Semua mata tertuju pada Diva, wanita itu hanya tersenyum canggung melihat tatapan dari seluruh rekan kerjanya yang ada di sana. “Diva, kamu benar-benar sangat beruntung!” Salah satu dari mereka berseru. “Cepetan balas Ok, Div, sama sekalian kirim lokasinya, entar Bapak kelamaan nunggu, kamu yang awalnya beruntung malah jadi digantung!” Winda berkata dengan suara menggebu-gebu. Melihat tanggapan rekan-rekannya, Diva lalu dengan sigap memberikan jawaban dan mengirim lokasi tempatnya pada Elvan. “Segera pesan tempatnya, Diva! Siapa tadi yang kasih saran ke Diva, bantuin biar cepet.” Deska memberikan perintah pada anak buahnya. *** Tidak butuh waktu lama untuk mengumpulkan mereka semua di Restoran Seafood bintang lima ini, semua datang lebih dulu sebelum Elvan tiba di sana. Namun, yang membuat mereka terkagum-kagum adalah tempat yang dipesan oleh Diva adalah ruang private dengan meja bundar. “Div, kita gak akan kena marah sama Pak Elvan, kan pesen di tempat ini?” salah satu dari mer
Entah desiran hebat apa yang kali ini menjalar ke seluruh tubuh Diva. Apa mama Elvan ini tidak salah bicara? Alih-alih mengatakan calon di depannya, dia malah langsung mengatakan mantunya mama? Apa wanita itu begitu yakin dirinya akan benar-benar menjadi bagian dari keluarga mereka? “Sayang, kamu denger Mama gak?” Suara Anita mengejutkan Diva. “Ah, iya, iya denger Ma!” Diva menjawab cepat saat Anita membuyarkan lamunan yang mulai berlebihan pada dirinya. “Kamu sedang sama Elvan, gak?” ulang Anita. “E-enggak Ma.” Diva menjawab dengan sedikit terbata. “Duh, anak ini kebiasaan banget deh!” gerutu Anita. Hal itu menarik perhatian Diva. “Kebiasaan gimana, Ma, maksudnya?” Diva tidak tahan untuk tahu lebih jauh. “Itu loh, dia itu kebiasaan buat flight mode kalo sedang kerja, males diganggu katanya. Jadinya begini deh, susah banget dihubunginnya.” Anita masih terdengar kesal dengan anaknya. “Nanti Diva kasih tahu, Ma, kalo ketemu sama Elvan.” Diva berkata untuk menenangkan Anita. “Oh,
Diva terdiam. “Itu ….” Diva melirik ke beberapa temannya untuk meminta pertolongan. Deska menyadari kalau hal ini sepertinya candaan ini sudah terlalu jauh. Sebagai seorang atasan langsung Diva, dia setidaknya punya kewajiban untuk melindungi bawahannya. Deska lalu tersenyum lebar dan berkata dengan suara rendah, “Pak Elvan, tadi kami sudah memesan menu yang menjadi rekomendasi di tempat ini, Pak Elvan mau yang mana, nanti biar saya coba ambilkan.” Diva benar-benar bersyukur! Baru kali ini Deska membantunya keluar dari jurang yang cukup dalam! Diva melihat ke arah Deska seolah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Elvan tahu sepertinya Diva mulai tidak nyaman apalagi saat Diva melihat ke arah rekan kerjanya yang lain. “Tidak perlu, saya bisa sendiri. Kalian makanlah dan jangan sungkan” Elvan berkata seolah memberikan instruksi, cukup datar dan membuat suasana malah mendadak hening kembali. “Eh, ayo kita makan, terima kasih, ya, Pak Elvan sudah traktir kita makan.” Diva b
Diva terdiam, tangannya terasa membeku saat memegang piring tersebut, semua mata tertuju ke arah Diva, seolah mengatakan, ‘tamatlah riwayatmu, Diva!’ Pandangan mereka memperlihatkan bentuk empati yang cukup dalam, mengira Elvan mengatakan hal itu dengan sarkastis. “Tapi, Pak, ini bekas tangan saya.” Diva berkata dengan jujur sembari melihat ke arah rekannya yang lain untuk meminta tolong, namun mereka sepertinya memilih main aman, termasuk Deska! “Tidak masalah, saya sepertinya melihat kamu mencuci tangan sebelum membukanya.” Elvan berkata dengan melirik air kobokan di sebelah piring makan Diva. “Tap–” Belum selesai ucapan Diva, Elvan sudah memasukkan satu potong udang ke mulutnya. Usai menelannya, dia berkata, “Sudah, makan saja yang tenang. Kapan lagi ‘kan tunangan saya bantu mengupaskan udang kalau bukan sekarang?” Sudut bibir Diva agak berkedut mendengar ucapan Elvan. Pria ini sepertinya benar-benar bertekad untuk membuatnya mati dini. Jantung Diva tidak tahan! Selagi semua o
Di area parkiran, tepatnya di dalam mobil, Elvan yang menunggu Diva menyibukkan dirinya dengan mengecek beberapa pekerjaannya melalui tablet yang dia punya, tapi walaupun dia terlihat bekerja otaknya sedang tidak bisa berkonsentrasi. Terlihat beberapa kali dia menghembuskan napas dengan sedikit kasar. ‘Apa sih yang sebenarnya ada dalam pikiran wanita itu?!’ Elvan bertanya pada dirinya sendiri mencoba menebak, tetapi sepertinya dia tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Elvan lalu melirik jam di pergelangan tangannya, sudah 30 menit, tapi sepertinya Diva memang benar-benar menikmati makan malamnya sampai tidak sadar dirinya sudah menunggu cukup lama. Pria itu lalu mengambil Handphonenya, ingin menghubungi Diva. Akan tetapi, setelah berpikir ulang, mana mungkin dia menarik ucapannya kembali dan menyuruh wanita itu segera keluar? Baru saja Elvan meletakkan ponselnya, Miko menghubunginya. “Apa sudah berhasil?” tanya Elvan langsung begitu panggilan terhubung. “Apa punya cara lain sel
Diva diam, tiba-tiba dia merasakan aura yang sangat menegangkan, pertanyaan itu bagai sebuah dentuman hebat yang menyadarkannya akan satu hal: Diva menginginkan Elvan. Akan tetapi, apakah dia boleh menginginkan pria itu? Apa boleh seserakah itu? Tentu saja tidak! ‘Diva jangan pernah berpikir lebih, dia hanya bercanda! Kurang banyak apa pelajaran yang bisa kamu ambil hikmahnya dari berhubungan dengan seseorang yang beda status sosial?!’ Tangan Diva mengepal. ‘Ingat Nico … ingat juga apa yang terjadi pada saudari-saudarimu! Apa ada yang berakhir bahagia?!’ Setelah berpikir singkat, Diva memutuskan bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini. Wanita itu kini memasang senyuman manis, melihat ke arah Elvan, menarik napas dalam lalu dia menganggukan kepalanya. “Ya.” Elvan mematung, gurat wajahnya menampilkan emosi yang tidak bisa digambarkan. Wanita ini bilang apa? Apa dia tidak salah dengar? Dia juga menegaskannya dengan menanggukkan kepala, kan? “Aku sudah menjawab ya. Selanjutnya,
Sadar kalau dirinya berpikir terlalu jauh perihal masalah ini, Diva menggelengkan kepalanya. ‘Sudahlah, dibandingkan memikirkan itu, ada satu hal lain yang perlu kupikirkan ….’ Dia mendadak menghela napas berat, membuat Elvan meliriknya dan menyadari ekspresi di wajah Diva.“Kamu kenapa?” tanya Elvan, berpikir apakah kemarahannya yang membuat Diva tidak nyaman. Mestinya, dia tidak boleh terlalu keras dengan gadis ini, kalau pun dia berpikiran tentang bercanda, seharusnya dia tidak salah juga, karena memang hubungan ini sejak awal hanya berpura-pura saja.Diva sendiri tersentak ditanya seperti itu dan berujung menundukkan kepala, tampak gelisah, dia ragu apakah dia harus menceritakan hal ini pada Elvan atau tidak. “Aku ….”“Kenapa? Katakan saja, jangan membuat orang penasaran.” Elvan berusaha membuat suasana nyaman untuk Diva, karena dari caranya ini, Diva akan menyampaikan sesuatu yang penting. Pengalamannya yang bertemu dengan banyak orang, membuatnya bisa dengan mudah membaca gerak l
Waktu seolah berhenti. Diva bohong kalau tidak merasakan desiran kehangatan menyelimuti hatinya, tangan Elvan yang menggenggamnya saat ini, memberikan sebuah rengkuhan yang sedikit memaksanya untuk menerima rasa baru dalam kalbunya.Diva juga merasakan ucapan ketulusan dari perkataan Elvan barusan dan juga genggaman tangan ini, entah kenapa Diva ingin merasakannya lebih lama. ‘Tidak masalah Diva, kamu hanya perlu merasakan ini sesaat, tunggu sampai dia sendiri yang melepaskannya,’ teriak hati Diva.Setelah sekian lama berlalu dan mobil Elvan sudah mendekati rumah Diva, gadis itu tiba-tiba berkata, “Van nanti turunin di depan komplek saja, ya.” Ucapan itu membuat Elvan mengerutkan keningnya. “Kamu tahu ini sudah jam berapa?” Dari nadanya bicara Elvan terdengar keberatan, membuat Diva tersenyum dalam hati, merasakan kekhawatiran pria itu, tapi tetap saja dia tidak boleh berpikiran lebih.“Karena itulah, aku khawatir nanti Ayah nungguin di depan rumah dan–”“Kamu takut ketahuan orang ru