Melihat sosok Diva yang menjadi teman makan sang ibu membuat Elvan diselimuti berbagai pertanyaan. “Kenapa kamu bisa ….” Elvan lalu melihat ke arah Anita, menatap wanita itu seolah meminta penjelasan, tetapi Anita hanya tersenyum dengan sangat lebar. “Diva, kenapa kalian bisa bersama?” Elvan bertanya pada Diva. Diva hanya mengulas senyum dengan memandang Elvan sedikit canggung, seolah dia akan mengatakan sesuatu, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. “Duduk dulu ih, El! Masa belum duduk udah interogasi orang aja?” Anita berkata pada Elvan. Melihat reaksi putranya itu saat melihat Diva, Anita yakin kalau anaknya ini tidak akan menolak untuk makan bersama. “Ini nih yang mama bilang, makanannya enak, suasananya juga enak.” Anita kembali menambahkan dengan senyum sangat lebar, sedangkan Diva tersenyum penuh makna pada Elvan. Pria itu tahu kalau Diva menampakkan senyum terpaksa padanya. Elvan lalu menarik kursi di sebelah Diva, sebelum dia benar-benar duduk, pria itu berbisik pad
“Div!” Elvan menyenggol lengan Diva dan membuat wanita itu sadar dari pikirannya sendiri. “Ah, sorry,” gumamnya pelan. “Kamu bisa bertemu dengan Mama gimana ceritanya?” ulang Elvan, masih penasaran kenapa kedua wanita ini bisa tiba-tiba ada di satu meja yang sama. “Ih, kamu banyak tanyanya deh!” Anita berkata pada anaknya. “Mama apaan, sih? Aku kan tanya sama Diva bukan sama mama.” Elvan berkata sembari melihat ke arah Diva, tetapi yang dirasakan Diva saat Elvan melihatnya adalah tatapan ancaman. “Ih, awas kamu berani macem-macem sama Diva!” Anita berkata dengan nada sedikit mengancam pada anaknya, tetapi tetap terdengar santai. Mendengar ancaman sang ibu, Elvan menaikkan alis kanannya. Dari penampilan Diva sekarang, seharusnya sang ibu sudah mencium bau kebohongan hubungannya dengan Diva, lalu kenapa masih membela wanita ini? Apa ibunya sesuka itu dengan Diva dan ingin menunjukkan bahwa dia merestui hubungan mereka? Elvan melirik Diva dan berkata, “Kamu sudah ada sekutu baru ru
Diva menampakkan wajah gelagapan saat pertanyaan itu ditujukan padanya, tetapi berbeda dengan Elvan, pria itu nampak sangat tenang, Diva yang melihatnya rasanya ingin sekali memukul kepala pria itu dan berteriak, ‘Hei, ini bukan masalahku sendiri, ini juga masalahmu dan ini jelas bukan hal kecil!’ “Mama apaan sih ngomong gitu. Kita lagi proses menjalani aja dulu.” Elvan berkata dengan nada yang tenang, Diva lalu mengangguk menyetujui ucapan Elvan barusan, kegugupannya nampak sirna, ternyata benar juga, harusnya dia bisa lebih tenang seperti Elvan agar kepura-puraan ini tidak terbongkar. “Eh tapi jangan kelamaan loh! Entar Diva keburu pergi!” Anita berkata dengan sedikit mendesak keduanya. “Kita bener-bener mau menjalani aja dulu, Ma.” Diva berusaha menambahkan. “Tapi ….” terlihat gurat sedih di wajah Anita. Baru mau berbicara yang menghibur, ponsel Diva berteriak nyaring, Prisya menghubunginya. Diva meminta izin untuk mengangkatnya, baru saja dia menerima telepon itu, suara Prisy
Diva masih terlihat syok! Dia benar-benar tidak percaya kalau dia akan bekerja di L Tekno dengan bantuan orang dalam yang super kuat! “Sekarang giliranku. Kenapa kalian bisa bersama?” Elvan bertanya dengan nada penekanan. “Itu … eh, apa tidak bisa kita bicara sambil jalan saja? Di sini panas, lagian kamu juga harus menjaga amanah untuk mengantarku pulang ke rumah.” Diva senyum-senyum, dia terlihat pandai memanfaatkan situasi. Elvan lalu mengambil kantong berisi makanan yang ada di tangan kanan Diva, lalu menggenggam tangan wanita itu dan berkata, “Ayo kuantar pulang sekarang.” Diva terkejut mendapatkan perlakuan itu. ‘K-kenapa pria ini jadi sangat manis?!’ Diva membatin. “Masuklah!” Elvan membukakan pintu untuk Diva, entah kenapa tiba-tiba Diva merasa berbunga-bunga dengan perlakuan barusan, tetapi detik berikutnya dia menyadari kalau ternyata itu hanya bagian dari akting saja! Karena saat Elvan menutupkan pintu mobil Diva melihat sosok Anita sedang memperhatikan mereka. ‘Ih! Aku
Merasa canggung di bawah tatapan Elvan yang begitu serius, Diva berakhir menyisir beberapa helai rambut ke belakang telinga sembari tertawa canggung. “Ha ha … jangan sembarangan bicara, El. Kamu kira aku wanita macam apa? Mau asal tunangan selama dibayar.” Elvan menaikkan alis kanannya. “Kamu menolak?” Dia mendekatkan wajahnya ke arah Diva. “Serius?” Ada sedikit keterkejutan di wajah Elvan. Pria itu penasaran. Apa ada yang kurang darinya di mata Diva?! Selagi Elvan sibuk dengan pikirannya sendiri, mata Diva agak berkunang-kunang ketika wajah tampan Elvan berada begitu dekat dengan wajahnya. Panik karena jantungnya seperti akan meledak, dia mendorong wajah Elvan menjauh. “Stooopp! Bercandanya kelewatan!” teriak Diva membuat Elvan berakhir mendengus. Tampak tidak puas dengan reaksi Diva. Karena melihat Diva tidak nyaman, tanpa tahu wanita itu sibuk menenangkan jantungnya yang seperti mau keluar dari dada, Elvan akhirnya berkata, “Masalah Kakek, kamu tidak perlu khawatir. Yang penti
Pertanyaan Prisya membuat Diva sedikit panik dalam hati, tetapi dia terus menutupi riak wajahnya seolah-olah itu bukan apa-apa.“Gak ada. Kenal juga nggak.” Diva berbohong.Prisya menaikkan alis kanannya, “Beneran gak kenal?”“Iya, serius.” Diva mengerutkan kening, agak kesal ditekan terus oleh Prisya. “Memangnya kenapa sih!? Kepo banget?”Prisya mengedikkan dua bahunya. “Ya, bukan apa-apa. Kenal nggak kenal juga urusan Kakak sih, tapi ….”Diva membuka lebar telinganya, siap mendengar ucapan dari Prisya. Sepertinya, adiknya itu tahu sebuah gosip? Atau ada isu buruk tentang Elvan!?Beberapa detik Prisya masih terdiam, Diva jadi tidak sabaran. “Woi! Kenapa, Pris!? Ngomong kok setengah-setengah?!”Prisya menghela napas dan menatap Diva lurus. “Aku ingatkan saja. Kalau nanti Kakak keterima di L Tekno lewat jalur kenalanku, jaga jarak ….” Ucapan Prisya barusan membuat dentuman dahsyat dalam hati Diva. “Kenapa?” tanyanya. “Dia playboy? Menyeramkan dan galak ke bawahan? Atau apa?” Dia menghu
Diva tidak percaya dengan apa yang baru saja dia baca! Apa Elvan benar-benar merealisasikan candaannya? Diva tidak tahan lalu menghubungi Elvan! Sayangnya, pria itu tidak menjawab panggilannya. Tidak lama berselang notifikasi pesan masuk kembali. [Sedang bersama klien.] Diva benar-benar kehabisan kata-kata dengan tingkah pria itu, dia juga melihat jam di pergelangan tangannya, masih sangat pagi sekali tapi sudah bersama klien, ternyata dia sangat sibuk! Lalu uang ini?! Dengan cepat Diva mengetikkan sesuatu di sana: [Aku bercanda, nanti uangnya kukembalikan!] Sampai taksi yang membawa Diva sudah tiba di Tekno In Tower Elvan tak kunjung membalasnya, pria itu hanya membaca pesannya saja. Saat akan masuk melangkahkan kakinya ke gedung itu, Diva menarik napas dalam. Setelahnya langkah kakinya menuju ke bagian resepsionis. “Selamat Pagi, Mbak, saya mau ke ruangan HRD menemui Pak Wira.” Wanita itu tersenyum menanggapi Diva. “Maaf dengan siapa ya, Bu?” tanyanya dengan sopan. “Saya D
Diva hanya tersenyum menanggapi ucapan Deska. Dia beranggapan bahwa wajar saja ada orang yang tidak terima dengan kehadirannya, tapi dia tidak memusingkan masalah itu. Baginya cukup bekerja dengan baik itu bisa membuktikan pada mereka kalau dirinya itu cukup kompeten walau masuk lewat jalur belakang! Lagi pula Diva tidak akan membuat Elvan kecewa padanya karena kinerjanya tidak bagus. Sampai di kantor, Deska memperkenalkan Diva dengan anggota tim lainnya. beberapa menyambutnya dengan sambutan hangat, tapi ada juga yang melihatnya dengan tatapan tidak terlalu bersahabat. “Oh, ini yang namanya Diva?” Nada suara itu terdengar sedikit meremehkan, Diva hanya diam. “Diva semoga nanti kita bisa kerjasama dengan baik, ya, jangan kayak yang udah-udah, tiba-tiba mundur tanpa alasan jelas.” Ucapan salah satu pegawai yang ada di meja bagian tengah ini terdengar seperti sebuah peringatan untuknya. Sedangkan Deska, dia merasa senang dengan sambutan anggota tim yang nampaknya tidak terlalu suka d
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk