Ciuman hangat mendarat di bibir Diva, membuat mata wanita itu membola. Logikanya mendorong agar tangannya mendorong Elvan menjauh. Akan tetapi, instingnya mengatakan kalau dia melakukan hal itu, maka situasi akan menjadi kacau dan runyam. Alhasil, Diva hanya bisa pasrah di bawah kendali Elvan.
Melihat kejadian itu di depan mata, semua orang seolah membeku!
Bagaimana tidak? Semua anggota keluarga paham, Elvan adalah orang yang berjabat tangan dengan klien saja sebisa mungkin dihindari. Pria itu adalah seorang clean freak!
Akan tetapi, sekarang, pria yang paling menghindari bersentuhan dengan orang lain itu … berujung mencium seorang wanita?! Bukan kecupan, tapi ciuman! Untuk waktu yang cukup lama pula!
Demikian, ini adalah hal yang sangat menggemparkan!
SREET!
Di tengah keterkejutan itu, suara kursi yang bergesekkan dengan lantai terdengar. Para senior menoleh dan mendapati Marissa berdiri dari kursinya. Mata wanita muda itu berkaca-kaca, tampak sakit hati dan ingin menangis melihat pemandangan di depan mata.
“Aku permisi!” seru Marissa yang langsung meraih tasnya dan berlari keluar restoran.
Di sisi lain, paman dan bibi Elvan langsung ikut berdiri untuk mengejarnya. “Marissa!”
Sebelum pergi, bibi Elvan melirik sosok Elvan yang telah memisahkan dirinya dari Diva. “Elvan, kamu–! Haish!” Tidak bisa berkata-kata, dia pun lanjut meninggalkan tempat dan mengejar putri angkatnya itu.
Saat yakin bayangan orang-orang yang mengancam kebebasannya telah pergi, Elvan pun menjauhkan diri dari Diva dan berdiri dari kursinya. Dia menatap kakek, nenek, ayah, dan ibunya–yang masih tercengang–lalu berkata, “Karena masalah sudah selesai, aku dan Diva pamit dulu.”
Elvan menarik tangan Diva agar wanita itu berdiri bersamanya, tapi baru beberapa langkah menjauhi meja, sebuah suara menghentikannya.
“Elvan!”
Elvan menoleh, menatap sang kakek yang memanggilnya.
“Perbuatanmu hari ini …,” Hartono melirik Diva yang masih agak terbengong, lalu menatap Elvan lagi, “apa kamu tahu konsekuensinya?
Elvan memasang wajah dingin dan berkata, “Kalau memang harus menikah, aku hanya akan menikahi Diva. Bukan orang lain.”
Dalam pikiran Elvan, mengucapkan hal itu berarti dia telah memblokir niatan sang kakek untuk menikahkannya dengan gadis lain. Karena memang tidak ada niatannya untuk menikah, Elvan tidak masalah dengan hal itu.
Merasa rencananya sudah sempurna, Elvan pun lanjut berjalan pergi sambil mengenggam lengan Diva erat.
Mendengar balasan Elvan, empat orang yang ditinggalkan di restoran itu hanya bisa berakhir tercengang.
Nenek Elvan, Radiah, menatap sang suami yang masih terbengong dan berkata, “Menurutmu … apa Elvan serius?”
Di tempatnya, Hartono menggeleng. Dia yang tadinya yakin bahwa wanita yang cucunya bawa itu adalah kekasih sewaan, sekarang berakhir dibuat ragu, terlebih ketika melihat Elvan mencium Diva dan bahkan bersumpah hanya akan menikahi wanita itu.
Alhasil, Hartono hanya bisa berkata, “Aku … tidak tahu.”
Di saat ini, Anita pun menatap sang ayah dan berkata, “Ayah … masalah ini ….”
Hartono menutup matanya dan berujung berkata, “Palsu atau tidak, kita akan tahu pada akhirnya.” Dia menatap ke arah kepergian Elvan. “Kalau mereka memang bersandiwara, mari kita lihat sejauh mana mereka bisa menipu kita!”
**
Di dalam lift, Elvan akhirnya melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan Diva. Dia menatap wanita yang agak menunduk itu dan berkata, “Terima kasih, Diva. Karena bantuanmu–”
PLAK!
Suara tamparan keras bergema, mengejutkan Elvan yang merasakan panas di pipi kanannya. Diva menamparnya!
“Kamu–!” Baru saja ingin marah, Elvan langsung bungkam ketika melihat wajah Diva. Merah di mata dan kedua pipi wanita itu menunjukkan bahwa Diva bukan hanya malu, tapi marah dan terluka! Sebuah pemandangan yang membuat Elvan tak bisa berkata-kata!
“Apa yang kamu pikir telah kamu lakukan, Tuan Elvan Wongso!?” Diva berseru dengan amarah menyelimuti bola mata indahnya. “Bagaimana bisa kamu menciumku di depan orang banyak seperti itu!?”
“Aku ….” Elvan ingin menjawab. Akan tetapi, tatapan terluka yang Diva berikan membuatnya tak mampu bersuara.
“Aku memang memberikan penawaran untuk melakukan apa saja, tapi sudah kukatakan dengan jelas, aku tidak menjual sejengkalpun dari bagian tubuhku untuk ikut dalam permainanmu, tapi … yang barusan kamu lakukan adalah melecehkanku!” Diva mengepalkan tangannya kuat.
‘Melecehkan’, itu adalah kata yang sangat kuat. Dan jujur, Elvan merasa tindakannya tidak sampai seburuk itu. Namun, pandangan Diva membuat pria itu merasa seperti pria paling bajingan di dunia ini.
“Diva, aku–”
“Cukup, aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu itu lagi,” potong Diva.
TING!
Kebetulan, suara denting lift terdengar. Mereka telah kembali tiba di lobi hotel.
Seiring pintu lift terbuka, Diva berkata, “Dengan bantuan hari ini, kuanggap utangku kepadamu telah impas!” teriak wanita tersebut sebelum menambahkan, “Semoga kita tidak bertemu lagi!”
Usai mengatakan itu, Diva langsung keluar dari lift.
“Diva!” Elvan berniat mengejarnya, tapi wanita itu berlari begitu cepat!
Saat Elvan mencapai lobi hotel, Diva telah masuk ke dalam sebuah taksi dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Tidak sedikit pun memberikan waktu untuk Elvan berbicara dengannya lagi.
Melihat taksi yang membawa Diva melesat pergi, Elvan mengepalkan tangannya sendiri. Dia yang tidak pernah merasakan simpatik terhadap orang lain, terus dihantui oleh wajah terluka Diva. Tak hanya itu, dadanya bahkan terasa sesak saat mengingat sepasang bola mata indah yang berkaca-kaca tersebut menatap dirinya dengan penuh amarah.
Tangan Elvan menekan dadanya, merasa bingung dan agak tersiksa. ‘Perasaan apa ini …?’
Sementara itu, di dalam taksi, Diva beberapa kali mengelap bibirnya, sampai-sampai ada bagian yang berdarah. Namun, bagaimana ya … dia benar-benar sangat kesal dengan Elvan. Pria itu baru saja merebut ciuman pertamanya!
Jujur, bukan hanya karena hal itu Diva marah, tapi … juga karena Diva tanpa sadar menikmati ciuman pria tersebut!
Wangi mint yang memesona, juga sentuhan lembut yang membuat darahnya berdesir. Diva seperti tersihir oleh Elvan tadi. Dan … hal itu juga yang membuatnya merasa jijik terhadap ciuman itu … dan dirinya sendiri!
‘Satu tahun berpacaran, Nico saja belum pernah menciumku!’
Membatinkan hal itu, Diva kembali sendu. Mungkinkah alasan Nico berselingkuh adalah … karena dia terlalu menjaga kesuciannya?
Memang benar, Nico bukan hanya pernah mengajaknya berciuman, tapi juga bercinta. Akan tetapi, Diva menolaknya dengan tegas dan berkata hal-hal semacam itu hanya boleh dilakukan setelah menikah.
Ah, dipikirkan kembali, sepertinya memang itu alasan Nico mengkhianatinya. Lagi pula, satu hari setelah menerima undangan pernikahan Nico dan Nadya, Diva juga sudah menerima pesan yang menyatakan semuanya.
“Bukan hanya latar belakang keluargaku yang menjadi alasan, Diva. Akan tetapi, dibandingkan dirimu, aku bisa memberikan segalanya untuk Nico. Itulah alasan dia memilihku dibandingkan gadis sok suci sepertimu!”
Mengingat hal itu, Diva menutup mata dan mengepalkan tangan. ‘Dan sekarang, ciuman pertamaku malah dicuri oleh pria yang bahkan tidak punya perasaan sama sekali padaku.’
Semakin dipikirkan, Diva menjadi semakin kesal kepada Elvan. Dia berdoa semoga tidak akan bertemu lagi dengan pria itu.
***
Setelah beberapa hari dari kejadian tersebut, hidup Diva berjalan seperti biasa. Dia datang ke kantor dan tampak sudah melupakan segalanya mengenai Elvan.
Baru saja duduk di kursi kantornya, tiba-tiba saja, terdapat pemberitahuan kredit masuk di aplikasi perbankan milik Diva. Nominalnya membuat Diva membelalakkan mata!
50 Juta?! Siapa yang mengirimkan uang sebanyak ini untuknya!? Apakah ada yang salah transfer?!
Namun, kemudian Diva melihat catatan pada bukti transfer tersebut.
[Ucapan terima kasih atas bantuan.]
Membaca pesan itu, Diva memiliki dugaan mengenai pengirimnya. Namun, belum sempat memastikan, tiba-tiba ponsel Diva bergetar. Nomor yang tertera di layar tidak dikenal, dan dahi Diva pun berkerut dibuatnya.
Mungkin ini nomor orang yang salah transfer?
Tanpa berpikir panjang, Diva mengangkat panggilan itu. “Halo?”
“Diva.”
Mata Diva terbelalak. Dia mengenali suara itu.
“... Elvan?”
Terkejut dengan siapa yang menghubunginya, Diva menautkan alisnya. Dari mana pria itu mendapatkan nomor rekening dan juga nomor teleponnya?! Sesaat Diva kebingungan, tapi kemudian, dia mengingat latar belakang Elvan yang berkuasa dan tidak lagi heran. Dengan uang, segala hal bisa dibeli dan didapatkan, termasuk informasi pribadi seseorang. “Kenapa kamu menghubungiku?” tanya Diva ketus. “Aku ingin memberitahukan mengenai–” “Imbalan atas pelecehan yang kamu lakukan?” potong Diva, masih merasa marah akan hal itu. “Diva … aku–” “Dengar, Tuan Elvan Wongso. Aku paham niatmu, dan aku akan menerima uang tutup mulutmu. Akan kujamin apa yang terjadi beberapa hari yang lalu menjadi rahasia. Oleh karena itu, berhenti menghubungiku … karena aku tidak ingin lagi terlibat denganmu!” PIP! Usai mengatakan itu, Diva memutus panggilan tanpa menunggu balasan Elvan. Dia yakin pria itu akan terus mengganggunya kalau uang tersebut tidak dia terima. Diva terlalu paham cara bermain orang-orang kalang
Melihat perkara Diva dan Nadya, seisi ruangan langsung heboh. “Astaga, bukannya itu Diva dari departemen data analyst? Termasuk anak baru juga ‘kan dia?” “Iya! Berani banget dia bikin ulah! Sama istri bos pula!” “Fix, nggak lama lagi juga dia dipecat.” Komentar demi komentar berterbangan di seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada satu pun yang membela Diva. Semua hanya sibuk berspekulasi nasib buruk macam apa yang menimpanya lantaran yakin bahwa Diva yang salah, terlebih karena mengingat Nadya memiliki kedudukan lebih tinggi dari wanita itu. Menyadari betapa buruk situasinya, Diva berkata, “Istri Bapak jatuh sendiri, kenapa jadi menyalahkan saya?” Balasan itu membuat semua orang terperangah. Sudah salah, tapi tidak mau mengaku?! Pun dia tidak salah, beraninya wanita itu secara gamblang melawan si bos?! Dengan wajah marah, Nico membalas, “Mira jadi saksi kamu mendorong istri saya, dan kamu masih mengelak!?” Bentakan Nico membuat Diva agak tersentak. Satu tahun berpacaran, walau
Waktu seolah berhenti saat Diva melihat sosok Elvan menjulang di hadapannya. Satu tangan pria itu mencengkeram lengan petugas keamanan, selagi yang satunya lagi memegang tangan Diva, melindunginya. “Elvan …,” panggil Diva dengan agak kaget. Mendengar suara Diva, Elvan langsung menghempaskan tangan petugas keamanan dan berbalik menatap wanita itu. “Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” Diva menggeleng. “Aku nggak apa-apa ….” Walau Diva menjawab seperti itu, tapi Elvan bisa melihat tangan wanita itu memegangi pergelangan tangannya sendiri yang memerah akibat cekalan Nico tadi. Hal itu membuat pancaran mata Elvan menggelap dan dia menghadap ke arah sang pemilik pesta. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Elvan berkata dengan nada datar, tetapi suara itu terdengar seperti lonceng kematian. Nico terlihat sangat gugup dengan ucapan Elvan barusan, apalagi tatapan mata yang menghujam ke arahnya, seolah dia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Otaknya berputar, bingung lanta
Di dalam mobil yang berjalan itu, Diva hanya diam. Elvan sendiri juga tidak melakukan interupsi apa pun setelah dia bertanya alamat rumah Diva, sengaja memberikan ketenangan untuk wanita yang saat ini pasti sedang memikirkan begitu banyak hal. Selagi menyetir, Elvan menghela napas dalam hati. Pria itu tidak menyangka kalau ternyata wanita yang ada di sebelahnya ini sangat bodoh, bisa-bisanya dibohongi oleh orang-orang macam Nico dan Nadya. Dan lagi, walau mungkin benar Diva mengacaukan pernikahan dua orang itu, tapi harusnya dua orang itu sadar akan kesalahan mereka yang berselingkuh di belakang Diva dan meminta maaf, bukan malah mempermalukannya di depan seluruh pegawai kantor lainnya! ‘Seperti kata Diva, harta dan pendidikan tidak menunjukkan ‘kelas’ seseorang,’ batin Elvan. “Terima kasih, Elvan.” Ucapan itu membuyarkan lamunan Elvan, membuat pria itu melirik Diva melalui ekor matanya, kemudian kembali fokus ke depan. “Untuk?” “Terima kasih karena sudah membantuku.” Diva berka
Diva terdiam sesaat, memerhatikan wajah Elvan. Pria itu memang tidak melihat ke arah Diva, tapi dia bisa merasakan ucapan Elvan ini tidak main-main. Karena Diva tidak berbicara, Elvan pun melanjutkan, “Waktu itu, aku hanya fokus dengan tujuanku saja tanpa mempertimbangkan perasaanmu.” Saat itu juga, Diva menyadari kalau Elvan sedang membahas ciuman itu. Dia memalingkan wajah ke depan, menghindar dari menatap wajah Elvan karena wajahnya mulai memerah ketika mengingat kembali momen tersebut. “Selama kamu tidak melakukan hal gila lagi, kumaafkan.” Diva berkata singkat. Sebenarnya, bukan tanpa alasan Diva merelakan ciuman pertamanya begitu saja. Akan tetapi, kalau dirinya tidak mendapatkan bantuan dari Elvan tadi di pesta, mungkin dirinya sekarang akan menjadi cemoohan sekantor dan bisa dibayangkan betapa buruknya lingkungan kerjanya nanti. Bukan hanya Nadya semakin merajalela dan Nico mempersulit pekerjaannya, tapi bisa jadi orang-orang akan terus menggunjing dan menghinanya. Membay
“Kamu kenapa?” tanya Lukman, ayah Diva, saat melihat putri keduanya itu masuk ke dalam rumah dengan wajah merona. “A-ah? Nggak apa-apa, Yah. C-capek mungkin.” Diva menjawab dengan agak terbata. “P-Prisya mana, Yah? Kok nggak keliatan?” ucapnya, mengalihkan topik. Lukman memicingkan mata, tapi kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Tadi keluar sebentar, bilangnya mau beli sesuatu,” jawab Lukman seiring kembali fokus pada tontonannya. Mulut Diva membentuk huruf ‘O’, tapi tidak menimpali lagi. “Ya udah, Diva ke kamar dulu ya.” “Hmm.” Seperti yang sebelumnya sudah disebutkan oleh Nico, keluarga Diva bukan dari golongan kelas atas, mereka hanya keluarga menengah saja. Ayahnya seorang PNS, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Diva anak kedua dari empat bersaudara. Clarisa, sang kakak pertama, sudah menikah, sedangkan Ratri, anak ketiga, tidak tinggal di rumah karena sebuah alasan. Yang terakhir, Prisya, sudah bekerja, dan menjadi saudara yang paling dekat dengan Diva
Melihat putranya mematung di tempat, baru menyadari seberapa fatal kesalahannya, Hardan pun mendengus dan berbalik. “Sudah! Papa malas bicara sama kamu,” ucapnya. “Dibandingkan bahas hal ini, lebih baik kamu cari cara memperbaiki hubunganmu dengan Elvan. Kalau perlu, suruh Nadya yang jadi dalang masalah kemarin untuk minta maaf kepada Elvan!” “Loh, kok jadi Nadya, Pa?” tanya Nico bingung. “Kan Mira yang cari masalah sama Diva dan berujung membuat kita ditegur Elvan?” Hardan mendelik. “Apa kamu bodoh!? Kamu kira tanpa dorongan dari Nadya, pegawai kamu itu berani bertindak!? Pakai otakmu!” Setelah mengatakan itu, pria itu langsung pergi meninggalkan Nico sendiri di sana. Sebelum pergi, dia memaki dengan suara rendah, “Punya anak nggak punya otak!” Mendengar ucapan Ayahnya barusan membuat Nico mengepalkan tangan. Dia berusaha memikirkan kembali ucapan ayahnyat. Memang benar, Mira selaku seorang pegawai tidak mungkin akan bertindak sampai sejauh itu kalau tidak ada yang lebih kuat di
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali Diva sudah tiba di kantor. Sengaja dia melakukan itu untuk merapikan semua barang-barang pribadinya, memasukkannya ke dalam box besar untuk dibawa pulang. Saat baru saja selesai, mendadak Diva menerima sebuah pesan. [Sudah selesai beresin barangnya?] Melihat pesan itu, tanpa sadar Diva tersenyum. Dia mengetikkan balasan. [Sudah. Sisa ngasih surat resign.] Tak sampai dua detik, Diva mendapatkan balasan. [Mau dijemput?] Membaca kalimat itu, Diva tertawa kecil. Dia cepat memberikan balasan lagi. [Nggak usah. Memangnya CEO L Tekno nggak ada kerjaan sampai bisa asal jemput-jemput karyawan perusahaan lain?] Usai mengirimkan balasan itu, Diva menggelengkan kepala. Sungguh tidak bisa dia sangka kalau dirinya bisa berakhir saling mengirimkan pesan sesantai itu dengan bujangan paling diincar satu negara. Ya, orang yang sedari tadi saling mengirimkan pesan dengannya adalah Elvan! Sejak blokirannya dibuka, Elvan terus mengiriminya pesan. Dan karena me
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk