Nico terlihat panik. Dia membaca sekilas surat itu dan langsung terkejut. Diva sungguh ingin mengundurkan diri! Akan tetapi, dengan situasi hubungannya dengan Elvan, Nico tidak bisa membiarkan wanita itu berhenti sebelum semua masalahnya diberikan solusi! “Diva, kenapa kamu seperti ini, kamu masih sangat dibutuhkan di sini, kamu–” “Dibutuhkan kamu bilang?” ulang Diva dengan ekspresi mencemooh. Tidak percaya omong kosong seperti itu bisa keluar dari mulut Nico. "Setelah semua yang kamu lakukan, apa kamu kira kamu bisa memanfaatkanku lagi?" tanyanya. "Konyol!" maki Diva sebelum akhirnya membalikkan badannya dan melangkah pergi. “Diva tunggu!” Nico tidak terima Diva pergi begitu saja, dia kembali mencegah Diva dengan menarik tangannya. Hal tersebut membuat Diva kehilangan keseimbangan. Menyadari hal itu, Nico dengan cepat meraih pinggang Diva agar wanita itu tidak terjatuh ke lantai. Dengan posisi yang begitu dekat, Nico bertanya, “Kamu baik-baik saja?” Mata Diva mendelik. “Lep–”
“Kakek ….” Diva berkata dengan suara yang tercekat. Kata “Kakek” yang lolos dari mulut Diva ini membuat orang-orang terdiam, terutama Nico! Pria ini tidak menyangka bahwa Diva memanggil petinggi Lux Tech Group itu dengan sebutan kakek! Orang-orang biasanya akan memanggil Hartono dengan sebutan Pak atau Tuan, sebagai bentuk penghargaan. Akan tetapi, Diva malah memanggilnya dengan panggilan “Kakek”, sebutan untuk merujuk kepada keluarga. Apa itu artinya Diva berhubungan dekat dengan Lux Tech Group?! “Apa yang terjadi di sini?” Hartono mendekat dengan wajah marah. Diva sedikit cemas. Apa mungkin kakek Elvan ini termakan tudingan Nadya padanya!? Belum sempat Diva membuka suara, Nico langsung menjawab dengan terbata, “Pa-pak Hartono, ini hanya kesalahpahaman saja.” Lidahnya yang biasa dengan mudah mengeluarkan kata-kata sanjungan mendadak kelu. Dia melihat ke arah Diva untuk meminta pertolongan, tapi wanita itu membuang wajah dan hanya diam. “Kesalahpahaman ya?” Hartono berkata d
Di dalam Maserati hitam yang melaju dengan kecepatan sedang ini, Diva terlihat duduk dengan kaku. Dia tidak berani asal bicara, apalagi suasana cukup hening karena pria tua yang duduk bersebelahan dengannya itu masih belum membuka pembicaraan. Diva memainkan ujung blazer yang dia pakai dengan jarinya, dia jelas sangat gugup. ‘Ya Tuhan, kesalahan masa lalu seperti apa yang kuperbuat sampai harus mendapatkan situasi rumit seperti ini?’ batin Diva. Diva lalu merogoh kantong dan mengeluarkan ponselnya, dia mengetikkan sesuatu di sana dan berharap seseorang itu bisa menyelamatkan keadaan, bagaimanapun juga ini berhubungan dengannya, siapa lagi kalau bukan Elvan. “Sudah selesai memberi tahu Elvan?” Suara Hartono tiba-tiba memukul gendang telinga Diva tanpa wanita itu ada persiapan, membuat tubuhnya tersentak kaget dan menjatuhkan benda pipih yang sedang dia pegang ke pangkuannya. “A … ah?” Diva tiba-tiba merasakan sekarang dia dibawa masuk dalam sebuah ruangan interogasi! Mendadak perta
Diva mendapati hal tersebut langsung terdiam, tatapan Hartono seolah ingin menguliti Diva hidup-hidup. Jelas Hartono mempertanyakan hubungan macam apa yang terjadi diantara mereka. ‘Diva! Bodoh sekali, kenapa kamu tidak memberi nama yang semestinya, sih?!’ “Apa maksudnya?” Hartono sangat penasaran. Diva terlihat memucat, tetapi detik berikutnya dia tersenyum melihat ke arah Hartono dengan senyuman yang sangat mengembang. “Itu … Kakek, kupikir keromantisan kami tidak perlu dijelaskan ke orang lain.” Diva berkata dengan sedikit hati-hati. Hartono hanya diam melihat Diva tanpa ekspresi berarti. “Kebetulan sekali rumahku sudah dekat, Kek, di setelah belok kiri rumahku ada di sebelah kanan.” Diva mengatakan hal itu, juga memberi navigasi pada pengemudi yang duduk di depannya. “Kamu ternyata cukup cerdik juga ya.” Hartono cukup tenang mengatakannya. Diva tidak terlalu ambil pusing dengan ucapan pria itu barusan yang penting setelah ini dia terbebas dari jerat pria tua yang mematikan i
Setelah telpon dimatikan oleh kakeknya, Elvan baru membaca beberapa pesan yang dikirim oleh Diva padanya, tadi dia buru-buru menelponnya karena dia dengar kabar kalau Hartono sedang ada di keranjangku, dia hanya ingin Diva tidak bertemu dengan kakeknya, itu saja. Tetapi sayangnya, wanita itu malah berakhir satu mobil dengan sang kakek. Elvan terlihat sedang mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, membuat irama atas sentuhan itu. Dia tahu apa yang dimaksud oleh Kakeknya, pria itu pasti akan mengintrogasinya kembali terkait hubungannya dengan Diva. “Kakek … selalu saja mencampuri urusanku.” Elvan memegang pelipisnya yang sedikit berkedut. Dia lalu menutup separuh wajahnya dengan telapak tangannya berusaha untuk memikirkan cara apa yang akan dia lakukan saat di rumah kakeknya itu. Dia berusaha menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Mengatakan dengan lantang kalau mereka berpura-pura tentu tidak mungkin. Elvan tahu kakeknya sudah mencurigai kepalsuan hubungannya. Atau mungkin,
Ketika jam makan siang akhirnya tiba, Elvan yang baru saja merapikan semua berkas untuk pergi mendadak didatangi oleh Dania. “Pak Elvan,” panggil wanita itu. “Ada apa?” tanya Elvan yang sebenarnya berniat untuk pergi makan siang. “Barusan Nyonya Anita menghubungi saya dan meminta Bapak menghubungi beliau segera.” Ucapan Dania membuat Elvan menautkan alis. “Kenapa tidak langsung telepon saya saja?” Dania memasang wajah tak berdaya dan berkata, “Katanya … Bapak tidak menjawab panggilan Nyonya.” Mendengar hal itu, Elvan langsung mengeluarkan ponselnya. Dia terkejut mendapati ada begitu banyak missed call dari sang ibu. “Oke … saya mengerti. Terima kasih, Dania.” ucapnya seraya memberikan anggukan kecil sebelum kembali melangkahkan kaki pergi. Belum ada dua langkah, Dania kembali memanggilnya, “P-Pak!” Elvan menghentikan langkahnya dan menoleh. “Ya?” Pria itu melihat Dania memasang wajah bersalah. “Saya … saya mau minta maaf tentang yang tadi, saya tidak tahu kalau Anda ingin mak
Melihat sosok Diva yang menjadi teman makan sang ibu membuat Elvan diselimuti berbagai pertanyaan. “Kenapa kamu bisa ….” Elvan lalu melihat ke arah Anita, menatap wanita itu seolah meminta penjelasan, tetapi Anita hanya tersenyum dengan sangat lebar. “Diva, kenapa kalian bisa bersama?” Elvan bertanya pada Diva. Diva hanya mengulas senyum dengan memandang Elvan sedikit canggung, seolah dia akan mengatakan sesuatu, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. “Duduk dulu ih, El! Masa belum duduk udah interogasi orang aja?” Anita berkata pada Elvan. Melihat reaksi putranya itu saat melihat Diva, Anita yakin kalau anaknya ini tidak akan menolak untuk makan bersama. “Ini nih yang mama bilang, makanannya enak, suasananya juga enak.” Anita kembali menambahkan dengan senyum sangat lebar, sedangkan Diva tersenyum penuh makna pada Elvan. Pria itu tahu kalau Diva menampakkan senyum terpaksa padanya. Elvan lalu menarik kursi di sebelah Diva, sebelum dia benar-benar duduk, pria itu berbisik pad
“Div!” Elvan menyenggol lengan Diva dan membuat wanita itu sadar dari pikirannya sendiri. “Ah, sorry,” gumamnya pelan. “Kamu bisa bertemu dengan Mama gimana ceritanya?” ulang Elvan, masih penasaran kenapa kedua wanita ini bisa tiba-tiba ada di satu meja yang sama. “Ih, kamu banyak tanyanya deh!” Anita berkata pada anaknya. “Mama apaan, sih? Aku kan tanya sama Diva bukan sama mama.” Elvan berkata sembari melihat ke arah Diva, tetapi yang dirasakan Diva saat Elvan melihatnya adalah tatapan ancaman. “Ih, awas kamu berani macem-macem sama Diva!” Anita berkata dengan nada sedikit mengancam pada anaknya, tetapi tetap terdengar santai. Mendengar ancaman sang ibu, Elvan menaikkan alis kanannya. Dari penampilan Diva sekarang, seharusnya sang ibu sudah mencium bau kebohongan hubungannya dengan Diva, lalu kenapa masih membela wanita ini? Apa ibunya sesuka itu dengan Diva dan ingin menunjukkan bahwa dia merestui hubungan mereka? Elvan melirik Diva dan berkata, “Kamu sudah ada sekutu baru ru
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk