Deska memasang wajah terkejut ketika mendengar omongan Elvan. “S-saya, Pak? Tapi–”“Saya perlu data itu segera. Tidak ada waktu lagi untuk trial dan error. Jadi, kamu yang perbaiki dan kirim ke email saya secepatnya,” titah Elvan. “Ingat, paling lambat, besok pagi setelah jam briefing.” Pria itu pun berdiri dari kursi dan mulai berjalan pergi.Melihat Deska hanya bisa terdiam dan melongo ketika mendengar perintahnya, Elvan berbalik. “Kenapa? Kamu tidak terima?” tanya Elvan lagi. Tidak terima? Tentu saja Deska tidak terima! Pekerjaan ini seharusnya pekerjaan Diva! Kenapa jadi harus dirinya yang disuruh merevisi!? Selain itu, di depan anak buahnya yang lain, kenapa Elvan membela Diva sampai segitunya dan malah mempermalukan dirinya!? Ini keterlaluan!Namun, di hadapan sang CEO, Deska bisa apa?Dengan kepala menunduk dan tangan mengepal, Deska berkata, “T-tidak, Pak. Saya … saya akan selesaikan secepatnya ….” “Bagus.” Elvan pun berjalan melalui Deska, berniat pergi ke ruangannya. Kem
Keesokan harinya. “Ih masih pegel banget nih jari,” ucap Diva pada dirinya sendiri. “Gara-gara si Elvan sih, konyol banget buat hukuman kayak anak SD! Lagian cuma masalah sepele doang sampe segitunya!” Diva memegang pergelangan tangannya dan mengibasnya ke udara. Pop up pemberitahuan muncul, seperti biasa “alarm hidup” Diva ini mengirimkan pesan. [Sudah sampai? Jangan lupa untuk menyapa!] Melihat pesan itu Diva memaksakan senyuman mengembang di wajahnya dan berujar, “iya … cerewet.” sambil melihat layar ponselnya. “Pagi, Diva,” sapa Winda, membuat Diva terkejut dan hampir menjatuhkan ponsel yang dia pegang. “Eh, Pagi juga Win.” Diva membalasnya. “Senyum-senyum sendiri nih, sedang kirim-kirim pesan sama pacarnya, ya.” Ucapan Winda membuat Diva tersenyum menanggapinya. ‘Pacar? Yang benar saja!’ seru Diva dalam hati. “Div, kemarin kamu sampe kapan di ruangan Pak Elvan? Kamu diceramahin apa aja di sana?” tanya Winda menarik kursinya mendekat ke arah Diva. “Itu ….” Otak Diva seger
Setelah jam makan siang, Deska kembali mengumpulkan anggota timnya untuk meninjau kembali pekerjaan mereka, dia benar-benar sangat teliti dan melihat ulang berkali-kali hasil pekerjaan dari tim mereka.“Diva, coba kamu catat keseluruhan dan poin pentingnya segera garis bawahi, lalu nanti cari berkas lama di ruang penyimpanan, ini kunci aksesnya.” Deska memerintah Diva sembari menyerahkan sebuah kartu akses untuk masuk ke ruang penyimpanan berkas dan membuka lemari berkasnya.“Baik, Mbak.” Diva menjawab santun.Diva memang sering mendapatkan tugas tambahan selain tugas utamanya dari Deska, dan biasanya dia disuruh untuk hal-hal sepele, seperti mengambil berkas di ruang penyimpanan, mengembalikan beberapa barang ke gudang, atau sekadar mengantarkan file ke divisi lain di lantai yang berbeda.Diva ingin mengeluh, tapi sepertinya tidak mungkin. Apalagi dirinya hanya seorang bawahan dan Deska adalah atasan. Namun, ucapan teman-temannya sering membuat Diva berpikir buruk terhadap Deska, mung
TAK TIK TAK TIK!Suara pena yang dipencet berulang-ulang bisa terdengar. Hal itu membuat suasana di dalam ruang kantor yang hening itu diselimuti tekanan, terlebih untuk sosok Diva yang berada persis di depan si pembuat suara.Dengan tatapan tajam yang terarah padanya, Diva merasa seluruh tubuhnya berkeringat dingin. Dia jadi sulit untuk bekerja.Akhirnya, Diva pun menoleh ke arah Elvan yang memegang sebuah pena di tangan kirinya. “Elvan … bisakah kamu menunggu di sana saja?” bisik wanita itu pada Elvan nyaris tak terdengar, merujuk pada kursi di ruang kerja khusus CEO tersebut.Menghentikan ketikan penanya, Elvan menatap Diva. “Saya harus mengawasimu, jadi kenapa harus duduk di sana?” Suara Elvan yang menggelegar ketika menjawab membuat sejumlah pasang mata beralih pada Diva.Hal tersebut membuat Diva ingin berseru, “Kecilkan suaramu bisa tidak!?” Akan tetapi, dia berujung hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala, pasrah.‘Dasar pria gila!’ maki Diva dalam hati.Sementara itu,
“Sa-saya, Pak?” tanya Diva terbata seraya matanya melihat ke arah rekan kerjanya yang lain. Diva tidak habis pikir dengan ucapan Elvan barusan, kenapa pria itu sepertinya sangat suka menyiksanya. Elvan mengangguk. “Ya, tentukan dimana, nanti beritahu saya.” Elvan mengangkat ponselnya ke udara dan memperlihatkannya pada Diva, seolah mengatakan ‘hubungi dia segera jika sudah memutuskan tempatnya.’ Setelah mengatakan hal tersebut Elvan langsung pergi dengan langkah cepat. Suasana langsung gaduh dan suara saling lempar tanya. “Diva! Kita makan dimana?” “Apa kita makan hotpot atau grill saja?” “Hehm, bagaimana kalau kita ….” Suara-suara itu banyak sekali mengitari Diva, mereka mengerumuni wanita itu untuk memberikan saran tempat makan enak. “Begini saja, aku juga tidak tahu mau makan di mana, bagaimana kalau tentukan saja tempat apa yang paling rekomendasi saat ini. Aku tidak ada ide.” Diva menjawab dengan jujur, ditambah lagi dia adalah anak baru, dia hanya tidak ingin membuat pa
Semua mata tertuju pada Diva, wanita itu hanya tersenyum canggung melihat tatapan dari seluruh rekan kerjanya yang ada di sana. “Diva, kamu benar-benar sangat beruntung!” Salah satu dari mereka berseru. “Cepetan balas Ok, Div, sama sekalian kirim lokasinya, entar Bapak kelamaan nunggu, kamu yang awalnya beruntung malah jadi digantung!” Winda berkata dengan suara menggebu-gebu. Melihat tanggapan rekan-rekannya, Diva lalu dengan sigap memberikan jawaban dan mengirim lokasi tempatnya pada Elvan. “Segera pesan tempatnya, Diva! Siapa tadi yang kasih saran ke Diva, bantuin biar cepet.” Deska memberikan perintah pada anak buahnya. *** Tidak butuh waktu lama untuk mengumpulkan mereka semua di Restoran Seafood bintang lima ini, semua datang lebih dulu sebelum Elvan tiba di sana. Namun, yang membuat mereka terkagum-kagum adalah tempat yang dipesan oleh Diva adalah ruang private dengan meja bundar. “Div, kita gak akan kena marah sama Pak Elvan, kan pesen di tempat ini?” salah satu dari mer
Entah desiran hebat apa yang kali ini menjalar ke seluruh tubuh Diva. Apa mama Elvan ini tidak salah bicara? Alih-alih mengatakan calon di depannya, dia malah langsung mengatakan mantunya mama? Apa wanita itu begitu yakin dirinya akan benar-benar menjadi bagian dari keluarga mereka? “Sayang, kamu denger Mama gak?” Suara Anita mengejutkan Diva. “Ah, iya, iya denger Ma!” Diva menjawab cepat saat Anita membuyarkan lamunan yang mulai berlebihan pada dirinya. “Kamu sedang sama Elvan, gak?” ulang Anita. “E-enggak Ma.” Diva menjawab dengan sedikit terbata. “Duh, anak ini kebiasaan banget deh!” gerutu Anita. Hal itu menarik perhatian Diva. “Kebiasaan gimana, Ma, maksudnya?” Diva tidak tahan untuk tahu lebih jauh. “Itu loh, dia itu kebiasaan buat flight mode kalo sedang kerja, males diganggu katanya. Jadinya begini deh, susah banget dihubunginnya.” Anita masih terdengar kesal dengan anaknya. “Nanti Diva kasih tahu, Ma, kalo ketemu sama Elvan.” Diva berkata untuk menenangkan Anita. “Oh,
Diva terdiam. “Itu ….” Diva melirik ke beberapa temannya untuk meminta pertolongan. Deska menyadari kalau hal ini sepertinya candaan ini sudah terlalu jauh. Sebagai seorang atasan langsung Diva, dia setidaknya punya kewajiban untuk melindungi bawahannya. Deska lalu tersenyum lebar dan berkata dengan suara rendah, “Pak Elvan, tadi kami sudah memesan menu yang menjadi rekomendasi di tempat ini, Pak Elvan mau yang mana, nanti biar saya coba ambilkan.” Diva benar-benar bersyukur! Baru kali ini Deska membantunya keluar dari jurang yang cukup dalam! Diva melihat ke arah Deska seolah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Elvan tahu sepertinya Diva mulai tidak nyaman apalagi saat Diva melihat ke arah rekan kerjanya yang lain. “Tidak perlu, saya bisa sendiri. Kalian makanlah dan jangan sungkan” Elvan berkata seolah memberikan instruksi, cukup datar dan membuat suasana malah mendadak hening kembali. “Eh, ayo kita makan, terima kasih, ya, Pak Elvan sudah traktir kita makan.” Diva b
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk