Setelah jam makan siang, Deska kembali mengumpulkan anggota timnya untuk meninjau kembali pekerjaan mereka, dia benar-benar sangat teliti dan melihat ulang berkali-kali hasil pekerjaan dari tim mereka.“Diva, coba kamu catat keseluruhan dan poin pentingnya segera garis bawahi, lalu nanti cari berkas lama di ruang penyimpanan, ini kunci aksesnya.” Deska memerintah Diva sembari menyerahkan sebuah kartu akses untuk masuk ke ruang penyimpanan berkas dan membuka lemari berkasnya.“Baik, Mbak.” Diva menjawab santun.Diva memang sering mendapatkan tugas tambahan selain tugas utamanya dari Deska, dan biasanya dia disuruh untuk hal-hal sepele, seperti mengambil berkas di ruang penyimpanan, mengembalikan beberapa barang ke gudang, atau sekadar mengantarkan file ke divisi lain di lantai yang berbeda.Diva ingin mengeluh, tapi sepertinya tidak mungkin. Apalagi dirinya hanya seorang bawahan dan Deska adalah atasan. Namun, ucapan teman-temannya sering membuat Diva berpikir buruk terhadap Deska, mung
TAK TIK TAK TIK!Suara pena yang dipencet berulang-ulang bisa terdengar. Hal itu membuat suasana di dalam ruang kantor yang hening itu diselimuti tekanan, terlebih untuk sosok Diva yang berada persis di depan si pembuat suara.Dengan tatapan tajam yang terarah padanya, Diva merasa seluruh tubuhnya berkeringat dingin. Dia jadi sulit untuk bekerja.Akhirnya, Diva pun menoleh ke arah Elvan yang memegang sebuah pena di tangan kirinya. “Elvan … bisakah kamu menunggu di sana saja?” bisik wanita itu pada Elvan nyaris tak terdengar, merujuk pada kursi di ruang kerja khusus CEO tersebut.Menghentikan ketikan penanya, Elvan menatap Diva. “Saya harus mengawasimu, jadi kenapa harus duduk di sana?” Suara Elvan yang menggelegar ketika menjawab membuat sejumlah pasang mata beralih pada Diva.Hal tersebut membuat Diva ingin berseru, “Kecilkan suaramu bisa tidak!?” Akan tetapi, dia berujung hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala, pasrah.‘Dasar pria gila!’ maki Diva dalam hati.Sementara itu,
“Sa-saya, Pak?” tanya Diva terbata seraya matanya melihat ke arah rekan kerjanya yang lain. Diva tidak habis pikir dengan ucapan Elvan barusan, kenapa pria itu sepertinya sangat suka menyiksanya. Elvan mengangguk. “Ya, tentukan dimana, nanti beritahu saya.” Elvan mengangkat ponselnya ke udara dan memperlihatkannya pada Diva, seolah mengatakan ‘hubungi dia segera jika sudah memutuskan tempatnya.’ Setelah mengatakan hal tersebut Elvan langsung pergi dengan langkah cepat. Suasana langsung gaduh dan suara saling lempar tanya. “Diva! Kita makan dimana?” “Apa kita makan hotpot atau grill saja?” “Hehm, bagaimana kalau kita ….” Suara-suara itu banyak sekali mengitari Diva, mereka mengerumuni wanita itu untuk memberikan saran tempat makan enak. “Begini saja, aku juga tidak tahu mau makan di mana, bagaimana kalau tentukan saja tempat apa yang paling rekomendasi saat ini. Aku tidak ada ide.” Diva menjawab dengan jujur, ditambah lagi dia adalah anak baru, dia hanya tidak ingin membuat pa
Semua mata tertuju pada Diva, wanita itu hanya tersenyum canggung melihat tatapan dari seluruh rekan kerjanya yang ada di sana. “Diva, kamu benar-benar sangat beruntung!” Salah satu dari mereka berseru. “Cepetan balas Ok, Div, sama sekalian kirim lokasinya, entar Bapak kelamaan nunggu, kamu yang awalnya beruntung malah jadi digantung!” Winda berkata dengan suara menggebu-gebu. Melihat tanggapan rekan-rekannya, Diva lalu dengan sigap memberikan jawaban dan mengirim lokasi tempatnya pada Elvan. “Segera pesan tempatnya, Diva! Siapa tadi yang kasih saran ke Diva, bantuin biar cepet.” Deska memberikan perintah pada anak buahnya. *** Tidak butuh waktu lama untuk mengumpulkan mereka semua di Restoran Seafood bintang lima ini, semua datang lebih dulu sebelum Elvan tiba di sana. Namun, yang membuat mereka terkagum-kagum adalah tempat yang dipesan oleh Diva adalah ruang private dengan meja bundar. “Div, kita gak akan kena marah sama Pak Elvan, kan pesen di tempat ini?” salah satu dari mer
Entah desiran hebat apa yang kali ini menjalar ke seluruh tubuh Diva. Apa mama Elvan ini tidak salah bicara? Alih-alih mengatakan calon di depannya, dia malah langsung mengatakan mantunya mama? Apa wanita itu begitu yakin dirinya akan benar-benar menjadi bagian dari keluarga mereka? “Sayang, kamu denger Mama gak?” Suara Anita mengejutkan Diva. “Ah, iya, iya denger Ma!” Diva menjawab cepat saat Anita membuyarkan lamunan yang mulai berlebihan pada dirinya. “Kamu sedang sama Elvan, gak?” ulang Anita. “E-enggak Ma.” Diva menjawab dengan sedikit terbata. “Duh, anak ini kebiasaan banget deh!” gerutu Anita. Hal itu menarik perhatian Diva. “Kebiasaan gimana, Ma, maksudnya?” Diva tidak tahan untuk tahu lebih jauh. “Itu loh, dia itu kebiasaan buat flight mode kalo sedang kerja, males diganggu katanya. Jadinya begini deh, susah banget dihubunginnya.” Anita masih terdengar kesal dengan anaknya. “Nanti Diva kasih tahu, Ma, kalo ketemu sama Elvan.” Diva berkata untuk menenangkan Anita. “Oh,
Diva terdiam. “Itu ….” Diva melirik ke beberapa temannya untuk meminta pertolongan. Deska menyadari kalau hal ini sepertinya candaan ini sudah terlalu jauh. Sebagai seorang atasan langsung Diva, dia setidaknya punya kewajiban untuk melindungi bawahannya. Deska lalu tersenyum lebar dan berkata dengan suara rendah, “Pak Elvan, tadi kami sudah memesan menu yang menjadi rekomendasi di tempat ini, Pak Elvan mau yang mana, nanti biar saya coba ambilkan.” Diva benar-benar bersyukur! Baru kali ini Deska membantunya keluar dari jurang yang cukup dalam! Diva melihat ke arah Deska seolah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Elvan tahu sepertinya Diva mulai tidak nyaman apalagi saat Diva melihat ke arah rekan kerjanya yang lain. “Tidak perlu, saya bisa sendiri. Kalian makanlah dan jangan sungkan” Elvan berkata seolah memberikan instruksi, cukup datar dan membuat suasana malah mendadak hening kembali. “Eh, ayo kita makan, terima kasih, ya, Pak Elvan sudah traktir kita makan.” Diva b
Diva terdiam, tangannya terasa membeku saat memegang piring tersebut, semua mata tertuju ke arah Diva, seolah mengatakan, ‘tamatlah riwayatmu, Diva!’ Pandangan mereka memperlihatkan bentuk empati yang cukup dalam, mengira Elvan mengatakan hal itu dengan sarkastis. “Tapi, Pak, ini bekas tangan saya.” Diva berkata dengan jujur sembari melihat ke arah rekannya yang lain untuk meminta tolong, namun mereka sepertinya memilih main aman, termasuk Deska! “Tidak masalah, saya sepertinya melihat kamu mencuci tangan sebelum membukanya.” Elvan berkata dengan melirik air kobokan di sebelah piring makan Diva. “Tap–” Belum selesai ucapan Diva, Elvan sudah memasukkan satu potong udang ke mulutnya. Usai menelannya, dia berkata, “Sudah, makan saja yang tenang. Kapan lagi ‘kan tunangan saya bantu mengupaskan udang kalau bukan sekarang?” Sudut bibir Diva agak berkedut mendengar ucapan Elvan. Pria ini sepertinya benar-benar bertekad untuk membuatnya mati dini. Jantung Diva tidak tahan! Selagi semua o
Di area parkiran, tepatnya di dalam mobil, Elvan yang menunggu Diva menyibukkan dirinya dengan mengecek beberapa pekerjaannya melalui tablet yang dia punya, tapi walaupun dia terlihat bekerja otaknya sedang tidak bisa berkonsentrasi. Terlihat beberapa kali dia menghembuskan napas dengan sedikit kasar. ‘Apa sih yang sebenarnya ada dalam pikiran wanita itu?!’ Elvan bertanya pada dirinya sendiri mencoba menebak, tetapi sepertinya dia tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Elvan lalu melirik jam di pergelangan tangannya, sudah 30 menit, tapi sepertinya Diva memang benar-benar menikmati makan malamnya sampai tidak sadar dirinya sudah menunggu cukup lama. Pria itu lalu mengambil Handphonenya, ingin menghubungi Diva. Akan tetapi, setelah berpikir ulang, mana mungkin dia menarik ucapannya kembali dan menyuruh wanita itu segera keluar? Baru saja Elvan meletakkan ponselnya, Miko menghubunginya. “Apa sudah berhasil?” tanya Elvan langsung begitu panggilan terhubung. “Apa punya cara lain sel