereka. Diva hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan berkata, “Ya kapan lagi juga kalian menumbalkanku untuk selalu duluan menghadapi Pak Bos, kan?” Mendengar Diva mengatakan hal itu membuat Winda dan Rey menjadi tersenyum tidak enak hati. “Itu … tapi adik bungsu, kamu 'kan tunangan halunya Pak Bos, jadi gak apa-apalah. Ini juga demi keselamatan dan kemaslahatan kita bersama. Lagian sepertinya Pak Bos juga tidak terlalu gimana-gimana juga kan sama kamu.” Winda berkata dengan wajah cengengesan. “Ish! Kalian ini, ngomongin aku tunangan halu, enak aja!” Diva ingin protes
Suasana tiba-tiba menjadi hening dan terasa suram untuk mereka. Diva menjawab ucapan Elvan, “Ba … ik Pak.” Setelah itu, mereka langsung keluar dengan cepat. “Tuh, kan Div, kamu bikin masalah sih,” ucap Winda saat mereka berada di luar ruangan sambil berbisik. “Diva ... Diva, udah dibilangin juga jangan berlaku tidak sopan. Kali ini kamu pasti kena ceramah panjang lebar di dalam nanti.” Rey ikut menambahkan, wajahnya juga mengisyaratkan kekhawatiran untuk Diva. “Iya, iya, mau bagaimana lagi. Eh, kalian tunggu aku dong, aku mau bungkus makanannya dulu sama Mbak Dania.” Alih-alih merasa takut, Diva malah memberikan respon yang cukup membuat keduanya terkejut. “Kamu gak ngerasa kalau Pak Elvan itu mau ceramahin kamu masalah makanan itu?” Winda berkata sambil mengerutkan keningnya dalam. Hal ini membuat Diva sedikit cemberut. “Masa sih? Tadi kupikir Pak Elvan biasa aja ngomongnya. Apa dia terlihat semenyeramkan itu?” "Diva ...." Rey ingin berteriak geram karena Diva sangat santai se
Setelah kembali dari Tekno In Tower, mood Marissa menjadi sedikit kacau. Hatinya menjadi tidak tenang kala melihat secara langsung ternyata Diva bekerja di L Tekno. Tidak hanya sampai disitu saja, Diva sudah sangat berani mengancamnya! Itu yang membuatnya makin kesal dan tidak bisa menahan rasa marahnya. Marissa mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, sedangkan sebelah tangannya memijat keningnya yang penuh dengan pikiran tentang Elvan. Dia sekarang sedang memikirkan rencana yang akan dia buat untuk mendapatkan Elvan kembali. Tok Tok Tok …. Suara pintu terdengar diketuk dari luar ruangannya. “Masuk!” Marisa berkata dengan sedikit ketus karena bawaan kesalnya itu. “Bu, ini data yang Ibu minta untuk diberikan ke Pak Elvan. Kami sudah merangkumnya sesuai dengan permintaan ibu, waktu itu.” Wanita dengan kacamata tebal masuk ke ruangan Marissa dengan membawa sebuah dokumen di tangannya dan juga sebuah flash disk. “Baiklah, letakkan saja di sana. Terus, apa kamu sudah memastikan mere