Diva tidak percaya dengan apa yang baru saja dia baca! Apa Elvan benar-benar merealisasikan candaannya? Diva tidak tahan lalu menghubungi Elvan! Sayangnya, pria itu tidak menjawab panggilannya. Tidak lama berselang notifikasi pesan masuk kembali. [Sedang bersama klien.] Diva benar-benar kehabisan kata-kata dengan tingkah pria itu, dia juga melihat jam di pergelangan tangannya, masih sangat pagi sekali tapi sudah bersama klien, ternyata dia sangat sibuk! Lalu uang ini?! Dengan cepat Diva mengetikkan sesuatu di sana: [Aku bercanda, nanti uangnya kukembalikan!] Sampai taksi yang membawa Diva sudah tiba di Tekno In Tower Elvan tak kunjung membalasnya, pria itu hanya membaca pesannya saja. Saat akan masuk melangkahkan kakinya ke gedung itu, Diva menarik napas dalam. Setelahnya langkah kakinya menuju ke bagian resepsionis. “Selamat Pagi, Mbak, saya mau ke ruangan HRD menemui Pak Wira.” Wanita itu tersenyum menanggapi Diva. “Maaf dengan siapa ya, Bu?” tanyanya dengan sopan. “Saya D
Diva hanya tersenyum menanggapi ucapan Deska. Dia beranggapan bahwa wajar saja ada orang yang tidak terima dengan kehadirannya, tapi dia tidak memusingkan masalah itu. Baginya cukup bekerja dengan baik itu bisa membuktikan pada mereka kalau dirinya itu cukup kompeten walau masuk lewat jalur belakang! Lagi pula Diva tidak akan membuat Elvan kecewa padanya karena kinerjanya tidak bagus. Sampai di kantor, Deska memperkenalkan Diva dengan anggota tim lainnya. beberapa menyambutnya dengan sambutan hangat, tapi ada juga yang melihatnya dengan tatapan tidak terlalu bersahabat. “Oh, ini yang namanya Diva?” Nada suara itu terdengar sedikit meremehkan, Diva hanya diam. “Diva semoga nanti kita bisa kerjasama dengan baik, ya, jangan kayak yang udah-udah, tiba-tiba mundur tanpa alasan jelas.” Ucapan salah satu pegawai yang ada di meja bagian tengah ini terdengar seperti sebuah peringatan untuknya. Sedangkan Deska, dia merasa senang dengan sambutan anggota tim yang nampaknya tidak terlalu suka d
Diva mulai panik, dia berusaha untuk mengedit atau menghapusnya, tapi sepertinya percuma, pria itu bahkan sudah membacanya! ‘Astaga, gimana ini?!’ pekik Diva dalam hati. Diva menunggu beberapa saat, dia masih mengawasi layar pipih itu, siapa tahu Elvan membalasnya. Namun, sudah beberapa menit, Elvan tidak juga membalasnya. Hal itu membuat Diva langsung meletakkan ponselnya dalam posisi terbalik di atas meja. ‘Sudah, sudah! Jangan diperhatikan terus! Dia juga pasti tidak menganggapku serius,’ batin Diva. “Div,” panggil Diva membuatnya tersadar dari pikirannya tentang pria itu. Diva menoleh dan melihat Winda menghampirinya. “Kenapa Win?” “Div, aku minta nomernya kamu dong! Mau masukin kamu ke grup obrolan kantor.” Diva lalu memberikan nomornya, dan dalam sekejap dia masuk dalam komunitas baru. Hanya ada 9 anggota di dalamnya termasuk dirinya sendiri. Baru saja masuk di obrolan tersebut sudah disambut dengan ucapan selamat datang yang beraneka ragam. Far3L: “Welcome di tim keren
Walau semua orang terkejut dan bertanya-tanya, tapi tentunya mereka tidak bisa berhenti di tempat dan menanyakannya pada Elvan, bukan? Alhasil, rombongan Diva terus berjalan tanpa mengucapkan apa pun. Sedangkan Diva sendiri … dia hanya menunduk dan mengabaikan senyuman Elvan yang sebenarnya diarahkan kepadanya. Tindakan Diva itu membuat Elvan langsung mengerutkan keningnya. Apa Diva sedang menghindarinya? Setelah dia berbuat banyak untuk Diva malah wanita itu sekarang mengacuhkannya? Yang benar saja! Tunggu … apa jangan-jangan wanita itu mendadak amnesia dan bahkan lupa dengan emoticon yang dikirimnya terakhir saat membalas pesan?! Elvan bahkan cukup berharap wanita itu akan mengajaknya makan siang bersama! Sulit dipercaya … seorang Elvan Sabil Wongso baru saja mengalami yang namanya “diberikan harapan palsu”! “Pak Elvan, Pak,” panggil lawan bicara Elvan padanya, membuat pria yang memasang wajah gelap itu cepat menoleh. “Apa?” balas Elvan ketus, membuat calon rekan kerja samanya
Melihat Diva untuk sesaat, para rekan kerja baru Diva itu saling menatap satu sama lain dalam diam. Kemudian, mereka kembali menatap Diva. “Kamu? Tunangan Pak Elvan?” Diva menganggukkan kepala. Kedua rekan wanitanya ini terdiam dan saling pandang, lalu detik berikutnya mereka berdua tertawa lepas. “Ha ha ha ha ha!” Tawa Winda dan Reni begitu renyah, bahkan Farel tidak tahan terkekeh geli. “Ada-ada aja kamu, Div. Kalau kamu tunangannya Pak Elvan, maka aku akan jadi istrinya Pak Elvan.” Reni berkata disela tawanya, menanggapi omongan Diva sebagai candaan. Diva hanya tersenyum, tidak menanggapi ucapan Reni sama sekali. Lagi pula, dia sudah tahu tidak akan ada yang percaya. Kalau begini, Diva tahu dirinya bisa bergerak dengan leluasa di kantor tanpa perlu takut ketahuan menjadi tunangan pura-pura Elvan. Tiba-tiba handphone Winda yang berada di atas meja berbunyi, wanita itu memasang wajah kecut melihat nama di layar, tapi dia segera menerima panggilannya. “Oh, iya baik-baik. Tapi
Diva dan teman-temannya kembali ke ruang kerja mereka dengan sedikit tergesa, karena Deska sendiri yang akhirnya menghubungi Winda untuk segera menyelesaikan pekerjaan mereka.Selama perjalanan kembali Diva hanya mendengarkan keluhan Winda dan Reni tentang Deska yang kata mereka sering terlihat sok berkuasa mentang-mentang dirinya ditunjuk langsung oleh Elvan dan punya wewenang khusus untuk mengatur anggota timnya. Untungnya Miko punya hak sama, sehingga Deska tidak bisa begitu saja menendang orang-orang yang menjadi pilihan Miko. Berdasarkan informasi tersebut, Diva tahu kalau yang membawa masuk Reni, Winda, dan Farel adalah Miko.Saat mereka sampai di ruang kerja, suasana tempat ini nampak terlihat sibuk. Sesaat mereka menjadi pusat perhatian karena sedikit terlambat dan Deska melihat tajam kepada mereka terutama pada Diva.Namun, Farel, Winda, dan Reni tidak terlalu mengambil pusing, toh sekarang pun harusnya masih tetap menjadi jam istirahat mereka. Akan tetapi, sedikit berbeda de
Setelah dari toilet, Diva kembali ke ruangan. Dia terkejut karena sudah ada Elvan di sana selaku pengawas proyek sementara.Saat ini, tampak pria itu sedang terlibat percakapan serius dengan Deska sambil menatap layar komputer. Wajahnya mengkerut dan tangannya melipat di depan dada.Diva bingung. Apa dia harus menyapa Elvan seperti yang pria itu katakan tadi? Kalau dia memang harus menyapa pria itu, bagaimana caranya? Apalagi dia sedang bicara dengan Deska dan atasannya itu punya sedikit sentimen negatif padanya karena jalur koneksi yang dia miliki. Setelah berpikir cepat, Diva memutuskan untuk kembali melewati Elvan dan Deska. Dia hanya sedikit membungkukkan tubuhnya dan berjalan menuju kursinya.‘Lebih baik minta maaf lagi sama Elvan daripada harus menjelaskan banyak hal pada Deska yang akan salah mengira aku sok akrab dengan CEO!!’ batin Diva.Mendapati dirinya sekali lagi diabaikan oleh Diva, ekspresi Elvan menggelap. Namun, Diva pura-pura tidak melihatnya.“Diva!” panggil Winda d
Deska memasang wajah terkejut ketika mendengar omongan Elvan. “S-saya, Pak? Tapi–”“Saya perlu data itu segera. Tidak ada waktu lagi untuk trial dan error. Jadi, kamu yang perbaiki dan kirim ke email saya secepatnya,” titah Elvan. “Ingat, paling lambat, besok pagi setelah jam briefing.” Pria itu pun berdiri dari kursi dan mulai berjalan pergi.Melihat Deska hanya bisa terdiam dan melongo ketika mendengar perintahnya, Elvan berbalik. “Kenapa? Kamu tidak terima?” tanya Elvan lagi. Tidak terima? Tentu saja Deska tidak terima! Pekerjaan ini seharusnya pekerjaan Diva! Kenapa jadi harus dirinya yang disuruh merevisi!? Selain itu, di depan anak buahnya yang lain, kenapa Elvan membela Diva sampai segitunya dan malah mempermalukan dirinya!? Ini keterlaluan!Namun, di hadapan sang CEO, Deska bisa apa?Dengan kepala menunduk dan tangan mengepal, Deska berkata, “T-tidak, Pak. Saya … saya akan selesaikan secepatnya ….” “Bagus.” Elvan pun berjalan melalui Deska, berniat pergi ke ruangannya. Kem
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk